11. Tidak Bekerja Keras dalam Tugasku Merugikanku

Oleh Saudari Xiaowen, Spanyol

Tahun 2018, aku bekerja di gereja sebagai editor video. Awalnya, karena tak punya latar belakang mengedit video dan tak memahami prinsip yang relevan, aku rajin belajar dan berusaha menguasai keterampilan yang relevan. Setelah beberapa saat, kompetensi teknisku jauh membaik dan aku terpilih sebagai pemimpin kelompok. Aku sangat senang dan sangat ingin bekerja keras untuk memenuhi tugasku. Belakangan, muncul masalah di salah satu proyek video yang lebih rumit, lalu aku dikirim untuk memeriksa dan menyelesaikannya. Menghadapi beban kerja yang rumit dan keterampilanku yang lemah, awalnya aku bekerja dengan saudara-saudari untuk mencari solusi. Namun, setelah beberapa waktu bekerja keras, lalu keadaan mulai berjalan lebih lancar dan keterampilan teknisku meningkat, aku mulai malas. Aku berpikir: "Proyek ini mungkin belum berjalan maksimal, tapi itu jauh lebih baik daripada sebelumnya. Aku hanya perlu mempertahankan keadaan ini. Tidak perlu sering-sering memeriksa. Sangat melelahkan jika harus waspada sepanjang waktu." Setelah itu, aku jarang mempelajari keterampilan baru dan tak mendalami lebih lanjut tentang pekerjaan itu. Beberapa kali, ada masalah dengan video yang aku edit dan yang lain menyarankanku untuk meningkatkan kinerja. Meskipun tahu mereka benar, aku berpikir: "Aku sudah cukup banyak bekerja. Jika kusisihkan lebih banyak waktu untuk belajar—belum lagi itu sangat melelahkan—bagaimana jika, setelah mencurahkan waktu dan energi ekstra ini, hasilku tak membaik? Bukankah semua usaha ekstra itu akan sia-sia?" Jadi, aku tak memedulikan saran orang lain. Setelah itu, pemimpinku melihat kemajuan pekerjaan kami lambat dan memintaku mengidentifikasi masalahnya. Rekan sekerjaku terus mengingatkanku untuk menyelesaikan masalah ini. Saat itu, aku sedikit menentang. Kupikir: "Kemajuan kami mungkin sedikit lambat, tapi hasil kami lebih baik daripada sebelumnya. Kita tak boleh memburu-buru ini." Namun, jauh di lubuk hati aku tahu jika aku memeriksa dan merencanakan pekerjaan dengan lebih hati-hati, masih ada banyak yang bisa ditingkatkan. Namun, setiap kali memikirkan stres kerja yang sudah kualami dan betapa melelahkan mengerahkan lebih banyak waktu untuk proyek ini, aku menundanya lagi. Kemudian, pemimpinku mengungkit masalah itu dua kali lagi, dan barulah aku dengan enggan meninjau situasinya. Namun, pada akhirnya, aku masih tak bisa menemukan solusi yang cocok.

Setelah itu, aku tak mau memikirkan pekerjaan kelompok atau berkorban demi kemajuan. Saat punya waktu luang, aku hanya ingin istirahat, bahkan ketiduran beberapa kali, menunda pekerjaan kami. Saat menjalankan tugas, aku kadang berlama-lama di luar, menghindari tugasku untuk beberapa saat. Selama jeda dalam pekerjaan kami, aku juga tak memikirkan cara meningkatkan keterampilan, beristirahat padahal punya kesempatan. Seperti itulah, aku menjadi makin malas, hanya bekerja sekenanya sambil memantau dan menugaskan pekerjaan. Aku hampir tak pernah membantu orang lain memeriksa kesalahan dalam pekerjaan, dan saat masalah muncul, aku tak ingin memikirkan cara menyelesaikannya. Akibatnya, kami akhirnya menunda menyelesaikan video yang jelas bisa selesai lebih cepat dari jadwal. Selama masa itu, masalah terus muncul di video yang kuedit dan tak ada saudara-saudari di kelompokku yang meningkat dalam pekerjaan mereka. Jika kesulitan sekecil apa pun muncul dalam pekerjaan, semua orang akan mengeluh. Aku bukan hanya gagal menyelesaikan ini melalui persekutuan, tapi bahkan ikut mengeluh. Karena gagal dalam kerja nyataku dan tak membaik setelah pemimpin bersekutu denganku beberapa kali, tak lama aku diberhentikan sebagai pemimpin kelompok. Perasaanku buruk setelah diberhentikan, jadi aku berdoa kepada Tuhan dan merenung.

Suatu hari, dalam saat teduh, kulihat firman Tuhan berkata: "Ada orang-orang yang sama sekali tidak mau menderita dalam tugas mereka, yang selalu mengeluh setiap kali menghadapi masalah dan tidak mau membayar harga. Sikap macam apakah itu? Ini adalah sikap yang asal-asalan. Apa hasilnya jika engkau asal-asalan dalam melaksanakan tugasmu dan menganggap enteng tugasmu? Hasil pelaksanaan tugasmu akan buruk, meskipun engkau sanggup melakukannya dengan baik—hasilnya tidak akan memenuhi standar, dan Tuhan tidak akan puas dengan sikapmu terhadap tugasmu. Jika, engkau telah berdoa kepada Tuhan, mencari kebenaran dan mengerahkan segenap hati dan pikiran dalam tugasmu, jika engkau telah mampu bekerja sama seperti itu, maka Tuhan telah terlebih dahulu mempersiapkan segala sesuatunya bagimu, sehingga semuanya berjalan baik saat engkau melakukannya, dan hasilnya pasti baik. Engkau tidak perlu mengerahkan banyak tenaga; ketika engkau berupaya sekeras mungkin untuk bekerja sama, Tuhan akan telah mengatur segala sesuatunya untukmu. Jika engkau licik serta curang, jika engkau acuh tak acuh terhadap tugasmu, dan selalu menyimpang, Tuhan tidak akan bertindak; engkau akan kehilangan kesempatan ini, dan Tuhan akan berkata, 'Engkau tidak cukup baik; engkau tidak berguna. Sana menyingkirlah. Engkau suka bersikap curang dan licik, bukan? Engkau suka bermalas-malasan dan bersantai, bukan? Kalau begitu, bersantailah selamanya!' Tuhan akan memberikan kasih karunia dan kesempatan ini kepada orang lain. Menurut pendapatmu: ini kerugian atau keuntungan? (Kerugian.) Ini adalah kerugian yang teramat besar!" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Setelah membaca firman Tuhan, aku mengingat kembali saat aku menjadi pemimpin kelompok. Kulihat bahwa aku persis seperti yang diungkapkan firman Tuhan. Aku tak menghormati, tak bertanggung jawab, dan ceroboh terhadap tugasku, tak mau berusaha. Saat pertama kali mulai melayani sebagai pemimpin kelompok, aku mencurahkan waktu dan upaya, tapi begitu keterampilanku meningkat dan mencapai hasil, aku berpuas diri, tak ingin maju, dan selalu mementingkan daging. Aku hanya memikirkan cara bersantai dan menjalaninya dengan mudah. Aku tak mau mencurahkan upaya apa pun pada pekerjaan untuk memperbaikinya. Bahkan saat jelas-jelas melihat ada masalah, aku tak segera menyelesaikannya, dan saat orang lain menunjukkannya, aku mengabaikan mereka. Sebagai pemimpin kelompok, saat melihat anggota kelompok mengeluhkan masalah, bukan saja aku tak mempersekutukan kebenaran untuk menyelesaikan masalah, aku bahkan ikut mengeluh dan setuju dengan mereka. Seolah-olah tak peduli pekerjaan produksi video tertunda atau berapa banyak masalah yang dialami orang, itu tak ada hubungannya denganku. Aku hanya ingin bahagia dan tak membuat diriku lelah. Akibatnya, masalah terus muncul dalam video kami yang sangat menunda kemajuan produksi. Aku meremehkan tugas yang sangat penting; demi kenyamanan dan kemudahan dagingku, aku bersedia bertindak asal-asalan, menipu Tuhan dan orang lain. Di mana rasa hormatku kepada Tuhan? Tuhan membenci dan memandang rendah sikap terhadap pekerjaan seperti itu. Merenungkan semua masalah dalam pekerjaanku, jika aku meluangkan waktu dan berkorban, situasinya tak akan menjadi seburuk itu. Namun, aku malas dan tak ingin menderita atau merasa lelah. Akibatnya, aku merugikan pekerjaan produksi video. Aku sangat egois, tercela dan tak berbudi! Aku tak sadar telah menjadi sangat bobrok dan bejat! Tuhan telah mengatur pengingat untukku, tapi aku tetap tak merenung dan bertobat. Bagaimana aku bisa begitu mati rasa dan keras kepala? Setelah menyadari semua itu, aku merasa bersalah dan sedih. Aku sangat tak pantas menjadi pemimpin karena tak bertanggung jawab dan tak berbudi. Diberhentikan adalah kesalahanku sendiri.

Suatu hari, dalam saat teduh, aku melihat kutipan lain dari firman Tuhan: "Katakanlah ada seseorang yang memiliki rasa tanggung jawab, setiap kali dia disuruh melakukan sesuatu atau sesuatu diperintahkan kepada mereka, entah itu oleh seorang pemimpin, pekerja, atau Yang di Atas, dia akan selalu berpikir, 'Baiklah, karena mereka begitu menghormatiku, aku harus menangani masalah ini dengan baik dan tidak mengecewakan mereka.' Akan beranikah engkau memercayakan suatu masalah kepada orang yang berhati nurani dan berakal sehat seperti itu? Orang yang dapat kaupercayai untuk menangani suatu masalah adalah orang yang kauyakini dapat dipercaya dan yang kauanggap baik. Engkau memiliki pendapat yang baik tentang jenis orang seperti ini, dan engkau menghormati mereka. Terutama jika hal-hal yang telah mereka lakukan untukmu semuanya telah dilaksanakan dengan sangat hati-hati dan telah memenuhi tuntutanmu sepenuhnya, engkau akan menganggap mereka orang yang layak dipercaya. Di hatimu, engkau akan sangat mengagumi dan menghormati mereka. Orang-orang mau berhubungan dengan jenis orang seperti ini, apalagi Tuhan. Apakah menurutmu Tuhan akan memercayakan tugas yang wajib dilakukan manusia kepada orang yang tidak dapat dipercaya? (Tidak.) Apa harapan Tuhan terhadap seseorang yang kepadanya Tuhan memberi tugas khusus di gereja? Pertama, Tuhan berharap agar orang itu bertanggung jawab dan rajin, agar dia memperlakukan tugas sebagai sesuatu yang sangat penting, dan melaksanakan tugas itu dengan baik. Kedua, Tuhan berharap orang itu adalah orang yang layak dipercaya, bahwa berapa pun waktu yang dibutuhkannya untuk melakukan pekerjaan itu, dan bagaimanapun lingkungannya berubah, rasa tanggung jawabnya tidak goyah, dan karakternya tetap teguh dalam menghadapi ujian. Jika orang itu adalah orang yang dapat dipercaya, Tuhan akan merasa tenang. Dia tak perlu lagi memantau atau menindaklanjuti hal ini karena di dalam hati-Nya, Tuhan memercayai orang itu. Ketika Tuhan memberinya tugas tertentu, dia pasti akan menyelesaikannya tanpa kesalahan apa pun" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Melalui firman Tuhan, aku tahu orang yang punya kemanusiaan bertanggung jawab dalam pekerjaan, mampu menerima pengawasan Tuhan, dan mampu berdiri teguh dalam tugasnya, menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip, dalam situasi apa pun dia berada. Inilah sikap yang harus kita miliki dalam tugas kita. Karena gereja telah menugaskanku untuk bertanggung jawab atas pekerjaan video, setidaknya aku harus melakukan yang kubisa dengan upaya terbaikku, serta segera mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam pekerjaan untuk memastikan pekerjaan kami berjalan normal. Namun, sementara aku dengan senang hati setuju untuk menjalankan tugas, di kemudian hari, aku hanya memedulikan kenyamanan dan kemudahanku sendiri serta tak melakukan kerja nyata, bahkan saat orang lain berulang kali mendorong dan menasihatiku. Aku memegang jabatan "pemimpin kelompok", tapi tak menyelesaikan apa pun dan gagal memenuhi bahkan tugas teringan yang diberikan kepadaku. Akibatnya, aku menunda pekerjaan produksi video gereja. Aku sangat tak masuk akal dan tak bisa diandalkan! Dari caraku bertindak, aku seharusnya sudah lama disingkirkan. Hanya karena belas kasih dan toleransi Tuhan, aku diizinkan terus bekerja dalam kelompok itu. Saat itu, kupikir: "Aku harus menghargai kesempatan ini dan berusaha yang terbaik dalam tugasku." Setelah itu, aku berhenti merasa puas dengan situasi dalam tugasku dan selain menyelesaikan pekerjaan pada video yang ditugaskan kepadaku, aku terus mencari cara untuk meningkatkan efisiensiku, menunjukkan masalah kami, dan segera melaporkannya kepada pemimpin kelompok. Aku juga membahas cara-cara memecahkan masalah dengan anggota lain. Meskipun lebih melelahkan bekerja dengan cara ini, aku merasa jauh lebih damai dan nyaman, karena tahu aku telah memenuhi tanggung jawabku.

Tak lama, pemimpin gereja melihat peningkatanku dan menugaskanku mengawasi sebuah proyek video. Aku menghargai kesempatan untuk melakukan pekerjaan ini dan ingin memberikan upaya terbaikku. Aku memeriksa pekerjaan itu setiap hari dan merangkum semua masalah yang kami alami. Saat melihat masalah, aku akan segera mencari cara menyelesaikannya dan jika tak bisa, aku akan berkonsultasi dan berdiskusi dengan pemimpin kelompok. Namun, beberapa saat kemudian, saat kami berhasil dalam pekerjaan kami dan keterampilanku meningkat, kemalasanku yang dulu datang lagi. Kupikir: "Akhir-akhir ini semua pekerjaan berjalan sesuai jadwal dan tak ada masalah besar. Aku sebaiknya beristirahat sebentar. Jika aku bekerja sebanyak ini setiap hari dan selalu khawatir, akhirnya aku akan kewalahan." Segera setelah memikirkan ini, aku berpuas diri, hanya bekerja sekenanya dalam pekerjaanku, tak lagi khawatir tentang meningkatkan keterampilan atau menyelesaikan masalah dan kesalahan, bahkan tak repot-repot menanyakan kemajuan pekerjaan orang lain. Setiap kali punya waktu luang, aku hanya ingin bersantai dan terkadang, saat bekerja atau belajar, aku menonton video atau drama lucu untuk menghabiskan waktu. Akibatnya, video yang seharusnya bisa selesai lebih awal tertunda dan performa kerjaku mulai menurun. Di masa itu, aku linglung dan pikiranku tak jernih. Tak punya proses berpikir yang jelas saat mengedit video, tak menikmati membaca firman Tuhan dan kegelapan menyebar dalam diriku. Juga, saat berdoa kepada Tuhan, aku tak bisa merasakan kehadiran-Nya. Meskipun tahu berbahaya jika terus seperti itu, aku tetap tak bisa mengendalikan diri, serta merasa sangat sedih dan tersiksa. Saat itu, aku kebetulan melihat kutipan firman Tuhan: "Apabila orang-orang percaya hanya asal-asalan dan tidak menjaga perkataan dan tingkah laku mereka, sama seperti orang tidak percaya, maka mereka bahkan lebih jahat daripada orang tidak percaya; mereka tipikal setan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Peringatan Bagi Orang yang Tidak Melakukan Kebenaran"). Seolah-olah firman Tuhan menyingkap situasiku. Aku telah sangat lama percaya kepada Tuhan, tapi masih tak bisa melakukan tugasku dan mencari waktu santai saat seharusnya bekerja. Ini bukan hanya kurang loyalitas; aku bahkan tak memenuhi standar dasar pekerjaan kami. Di dunia sekuler, seseorang harus mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh perusahaannya, lalu saat bekerja, kau harus bekerja dengan rajin dan tak bermalas-malasan. Namun, saat melakukan tugasku di gereja, aku bahkan tak punya rasa tanggung jawab mendasar, dan dengan santai mengesampingkan tugasku hanya untuk memanjakan daging. Mengingat betapa sembrono dan tak terkendalinya tindakanku, apa aku benar-benar layak disebut orang Kristen? Aku bahkan tak memberikan layanan dalam tugasku, apalagi memenuhi tugasku secara memadai. Aku membenci diriku karena memanjakan daging—kenapa aku tak punya sedikit pun tekad untuk meninggalkan dagingku? Aku teringat saudara-saudariku di Tiongkok yang mengambil risiko ditangkap dan disiksa oleh PKT sebelum meninggalkan tugas mereka, padahal aku ada di negara bebas dan demokratis, setelah melarikan diri dari Tiongkok, tapi bahkan tak mau memikirkan pekerjaanku atau berkorban. Aku bertingkah seperti orang tak berguna—aku tak punya sedikit pun martabat atau karakter. Makin dipikirkan, makin aku malu menghadapi Tuhan atau saudara-saudari. Saat itu, aku mulai merenung: "Aku sudah pernah gagal karena memanjakan dagingku dan melalaikan tugas. Kenapa aku tak belajar dari kesalahanku sebelumnya? Kenapa aku sangat labil dan plin-plan dalam pekerjaanku?" Aku berdoa berulang-ulang kepada Tuhan, meminta Dia mencerahkanku agar bisa menemukan akar mula masalahku.

Suatu hari, di saat teduh, aku menemukan kutipan ini. "Mengapa orang selalu tidak disiplin dan malas, seolah-olah hidup ini mereka jalani tanpa berpikir, tanpa tujuan apa pun? Ini ada kaitannya dengan masalah dalam natur mereka. Ada semacam kemalasan dalam natur manusia. Apa pun tugasnya, orang selalu membutuhkan seseorang untuk mengawasi dan mendorong mereka. Terkadang, itu karena orang memperhatikan daging dan mengejar kenyamanan daging, selalu menahan diri. Mereka sangat penuh perhitungan, dan benar-benar bukan orang yang baik. Tugas penting apa pun yang mereka laksanakan, mereka selalu tidak berupaya sebaik mungkin. Ini berarti tidak bertanggung jawab dan tidak setia. Aku telah mengatakan hal-hal ini sekarang untuk mengingatkanmu agar tidak pasif dalam bekerja. Engkau semua harus mampu melakukan apa pun yang Kukatakan" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). "Para pemimpin palsu tidak melakukan pekerjaan nyata, tetapi mereka tahu bagaimana menjadi pejabat. Apa hal pertama yang mereka lakukan setelah menjadi pemimpin? Mereka mulai berusaha memenangkan orang. Mereka mengambil pendekatan 'manajer baru harus meninggalkan kesan yang kuat': pertama-tama mereka melakukan beberapa hal untuk memenangkan orang, mereka memperkenalkan beberapa hal untuk memudahkan hidup orang lain, mereka berusaha agar orang memiliki kesan yang baik tentang mereka, untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa mereka selaras dengan orang banyak, agar semua orang memuji mereka dan mengatakan bahwa mereka seperti orang tua bagi mereka, dan setelah melakukan itu mereka pun secara resmi mengambil alih. Mereka merasa bahwa karena sekarang mereka mendapat dukungan orang banyak dan kedudukan mereka aman, sudah sewajarnya mereka menikmati kenikmatan dari status mereka tersebut. Semboyan mereka adalah, 'Hidup hanyalah tentang makan dan berpakaian,' 'Isi harimu dengan kesenangan karena hidup ini singkat,' dan 'Nikmatilah kesenangan sekarang pada hari ini, dan khawatirkan hari esok pada hari selanjutnya.' Mereka menikmati setiap hari yang datang, mereka bersenang-senang sebanyak mungkin, dan mereka tidak memikirkan masa depan, apalagi memikirkan tanggung jawab apa yang seharusnya dipenuhi seorang pemimpin dan tugas apa yang seharusnya mereka lakukan. Mereka mengulang-ulang beberapa kata dan kalimat doktrin dan melakukan sedikit tugas remeh demi penampilan dengan cara biasa-biasa saja, tetapi mereka tidak melakukan pekerjaan nyata apa pun. Mereka tidak berusaha menyelidiki masalah nyata di gereja untuk menyelesaikannya dengan tuntas. Apa gunanya melakukan pekerjaan dangkal seperti itu? Bukankah ini menipu? Bisakah tanggung jawab serius dipercayakan kepada pemimpin palsu semacam ini? Apakah mereka sesuai dengan prinsip dan persyaratan rumah Tuhan untuk memilih pemimpin dan pekerja? (Tidak.) Orang-orang ini tidak berhati nurani ataupun nalar, mereka tidak punya rasa tanggung jawab, tetapi mereka tetap ingin melayani dalam kapasitas resmi sebagai pemimpin gereja—mengapa mereka begitu tak tahu malu? Ada orang-orang berkualitas buruk yang punya rasa tanggung jawab dan mereka tidak bisa menjadi pemimpin—apalagi sampah manusia yang tidak punya rasa tanggung jawab sama sekali; mereka jauh lebih tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin. Seberapa malasnya pemimpin palsu pemalas seperti itu? Mereka menemukan masalah, dan mereka sadar bahwa ini adalah masalah, tetapi mereka memperlakukannya seolah-olah bukan masalah dan tidak memedulikannya. Mereka sangat tidak bertanggung jawab! Mereka mungkin orang yang fasih berbicara dan tampaknya sedikit berkualitas, tetapi ketika berbagai masalah muncul di gereja, mereka tidak mampu menyelesaikannya. Meskipun masalah gereja terus menumpuk dan menjadi bagaikan pusaka keluarga, tetapi para pemimpin ini tidak peduli, mereka malah tetap bersikeras melakukan beberapa tugas remeh dengan cara biasa-biasa saja. Dan apa hasil akhirnya? Bukankah mereka merusak pekerjaan gereja, bukankah mereka mengacaukannya? Bukankah mereka menyebabkan kekacauan dan perpecahan di dalam gereja? Ini adalah hasil yang tak terhindarkan" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Merenungkan firman Tuhan, aku menyadari alasanku berpuas diri dan kurang inisiatif dalam tugasku adalah karena aku pada dasarnya malas dan suka mencari kesenangan. Pikiranku penuh dengan falsafah jahat seperti "Hidup hanyalah tentang makan dan berpakaian," "Nikmatilah kesenangan sekarang pada hari ini, dan khawatirkan hari esok pada hari selanjutnya," dan "Makan, minum, dan bergembiralah, karena hidup ini singkat." Aku hidup berpedoman gagasan jahat keliru ini, berpikir dalam kehidupan di bumi, aku harus bersenang-senang. Aku tak bisa menjustifikasi penderitaan dan kelelahan tiada henti. Akibatnya, aku tak bisa bertahan dalam segala hal yang kulakukan. Aku mengambil hasil terkecil dari pekerjaanku sebagai modal, lalu berpuas diri dan menjadi bejat. Seperti masa-masa sekolahku: Setiap kali mendapat nilai bagus, lalu dipuji oleh guru dan teman sekelas, aku tak ingin terus mencurahkan pikiran dan energi untuk studiku dan hanya ingin bersenang-senang. Aku berhenti peduli tentang mendengarkan di kelas atau mengerjakan PR, tapi begitu nilaiku memburuk, lalu orang tua dan guruku makin ketat mengawasiku, aku akan giat belajar dan berusaha sampai nilaiku naik kembali, lalu aku akan berpuas diri lagi dan ingin kembali bersenang-senang. Selama itu, aku terus dikendalikan oleh falsafah bejat ini, menjadi makin malas, rendah semangat, dan kurang inisiatif. Aku labil dan plin-plan dalam segala hal yang kulakukan, tak mau menderita atau berkorban serta makin tak mau berusaha. Baik dalam peranku dulu sebagai pemimpin kelompok dan saat ini sebagai anggota kelompok yang memeriksa kemajuan pekerjaan, aku juga malas dan kurang inisiatif. Aku kabur begitu membuahkan hasil, ingin mengganti kerja dengan istirahat agar tak akan rugi dan kelelahan. Bahkan saat jelas-jelas tahu ada masalah dalam pekerjaan, aku tak menyelesaikannya, lebih suka membuang-buang waktuku untuk hiburan remeh daripada berkorban lebih banyak untuk tugasku. Aku hanya bekerja sekenanya untuk menjaga penampilan dan menipu, serta menipu pemimpinku. Aku sadar bahwa aku bukan hanya malas, tapi juga licik dan curang, hanya ingin menjalani hidupku dengan santai dan mudah. Aku telah menikmati begitu banyak siraman firman Tuhan dan perlindungan Tuhan, tapi masih gagal melakukan bahkan yang paling dasar. Bukankah aku hanya pemborosan ruang, parasit di gereja? Di mana kemanusiaan dan rasionalitasku? Aku teringat sebuat kalimat dari Alkitab yang berkata: "Kemakmuran orang bebal akan membinasakan mereka" (Amsal 1:32). Jika aku tak bertobat, meski gereja tak mengusirku sekarang, Tuhan mengawasi segala sesuatu, dan Roh Kudus akan berhenti bekerja dalam diriku. Cepat atau lambat aku akan disingkirkan.

Setelah itu, dengan makan dan minum firman Tuhan, aku mulai mengubah sikapku terhadap tugas. Firman Tuhan katakan: "Caramu memandang amanat Tuhan sangatlah penting, dan ini adalah hal yang sangat serius. Jika engkau tidak dapat menyelesaikan apa yang telah Tuhan percayakan kepada manusia, engkau tidak layak untuk hidup di hadirat-Nya dan harus dihukum. Adalah ditetapkan oleh Surga dan diakui oleh bumi bahwa manusia harus menyelesaikan amanat apa pun yang Tuhan percayakan kepada mereka; ini adalah tanggung jawab tertinggi mereka, dan sama pentingnya dengan hidup mereka sendiri. Jika engkau tidak memperlakukan amanat Tuhan dengan serius, artinya engkau sedang mengkhianati Dia dengan cara yang paling menyedihkan; dalam hal ini, engkau lebih disesalkan daripada Yudas dan harus dikutuk. Manusia harus mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana memandang apa yang Tuhan percayakan kepada mereka dan, setidaknya, harus memahami bahwa amanat yang Tuhan percayakan kepada manusia adalah peninggian dan kemurahan khusus dari Tuhan, semua ini adalah hal-hal yang paling mulia. Segala sesuatu yang lain dapat ditinggalkan; bahkan jika orang harus mengorbankan hidupnya sendiri, dia tetap harus memenuhi amanat Tuhan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Mengenal Natur Manusia"). "Manusia harus berupaya hidup dalam kehidupan yang bermakna dan tidak boleh puas dengan keadaannya saat ini. Untuk hidup dalam gambaran Petrus, ia harus memiliki pengetahuan dan pengalaman Petrus. Manusia harus mengejar hal-hal yang lebih tinggi dan lebih mendalam. Ia harus mengejar kasih kepada Tuhan yang lebih dalam dan lebih murni, dan kehidupan yang memiliki nilai dan makna. Hanya inilah sesungguhnya kehidupan; hanya dengan demikian manusia akan sama seperti Petrus. Engkau harus berfokus untuk bersikap proaktif dalam memasuki sisi positif dan tidak pasrah membiarkan dirimu kembali murtad demi kenyamanan sesaat dan mengabaikan kebenaran yang lebih mendalam, lebih spesifik, dan lebih nyata. Kasihmu harus praktis dan engkau harus menemukan cara untuk membebaskan dirimu dari kehidupan yang bejat dan tanpa beban yang tidak ada bedanya dengan kehidupan binatang ini. Engkau harus hidup dalam kehidupan yang bermakna, kehidupan yang bernilai, dan jangan sampai membodohi dirimu sendiri, atau menganggap hidupmu seperti mainan yang engkau mainkan. Bagi semua orang yang bercita-cita untuk mengasihi Tuhan, tidak ada kebenaran yang tidak dapat dicapai, dan tidak ada keadilan yang tidak dapat mereka tegakkan. Bagaimana seharusnya engkau menjalani hidupmu? Bagaimana seharusnya engkau mengasihi Tuhan, dan mencurahkan kasih ini untuk memuaskan keinginan-Nya? Tidak ada perkara yang lebih besar dalam hidupmu. Di atas segalanya, engkau harus memiliki cita-cita dan ketekunan seperti itu, janganlah seperti orang-orang yang tak punya nyali, orang-orang yang lemah. Engkau harus belajar bagaimana menghayati kehidupan yang berarti dan mengalami kebenaran yang bermakna, dan tidak seharusnya memperlakukan dirimu sendiri secara sembrono dengan cara seperti itu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Melalui firman Tuhan aku sadar nilai dan makna hidup ditemukan dalam menjalankan tugas seseorang sebagai makhluk ciptaan. Jika selalu mencari kenyamanan dan kemudahan, kurang inisiatif dan ceroboh dalam tugasmu, ini adalah pengkhianatan terhadap Tuhan, Dia mengutuk dan membenci perilaku seperti itu. Aku ingat bagaimana Petrus dengan tekun berusaha mengasihi dan memuaskan Tuhan sepanjang hidupnya, selalu berpegang teguh pada firman Tuhan dan berusaha menjadi lebih baik. Dia selalu berusaha menerapkan kebenaran dan memuaskan Tuhan, akhirnya disalibkan terbalik dan memberikan kesaksian yang dahsyat. Lalu, ada Nuh. Setelah menerima amanat Tuhan, dia bekerja selama 120 tahun untuk membangun bahtera, tak pernah menolak bahkan saat menghadapi kesulitan yang tak terhitung jumlahnya dan penderitaan yang luar biasa, berjuang tanpa henti sampai bahtera selesai. Membandingkan diriku dengan cara Nuh dan Petrus memperlakukan Tuhan dan tugas mereka, aku merasa sangat malu. Aku sadar bahwa aku egois dan malas, juga tak punya sedikit pun kemanusiaan. Aku tak punya rasa tanggung jawab terhadap tugasku, aku ceroboh dan menunda-nunda. Begitu dituntut lebih banyak atau pekerjaan menjadi sibuk, aku mulai mengeluh karena lelah, lalu melembek dan memanjakan dagingku bahkan saat didorong pemimpinku. Aku tak punya rasa hormat sedikit pun kepada Tuhan. Aku tak berbeda dengan orang tak percaya! Dengan tindak-tandukku, pada akhirnya aku hanya akan merugikan diriku sendiri. Namun, aku selalu berpikir aku benar dan puas hanya dengan mencurahkan upaya terkecil. Aku sangat mati rasa, bodoh dan bebal. Meskipun aku melakukan tugasku dengan cara ini, Tuhan masih belum menyerah atas diriku dan memberiku kesempatan untuk bertobat. Aku tak bisa terus menyakiti perasaan Tuhan dengan kebejatan. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku sadar bahwa naturku lamban dan tak punya kemanusiaan. Aku tak ingin terus hidup seperti ini. Aku ingin sungguh-sungguh mencari kebenaran dan memenuhi tugasku. Tolong awasi hatiku."

Sejak saat itu, aku mencurahkan lebih banyak waktu dan tenaga untuk tugasku, dan meskipun jadwalku penuh hampir setiap hari, aku masih menyempatkan belajar dan meningkatkan keterampilan teknisku. Aku juga secara teratur merangkum masalah dalam pekerjaanku dan terus berusaha meningkatkan keterampilan. Beberapa saat kemudian, aku mulai mendapatkan hasil lebih baik dalam video yang kubuat. Kulihat saat aku membagikan yang kupelajari dengan saudara-saudariku, sepertinya itu membantu mereka juga. Aku merasa sangat damai dan nyaman. Melakukam tugas seperti ini sedikit menambah pekerjaan, dan waktu istirahatnya lebih sedikit, tapi aku tak merasa lelah atau menderita. Bahkan, aku merasa jauh lebih jernih dan bersemangat—tak seperti sebelumnya saat aku menghabiskan hari dengan pikiran buram dan tak fokus. Melihat masalah apa pun dalam pekerjaan kami juga menjadi lebih mudah, lalu melalui persekutuan dengan saudara-saudariku dan pencerahan Tuhan, kami menyelesaikan banyak masalah tepat waktu. Namun, karena aku telah dirusak terlalu dalam oleh Iblis, falsafah kelambanan itu terkadang masih memengaruhiku. Saat mulai mendapatkan hasil bagus, aku sekali lagi sedikit terlena dan ingin memanjakan dagingku. Suatu kali, saat memeriksa salah satu video kami, aku lihat film laga di lini masaku. Kupikir: "Akhir-akhir ini pekerjaan sangat memusingkan—tak ada salahnya menonton sedikit dan bersantai." Saat menonton, aku tiba-tiba sadar bahwa aku kembali ke tipuan lamaku. Aku teringat kutipan firman Tuhan. "Engkau ingin bersikap teledor dan ceroboh ketika melaksanakan tugasmu. Engkau mencoba bermalas-malasan, dan mencoba menghindari pengawasan Tuhan. Pada saat-saat seperti itu, bergegaslah menghadap Tuhan untuk berdoa, dan renungkan apakah ini cara bertindak yang benar. Kemudian pikirkanlah: 'Mengapa aku percaya kepada Tuhan? Kecerobohan seperti itu mungkin tidak diketahui oleh manusia, tetapi apakah itu tidak akan diketahui oleh Tuhan? Terlebih lagi, aku percaya kepada Tuhan bukan untuk bermalas-malasan—tetapi untuk diselamatkan. Tindakanku demikian bukanlah ungkapan kemanusiaan yang normal, itu juga tidak disukai oleh Tuhan. Tidak, aku mungkin bermalas-malasan dan melakukan apa yang kuinginkan di dunia luar, tetapi sekarang aku berada di rumah Tuhan, aku berada di bawah kedaulatan Tuhan, di bawah pengawasan mata Tuhan. Aku seorang manusia, aku harus bertindak sesuai hati nuraniku, dan tak boleh bertindak sekehendakku sendiri. Aku harus bertindak sesuai dengan firman Tuhan, aku tidak boleh ceroboh dan asal-asalan, aku tidak boleh bermalas-malasan. Jadi, bagaimana aku harus bertindak agar tidak bermalas-malasan, tidak ceroboh dan asal-asalan? Aku harus berusaha keras. Baru saja aku merasa terlalu banyak kesukaran untuk melakukannya, aku ingin menghindari kesukaran itu, tetapi sekarang aku mengerti: mungkin banyak kesukaran untuk melakukannya seperti itu, tetapi itu efektif, dan begitulah seharusnya hal itu dilakukan.' Ketika engkau sedang bekerja dan masih merasa takut akan kesukaran, pada saat-saat seperti itu engkau harus berdoa kepada Tuhan: 'Ya Tuhan! Aku malas dan curang, kumohon kepada-Mu agar mendisiplinkan diriku dan menegurku, sehingga aku memiliki perasaan dalam hati nuraniku, dan rasa malu. Aku tidak ingin ceroboh dan asal-asalan. Kumohon bimbinglah dan cerahkanlah aku, tunjukkanlah kepadaku pemberontakan dan keburukanku.' Ketika engkau berdoa seperti itu, merenungkan dirimu dan berusaha mengenal dirimu sendiri, perasaan menyesal akan muncul dalam hatimu, dan engkau akan mampu membenci keburukanmu, dan keadaan yang salah di dalam hatimu pun akan mulai berubah, dan engkau mampu merenungkan ini serta berkata kepada dirimu sendiri, 'Mengapa aku ceroboh dan asal-asalan? Mengapa aku selalu bermalas-malasan? Bertindak seperti itu berarti tidak memiliki hati nurani atau akal sehat—apakah aku masih bisa dianggap orang yang percaya kepada Tuhan? Mengapa aku tidak menganggapnya serius? Bukankah seharusnya aku mengerahkan lebih banyak waktu dan upaya? Itu bukan beban yang besar. Ini adalah sesuatu yang sudah seharusnya kulakukan; jika aku bahkan tak mampu melakukan hal ini, apakah aku layak disebut manusia?' Hasilnya, engkau akan bertekad dan bersumpah: 'Ya Tuhan! Aku telah mengecewakan-Mu, aku benar-benar telah sangat dirusak, aku tidak memiliki hati nurani atau akal sehat, aku tidak memiliki kemanusiaan, aku ingin bertobat. Kumohon ampunilah aku, aku pasti akan berubah. Jika aku tidak bertobat, aku ingin Engkau menghukumku.' Setelah itu, ada perubahan dalam mentalitasmu, dan engkau mulai berubah. Engkau bertindak dan melaksanakan tugasmu dengan bertanggung jawab, semakin tidak ceroboh dan asal-asalan, dan engkau sekarang mampu menderita dan membayar harga. Engkau merasa melaksanakan tugasmu dengan cara demikian sungguh indah, dan hatimu terasa damai dan penuh sukacita. Ketika orang dapat menerima pemeriksaan Tuhan, ketika mereka dapat berdoa kepada-Nya dan mengandalkan-Nya, keadaan mereka akan segera berubah" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Menghargai Firman Tuhan adalah Landasan Kepercayaan kepada Tuhan"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku menemukan jalan. Naturku lamban, aku lebih suka kenyamanan dan waktu luang, serta tak mau menderita. Aku tak akan bisa menyelesaikan masalah ini sendiri; aku harus berdoa dan mengandalkan Tuhan, serta menerima pengawasan-Nya. Lain kali aku ingin memanjakan dagingku dan mengendur, aku harus segera berdoa kepada Tuhan dan meminta Dia untuk mendisiplinkan dan menghajarku. Baru setelah itu aku bisa meninggalkan dagingku dan melakukan tugas dengan baik. Jadi, kuberi tahu Tuhan tentang keadaanku dalam doa dan meminta Dia untuk mendisiplinkanku. Setelah berdoa, tiba-tiba ketenangan menyelimutiku dan aku terus meninjau video, mempertimbangkan prinsip dengan hati-hati, serta mencari informasi relevan. Saat memikirkan pekerjaanku, aku bisa merasakan bimbingan Tuhan, bisa dengan cepat mengidentifikasi masalah dalam video dan mencari cara untuk menyelesaikannya. Setelah pengalaman itu, aku makin percaya diri dalam mengatasi kemalasanku. Kulihat aku harus benar-benar mengandalkan Tuhan dan menerima pengawasan-Nya dalam pekerjaanku. Jika aku mulai memanjakan dagingku lagi, aku bisa mengandalkan Tuhan untuk secara sadar menahan diri. Dengan cara itu, aku akan punya kekuatan untuk bertahan dan memenuhi tugasku dengan damai.

Sekarang ini, meski masih sering punya hasrat rusak berupa kenyamanan dan kemudahan, aku tahu bahwa selama aku mengikuti firman Tuhan dan dengan teguh menerapkannya, aku akan mentahirkan diriku dari watak rusak ini dan mencapai perubahan.

Sebelumnya: 10. Berpura-pura Paham Membuatku Lelah

Selanjutnya: 12. Jalanku yang Sulit Menuju Kerja Sama yang Harmonis

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

84. Iman yang Tak Terhancurkan

Oleh Saudara Meng Yong, TiongkokPada Desember 2012, beberapa saudara-saudari dan aku naik mobil menuju suatu tempat untuk mengabarkan...

29. Pertobatan Seorang Perwira

Oleh Saudara Zhen Xin, TiongkokTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Sejak penciptaan dunia hingga saat ini, segala yang Tuhan lakukan dalam...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini