Cara Mengejar Kebenaran (12)
Dalam beberapa pertemuan terakhir, bukankah kita mempersekutukan topik-topik mengenai pernikahan dalam hal "perlunya orang melepaskan pengejaran, cita-cita, dan keinginan mereka"? (Ya.) Pada dasarnya, kita telah selesai mempersekutukan topik tentang pernikahan. Kali ini, kita harus mempersekutukan topik tentang keluarga. Pertama-tama, mari kita melihat aspek keluarga apa saja yang berkaitan dengan pengejaran, cita-cita, dan keinginan orang. Orang tentunya tidak asing lagi dengan konsep mengenai keluarga. Hal pertama yang orang pikirkan setiap kali topik ini dibahas adalah tentang susunan dan anggota keluarga, serta berbagai urusan dan orang-orang yang terlibat dalam keluarga. Ada banyak topik semacam itu yang berkaitan dengan keluarga. Sebanyak apa pun gambaran dan pikiran yang ada di benakmu, apakah semua itu ada kaitannya dengan "perlunya orang melepaskan pengejaran, cita-cita, dan keinginan mereka", yang akan kita persekutukan hari ini? Engkau bahkan tidak tahu apakah hal-hal ini berkaitan sebelum kita memulai persekutuan kita. Jadi, sebelum kita lanjutkan persekutuan kita, dapatkah kaukatakan kepada-Ku, apa yang orang pikirkan tentang keluarga, atau hal apa saja yang menurutmu ada kaitannya dengan keluarga yang harus dilepaskan? Sebelumnya, kita telah membahas tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan pengejaran, cita-cita, dan keinginan orang. Tahukah engkau, setiap aspek dari topik yang kita persekutukan ini berkaitan dengan apa? Aspek apa pun itu, yang harus orang lepaskan bukanlah masalah itu sendiri, melainkan gagasan dan pandangan mereka yang salah dalam memperlakukan masalah itu, dan berbagai masalah yang orang hadapi yang berkaitan dengan masalah tersebut. Berbagai masalah ini adalah inti yang harus kita persekutukan mengenai aspek-aspek tersebut. Berbagai masalah ini adalah hal-hal yang memengaruhi pengejaran orang akan kebenaran, atau lebih tepatnya, semua ini adalah masalah yang menghalangi orang sehingga mereka tidak mengejar dan masuk ke dalam kebenaran. Dengan kata lain, jika terdapat penyimpangan atau masalah dalam pengetahuanmu tentang suatu hal, maka akan ada pula masalah serupa dalam sikapmu, dalam caramu memperlakukan atau menangani masalah ini, dan masalah-masalah terkait ini adalah topik yang perlu kita persekutukan. Mengapa kita perlu mempersekutukannya? Karena dampak masalah-masalah ini sangat besar dan luar biasa terhadap pengejaranmu akan kebenaran dan terhadap pandanganmu yang benar dan berprinsip mengenai suatu masalah, dan tentu saja, ini juga memengaruhi kemurnian dari cara penerapanmu terhadap masalah ini, serta prinsipmu dalam menanganinya. Sama seperti ketika kita mempersekutukan topik tentang minat pribadi, hobi, dan pernikahan, kita mempersekutukan topik tentang keluarga karena manusia memiliki banyak gagasan, pandangan dan sikap yang keliru tentang keluarga, atau karena keluarga itu sendiri memberi banyak pengaruh negatif pada orang-orang, dan pengaruh negatif ini akan secara alami membuat mereka memiliki gagasan dan pandangan yang keliru. Gagasan dan pandangan yang keliru ini akan memengaruhi pengejaranmu akan kebenaran, dan mengarahkanmu pada hal-hal ekstrem, sehingga setiap kali menghadapi masalah atau persoalan yang ada kaitannya dengan keluarga, engkau tidak akan memiliki pandangan atau jalan yang benar untuk memperlakukan atau menangani masalah dan persoalan ini, dan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ditimbulkannya. Inilah prinsip persekutuan kita tentang setiap topik, dan juga masalah utama yang harus diselesaikan. Jadi, mengenai topik tentang keluarga, menurut engkau semua, apa sajakah pengaruh negatif keluarga terhadapmu, dan dalam hal apa keluarga menghalangi pengejaranmu akan kebenaran? Dalam perjalananmu memercayai Tuhan dan melaksanakan tugasmu, dan saat engkau mengejar kebenaran atau mencari prinsip-prinsip kebenaran serta menerapkan kebenaran, dalam hal apa keluarga memengaruhimu dan menghambat pemikiranmu, prinsip-prinsip dari perilakumu, nilai-nilaimu, dan pandanganmu terhadap kehidupan? Dengan kata lain, karena engkau dilahirkan dalam sebuah keluarga, pengaruh apa saja, gagasan dan pandangan keliru apa saja, hambatan dan gangguan apa saja yang keluargamu timbulkan terhadap kehidupanmu sehari-hari sebagai orang percaya, serta terhadap pengejaran dan pemahamanmu akan kebenaran? Kita mempersekutukan topik tentang pernikahan dengan mengikuti suatu prinsip, begitu pula dengan persekutuan kita tentang topik keluarga. Engkau tidak dituntut untuk melepaskan konsep keluarga dalam artian formal, atau menurut pikiran dan pandanganmu, dan engkau juga tidak dituntut untuk melepaskan keluarga jasmanimu, atau anggota mana pun dari keluarga jasmanimu. Melainkan, engkau dituntut untuk melepaskan berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh keluarga itu sendiri terhadapmu, dan melepaskan hambatan serta gangguan yang keluarga sebabkan terhadap pengejaranmu akan kebenaran. Khususnya, dapat dikatakan bahwa keluargamu menyebabkan keterikatan dan masalah khusus dan spesifik yang dapat kaurasakan dan alami dalam perjalananmu mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasmu, dan itu mengekangmu sehingga engkau tidak mampu menemukan kelepasan atau melaksanakan tugasmu dan mengejar kebenaran dengan efektif. Keterikatan dan masalah ini menyulitkanmu dalam menyingkirkan kekangan dan pengaruh yang disebabkan oleh kata "keluarga" ini, atau oleh orang-orang atau berbagai urusan yang berkaitan dengan keluarga. Ini membuatmu merasa tertekan dalam perjalanan imanmu dan dalam melaksanakan tugasmu karena keberadaan keluarga, atau karena pengaruh negatif yang keluarga timbulkan terhadapmu. Keterikatan dan masalah ini juga sering mengganggu hati nuranimu serta menghalangi tubuh dan pikiranmu sehingga engkau tidak menemukan kelepasan, dan sering mendorongmu untuk merasa bahwa jika engkau menentang gagasan dan pandangan yang kauperoleh dari keluargamu, itu berarti engkau tidak memiliki kemanusiaan dan tidak lagi memiliki moralitas dan standar minimum serta prinsip dalam caramu berperilaku. Ketika menghadapi masalah yang ada kaitannya dengan keluarga, engkau sering merasa bimbang di antara garis batas moralitas dan menerapkan kebenaran, engkau tidak mampu memperoleh kelepasan dan melepaskan dirimu. Apakah engkau semua tahu, masalah khusus apa ini? Pernahkah engkau merasakan beberapa hal yang baru saja Kusebutkan dalam kehidupan sehari-harimu? (Melalui persekutuan yang Tuhan sampaikan, aku teringat pada saat aku menjadi tidak mampu menerapkan kebenaran dan merasa hati nuraniku terganggu ketika menerapkannya karena aku memiliki pandangan yang salah tentang keluargaku. Sebelumnya, ketika aku baru saja lulus kuliah dan ingin mengabdikan diri untuk melaksanakan tugasku, muncul pertentangan dalam hatiku. Aku merasa, karena keluargaku telah membesarkanku dan membiayai kuliahku selama ini, kini setelah lulus kuliah, jika aku tidak mencari uang dan menafkahi keluargaku, itu berarti aku tidak berbakti dan tidak memiliki kemanusiaan, dan ini sangat membebani hati nuraniku. Pada saat itu, aku bergumul mengenai hal ini selama beberapa bulan, sampai akhirnya kutemukan jalan keluarnya dalam firman Tuhan, dan kuputuskan untuk melaksanakan tugasku sebaik mungkin. Kurasa pandangan yang keliru tentang keluarga ini benar-benar memengaruhi orang.) Ini adalah contoh yang khas. Ini adalah belenggu tak kasatmata yang keluarga tempatkan pada orang-orang, dan juga merupakan kesulitan yang orang hadapi dalam kehidupan, pengejaran, dan keyakinan mereka karena perasaan, gagasan, atau pandangan mereka tentang keluarga mereka. Hingga taraf tertentu, masalah-masalah ini menciptakan tekanan dan beban di lubuk hatimu, sehingga dari waktu ke waktu, muncul sejumlah perasaan buruk di dalam hatimu. Ada lagi yang mau menambahkan? (Tuhan, aku berpandangan bahwa sebagai seorang anak yang kini sudah dewasa, aku seharusnya berbakti dan membereskan semua kekhawatiran dan masalah orang tuaku. Namun, karena aku sedang melaksanakan tugasku secara penuh waktu, aku tidak mampu berbakti pada orang tuaku atau melakukan hal-hal tertentu bagi mereka. Melihat orang tuaku yang masih sibuk mencari nafkah, di dalam hatiku, aku merasa berutang kepada mereka. Ketika aku baru mulai percaya kepada Tuhan, aku hampir saja mengkhianati Tuhan karena hal ini.) Ini juga dampak negatif pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga terhadap pemikiran dan gagasan seseorang. Engkau hampir mengkhianati Tuhan, tetapi ada orang-orang yang benar-benar mengkhianati Tuhan. Ada orang-orang yang tak mampu melepaskan keluarga karena gagasan mereka tentang keluarga yang sangat kuat. Pada akhirnya, mereka memilih untuk terus hidup demi keluarga mereka dan tidak lagi melaksanakan tugas mereka.
Setiap orang memiliki keluarga, setiap orang bertumbuh dalam keluarga tertentu, dan berasal dari lingkungan keluarga tertentu. Keluarga sangat penting bagi semua orang, dan merupakan sesuatu yang paling berkesan dalam hidup manusia, sesuatu yang berada di lubuk hati mereka yang sulit untuk ditinggalkan dan dilepaskan. Hal yang tak mampu orang lepaskan dan hal yang sulit mereka tinggalkan bukanlah rumah keluarga ataupun seluruh perlengkapan, peralatan, dan benda-benda di dalamnya, melainkan para anggota keluarga yang membentuk keluarga tersebut, atau suasana dan kasih sayang yang mengalir di dalamnya. Inilah konsep keluarga di benak manusia. Sebagai contoh, anggota keluarga yang lebih tua (kakek, nenek, dan orang tua), mereka yang seusia denganmu (saudara, saudari, dan pasanganmu), dan generasi yang lebih muda (anak-anakmu sendiri): Mereka adalah anggota penting dalam konsep orang tentang keluarga, dan mereka juga merupakan komponen penting dalam setiap keluarga. Apa arti keluarga bagi manusia? Bagi manusia, keluarga adalah pendukung emosional dan jangkar rohani. Apa lagi arti keluarga? Keluarga adalah tempat orang menemukan kehangatan, tempat orang mencurahkan isi hatinya, atau tempat mereka bermanja atau bersikap sesuai suasana hati mereka. Ada orang-orang yang menganggap keluarga sebagai tempat berlindung yang aman, tempat di mana orang dapat memperoleh dukungan emosional, tempat di mana kehidupan seseorang dimulai. Apa lagi? Silakan jelaskan pendapatmu. (Tuhan, menurutku rumah keluarga adalah tempat orang bertumbuh, tempat di mana anggota keluarga saling menemani dan saling bergantung.) Bagus sekali. Apa lagi? (Dahulu kupikir keluarga adalah tempat berlindung yang nyaman. Sebanyak apa pun ketidakadilan yang kualami di dunia luar, setiap kali aku pulang ke rumah, suasana hati dan jiwaku menjadi tenang dalam segala hal karena dukungan dan pengertian keluargaku, jadi aku merasa keluarga adalah tempat berlindung yang aman dalam hal itu.) Rumah keluarga adalah tempat yang penuh kenyamanan dan kehangatan, bukan? Keluarga sangat penting di benak manusia. Setiap kali orang merasa bahagia, mereka ingin menceritakan kebahagiaan itu kepada keluarganya; demikian pula, setiap kali orang merasa susah dan sedih, mereka berharap bisa menceritakan masalah mereka kepada keluarganya. Setiap kali orang memiliki perasaan apa pun, seperti sukacita, kemarahan, kesedihan, dan kegembiraan, mereka cenderung menceritakannya kepada keluarga, tanpa tekanan atau beban apa pun. Bagi setiap orang, keluarga adalah hal yang hangat dan indah, semacam penyokong bagi jiwa mereka yang tidak dapat mereka lepaskan, atau yang tanpanya, mereka tidak dapat hidup setiap saat dalam hidup mereka, dan rumah keluarga adalah tempat yang memberikan dukungan luar biasa bagi tubuh, jiwa dan pikiran manusia. Oleh karena itu, keluarga adalah bagian yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan setiap orang. Namun, pengaruh negatif seperti apa yang disebabkan oleh tempat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia ini, terhadap pengejaran mereka akan kebenaran? Pertama-tama, dapat dikatakan dengan pasti bahwa tak soal betapa pentingnya keluarga bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia, atau apa pun peran dan fungsi keluarga bagi kelangsungan hidup dan kehidupan mereka, tetap saja keluarga akan menciptakan sejumlah masalah—baik besar maupun kecil—bagi orang-orang yang sedang menempuh jalan mengejar kebenaran. Sekalipun keluarga berperan penting dalam proses pengejaran orang akan kebenaran, keluarga juga menciptakan segala macam gangguan dan masalah yang sulit dihindari. Artinya, dalam proses orang mengejar dan menerapkan kebenaran, ada berbagai masalah psikologis dan ideologis yang keluarga ciptakan, serta masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek formal, yang menyebabkan orang menghadapi banyak kesulitan. Lalu, apa sebenarnya masalah-masalah tersebut? Tentu saja, dalam proses mengejar kebenaran, orang sudah pernah mengalami masalah-masalah ini dalam jumlah dan taraf yang berbeda. Hanya saja mereka belum memikirkan dan merenungkannya secara saksama, untuk mengetahui apa sebenarnya masalah utamanya. Selain itu, mereka belum menyadari esensi dari masalah-masalah ini, apalagi prinsip-prinsip kebenaran yang seharusnya orang pahami dan patuhi. Jadi pada hari ini, mari kita persekutukan topik mengenai keluarga, serta masalah dan hambatan apa saja yang disebabkan oleh keluarga yang menghalangi orang dalam pengejaran mereka akan kebenaran, serta pengejaran, cita-cita dan keinginan apa yang harus orang lepaskan yang berkaitan dengan masalah keluarga. Ini adalah masalah yang sangat nyata.
Meskipun topik tentang keluarga adalah topik yang luas, tetapi terdapat masalah-masalah spesifik yang tercakup dalam topik ini. Masalah yang akan kita persekutukan hari ini adalah pengaruh negatif, gangguan dan rintangan yang orang hadapi selama menempuh jalan mengejar kebenaran yang disebabkan oleh keluarga. Masalah pertama apa yang berkaitan dengan keluarga yang harus orang lepaskan? Orang harus melepaskan identitas yang mereka warisi dari keluarga. Ini adalah masalah yang penting. Mari kita membahas secara khusus tentang betapa pentingnya masalah ini. Setiap orang berasal dari keluarga tertentu, masing-masing keluarga memiliki latar belakang dan lingkungan hidup tertentu, kualitas hidup tertentu, serta cara hidup dan kebiasaan tertentu. Setiap orang mewarisi identitas khusus dari lingkungan hidup dan latar belakang keluarganya. Identitas khusus ini bukan saja merepresentasikan nilai spesifik setiap orang di tengah masyarakat dan di antara orang-orang, tetapi juga merupakan simbol dan penanda tertentu. Lalu, apa arti penanda ini? Ini menandakan apakah seseorang dianggap terhormat atau rendah di kelompok mereka. Identitas khusus ini menentukan status orang di tengah masyarakat dan di antara orang-orang, dan status ini mereka warisi dari keluarga tempat mereka dilahirkan. Oleh karena itu, latar belakang keluargamu dan seperti apakah keluargamu sangatlah penting, karena itu memengaruhi identitas dan statusmu di antara orang-orang dan di tengah masyarakat. Jadi, identitas dan statusmu menentukan apakah kedudukanmu di tengah masyarakat terhormat atau rendah, apakah engkau dihormati, sangat dihargai, dan dipuja oleh orang lain, atau engkau dihina, didiskriminasi, dan diinjak-injak oleh orang lain. Justru karena identitas yang orang warisi dari keluarga mereka memengaruhi keadaan dan masa depan mereka di tengah masyarakat, maka identitas yang diwariskan ini merupakan hal yang sangat krusial dan penting bagi setiap orang. Justru karena identitas yang kauwarisi ini memengaruhi gengsi, status, dan nilaimu di tengah masyarakat, serta memengaruhi apakah engkau akan dihormati atau dihina dalam hidupmu, engkau sendiri pun akan cenderung menganggap penting latar belakang keluargamu dan identitas yang kauwarisi dari keluargamu. Karena hal ini memiliki dampak yang luar biasa bagimu, ini merupakan hal yang sangat penting dan signifikan bagi kelangsungan hidupmu. Karena ini merupakan hal yang sangat penting dan signifikan, hal ini menduduki tempat penting di dalam jiwamu, dan engkau memandang hal ini sebagai sesuatu yang sangat penting. Identitas yang kauwarisi dari keluargamu bukan saja sangat penting bagimu, tetapi engkau juga memandang identitas siapa pun yang kaukenal atau tidak kaukenal dari sudut pandang yang sama, dengan pandangan yang sama dan cara yang sama, dan engkau menggunakan sudut pandang ini untuk mengukur identitas setiap orang yang berhubungan denganmu. Engkau menggunakan identitas mereka untuk menilai karakter mereka dan untuk menentukan caramu memperlakukan dan berinteraksi dengan mereka—apakah engkau akan berinteraksi dengan mereka dengan ramah, bersikap setara, atau patuh kepada mereka dan menuruti setiap perkataan mereka, ataukah berinteraksi dengan mereka ala kadarnya dan memandang mereka dengan pandangan menghina dan diskriminatif, atau bahkan bergaul dan berinteraksi dengan mereka dengan cara yang tidak manusiawi dan tidak menganggap mereka setara. Cara memandang orang lain dan cara menangani segala sesuatu seperti ini sebagian besar ditentukan oleh identitas yang orang peroleh dari keluarga mereka. Latar belakang dan kedudukan keluargamu menentukan status sosial seperti apa yang akan kaumiliki, dan status sosial yang kaumiliki menentukan cara dan prinsip yang kaugunakan dalam caramu memandang dan berurusan dengan orang dan berbagai hal. Jadi, sikap dan cara yang orang gunakan dalam menangani berbagai hal sebagian besar bergantung pada identitas yang mereka warisi dari keluarga mereka. Mengapa Kukatakan "sebagian besar"? Ada beberapa situasi tertentu yang tidak akan kita bahas. Bagi kebanyakan orang, situasinya seperti yang baru saja Kujelaskan. Setiap orang cenderung dipengaruhi oleh identitas dan status sosial yang mereka peroleh dari keluarga mereka, dan setiap orang juga cenderung menggunakan cara yang sesuai dalam memandang dan berurusan dengan orang dan segala sesuatu berdasarkan identitas dan status sosial ini—hal ini sangat wajar. Justru karena hal ini tidak dapat dihindari dan merupakan cara pandang terhadap kelangsungan hidup yang diperoleh secara alami dari keluarga mereka, maka asal mula cara pandang orang tentang kelangsungan hidup dan cara hidup bergantung pada identitas yang mereka warisi dari keluarga mereka. Identitas yang orang warisi dari keluarga mereka menentukan cara dan prinsip yang mereka gunakan dalam memandang dan berurusan dengan orang-orang dan segala sesuatu, serta menentukan sikap mereka ketika memilih dan mengambil keputusan selama proses mereka memandang serta berurusan dengan orang dan segala sesuatu. Hal ini tentu saja akan membuat orang menghadapi masalah yang sangat serius. Asal mula gagasan dan sudut pandang orang dalam memandang dan berurusan dengan orang dan segala sesuatu, di satu sisi dipengaruhi oleh keluarga, dan di sisi lain, dipengaruhi oleh identitas yang orang warisi dari keluarga mereka—pengaruh ini sangat sulit untuk orang tinggalkan. Akibatnya, orang menjadi tidak mampu untuk memperlakukan diri mereka dengan cara yang benar, masuk akal dan adil, atau tidak mampu memperlakukan orang lain dengan adil, dan juga tidak mampu memperlakukan orang dan segala sesuatu dengan cara yang sesuai dengan prinsip kebenaran yang Tuhan ajarkan. Sebaliknya, mereka bersikap fleksibel dalam cara mereka menangani masalah, menerapkan prinsip, dan menentukan pilihan berdasarkan perbedaan antara identitas mereka sendiri dan identitas orang lain. Karena cara orang memandang dan menangani segala sesuatu di tengah masyarakat dan di antara orang-orang dipengaruhi oleh kedudukan keluarga mereka, cara-cara ini pasti bertentangan dengan prinsip dan cara menangani segala sesuatu yang telah Tuhan sampaikan kepada manusia. Lebih tepatnya, cara-cara ini pasti berlawanan, bertentangan, dan melanggar prinsip serta cara-cara yang telah Tuhan ajarkan. Jika cara orang bertindak didasarkan pada identitas dan status sosial yang mereka warisi dari keluarga mereka, mereka pasti akan menggunakan prinsip dan cara bertindak yang berbeda atau khusus, karena identitas mereka sendiri yang berbeda atau khusus dan karena identitas orang lain. Prinsip yang mereka gunakan ini bukanlah kebenaran, juga tidak sesuai dengan kebenaran. Prinsip yang mereka gunakan ini bukan saja melanggar kemanusiaan, hati nurani dan nalar, tetapi yang lebih parah, prinsip-prinsip ini melanggar kebenaran, karena mereka menentukan apa yang harus orang terima atau tolak berdasarkan pilihan dan kepentingan mereka, dan sejauh mana orang saling menuntut satu sama lain. Jadi, dalam konteks ini, prinsip-prinsip yang orang gunakan dalam memandang dan menangani segala sesuatu tidak adil dan tidak sesuai dengan kebenaran, dan semua itu sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan emosional orang dan kebutuhan mereka untuk mendapatkan keuntungan. Entah engkau mewarisi identitas terhormat atau identitas yang rendah dari keluargamu, identitas ini memiliki tempat tertentu di dalam hatimu, dan bahkan bagi orang-orang tertentu, menempati posisi yang sangat penting. Jadi, ketika engkau ingin mengejar kebenaran, identitas ini pasti akan memengaruhi dan mengganggu upayamu dalam mengejar kebenaran. Itu berarti, selama proses mengejar kebenaran, engkau pasti akan menghadapi masalah seperti caramu memperlakukan orang-orang dan caramu menangani segala sesuatu. Mengenai masalah dan persoalan penting ini, engkau pasti akan memandang orang dan segala sesuatu dengan menggunakan perspektif dan sudut pandang yang berkaitan dengan identitas yang kauwarisi dari keluargamu, dan engkau mau tak mau akan menggunakan cara yang sangat primitif dan sudah tersosialisasikan ini dalam memandang orang dan menangani segala sesuatu. Entah identitas yang kauperoleh dari keluargamu membuatmu merasa bahwa statusmu di tengah masyarakat terhormat ataukah rendah, bagaimanapun juga, identitas ini akan sangat memengaruhi pengejaranmu akan kebenaran, pandanganmu yang benar terhadap kehidupan, dan jalanmu yang benar dalam mengejar kebenaran. Lebih tepatnya, itu akan memengaruhi prinsip yang akan kaugunakan dalam menangani segala sesuatu. Mengertikah engkau?
Berbagai keluarga membuat orang memiliki bermacam-macam identitas dan status sosial. Memiliki status sosial yang baik dan identitas terhormat adalah hal yang orang senangi dan nikmati, sedangkan orang-orang yang mewarisi identitas mereka dari keluarga yang sederhana dan rendahan akan merasa rendah diri dan malu menghadapi orang lain, dan juga merasa tidak dianggap serius atau tidak dihormati. Orang-orang semacam itu juga sering merasa didiskriminasi, yang menyebabkan mereka merasa sedih dan rendah diri di lubuk hatinya. Sebagai contoh, ada orang-orang yang orang tuanya mungkin hanya buruh tani yang menggarap lahan dan menjual sayur-mayur; ada yang orang tuanya mungkin pedagang yang memiliki usaha kecil-kecilan, seperti membuka warung di pinggir jalan atau pedagang asongan; ada yang orang tuanya mungkin bekerja di industri kerajinan, menjahit dan memperbaiki pakaian, atau mengandalkan kerajinan tangan untuk mencari nafkah dan menghidupi seluruh keluarga mereka. Ada orang yang orang tuanya mungkin bekerja di industri jasa sebagai petugas kebersihan atau pengasuh anak; ada orang tua yang mungkin bekerja di bisnis pindahan atau transportasi; ada yang mungkin menjadi tukang pijat, ahli kecantikan, atau tukang cukur, dan ada orang tua yang mungkin memperbaiki barang-barang untuk orang lain, seperti sepatu, sepeda, kacamata, dan sebagainya. Ada orang tua yang mungkin memiliki keahlian membuat kerajinan tangan yang lebih canggih dan memperbaiki barang-barang seperti perhiasan atau jam tangan, sementara yang lain mungkin memiliki status sosial yang jauh lebih rendah dan bergantung pada mengumpulkan dan menjual barang yang dipulung untuk menghidupi anak-anak mereka dan menafkahi keluarga mereka. Semua orang tua ini memiliki status profesional yang relatif rendah di tengah masyarakat, dan tentu saja, sebagai akibatnya, status sosial semua orang dalam keluarga mereka juga akan menjadi rendah. Jadi, di mata dunia, orang-orang yang berasal dari keluarga seperti ini dianggap memiliki status dan identitas yang rendah. Justru karena masyarakat memandang identitas orang dan mengukur nilai orang dengan cara seperti ini, jika orang tuamu adalah buruh tani dan seseorang bertanya kepadamu, "Apa pekerjaan orang tuamu? Seperti apa keluargamu?" engkau akan menjawab, "Orang tuaku ... mmm pekerjaan mereka ... bukan apa-apa," dan engkau tidak berani mengatakan apa pekerjaan mereka, karena engkau terlalu malu untuk mengatakannya. Ketika bertemu dengan teman sekelasmu dan teman-temanmu atau ketika pergi makan malam, orang-orang akan memperkenalkan diri mereka dan berbicara tentang latar belakang keluarga mereka yang bagus atau status sosial mereka yang tinggi. Namun, jika engkau berasal dari keluarga buruh tani, pedagang kecil-kecilan, atau pedagang keliling, engkau tidak akan mau mengatakannya dan akan merasa malu. Ada pepatah populer di kalangan masyarakat yang berbunyi, "Jangan bertanya kepada seorang pahlawan tentang asal usulnya". Pepatah ini terdengar mulia, dan bagi mereka yang memiliki status sosial yang rendah, pepatah ini menawarkan secercah harapan dan seberkas cahaya, serta sedikit kenyamanan. Namun, mengapa kalimat semacam ini populer di kalangan masyarakat? Apakah karena orang-orang di kalangan masyarakat terlalu memperhatikan identitas, nilai dan status sosial mereka? (Ya.) Mereka yang berasal dari latar belakang sederhana selalu merasa kurang percaya diri, jadi mereka menggunakan pepatah ini untuk menghibur diri, serta meyakinkan orang lain, beranggapan bahwa sekalipun status dan identitas mereka rendah, keadaan pikiran mereka lebih unggul, yang merupakan hal yang tidak dapat dipelajari. Serendah apa pun identitasmu, jika keadaan pikiranmu unggul, itu membuktikan bahwa engkau adalah orang terhormat, bahkan lebih terhormat daripada orang-orang yang memiliki identitas dan status terhormat itu. Hal ini menunjukkan masalah apa? Makin orang berkata, "Jangan bertanya kepada seorang pahlawan tentang asal usulnya", makin itu membuktikan bahwa mereka peduli akan identitas dan status sosial mereka. Terutama jika identitas dan status sosial seseorang sangat sederhana dan rendah, mereka akan menggunakan pepatah ini untuk menghibur diri dan mengisi kekosongan dan ketidakpuasan di dalam hati mereka. Ada orang-orang yang pekerjaan orang tuanya bahkan lebih buruk daripada pedagang kecil-kecilan dan pedagang keliling, buruh tani dan pengrajin, atau lebih buruk daripada orang tua yang melakukan salah satu dari pekerjaan sederhana, tidak penting, dan berpenghasilan sangat rendah tersebut di tengah masyarakat, sehingga identitas dan status sosial yang mereka warisi dari orang tua mereka jauh lebih rendah. Sebagai contoh, ada yang orang tuanya memiliki reputasi yang sangat buruk di masyarakat, mereka tidak benar-benar melakukan hal-hal yang seharusnya mereka lakukan, dan mereka tidak memiliki pekerjaan yang berterima secara sosial atau berpenghasilan tetap, sehingga mereka kesulitan untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga mereka. Ada orang tua yang sering berjudi dan kehilangan uang setiap kali bertaruh. Pada akhirnya, keluarga tersebut jatuh miskin dan tidak punya uang, tak mampu membiayai pengeluaran mereka sehari-hari. Anak-anak yang lahir dalam keluarga seperti ini mengenakan pakaian yang lusuh, kelaparan, dan hidup dalam kemiskinan. Setiap kali sekolah mengadakan pertemuan untuk orang tua murid, orang tua mereka tidak pernah hadir dan para guru tahu bahwa mereka sedang berjudi. Sudah jelas identitas dan status seperti apa yang dimiliki anak-anak ini di mata para guru dan teman sekelas mereka. Anak-anak yang lahir dalam keluarga seperti ini pasti tidak mampu bersikap percaya diri di hadapan orang lain. Sekalipun mereka belajar dengan baik dan bekerja keras, dan sekalipun mereka berpendirian kuat dan menonjol, identitas yang mereka warisi dari keluarga ini telah menentukan status dan nilai mereka di mata orang lain—hal ini dapat membuat orang merasa sangat tertekan dan sedih. Dari manakah asal kesedihan dan perasaan tertekan ini? Perasaan itu berasal dari sekolah, dari para guru, dari masyarakat, dan terutama dari pandangan keliru manusia mengenai cara memperlakukan orang. Bukankah demikian? (Ya.) Ada orang tua yang reputasinya di tengah masyarakat tidak terlalu buruk, tetapi mereka pernah melakukan hal-hal tidak bermoral. Sebagai contoh, beberapa orang tua pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman karena menggelapkan uang dan menerima suap, atau karena mereka melanggar hukum dengan melakukan sesuatu yang ilegal atau melakukan bisnis berisiko tinggi demi meraih keuntungan yang banyak dan cepat. Akibatnya, mereka membuat keluarga mereka terkena dampak buruk dan negatif dari perbuatan tersebut dengan memaksa anggota keluarga mereka turut menanggung aib bersama mereka. Jadi, menjadi anggota keluarga semacam ini akan secara efektif makin memengaruhi identitas seseorang. Identitas dan status sosial mereka bukan saja rendah, tetapi mereka juga akan dipandang rendah, dan bahkan dicap dengan sebutan "orang yang suka menggelapkan uang" dan "anggota keluarga pencuri". Setelah orang dicap dengan sebutan seperti ini, identitas dan status sosial mereka akan sangat terpengaruh, dan itu akan makin memperparah keadaan mereka yang sulit di masyarakat, membuat mereka merasa makin tak mampu bersikap percaya diri. Sekeras apa pun engkau berusaha, seramah apa pun dirimu, engkau tetap tidak mampu mengubah identitas dan status sosialmu. Tentu saja, akibat-akibat semacam ini juga merupakan pengaruh dari keluarga terhadap identitas seseorang. Lalu, ada struktur keluarga yang relatif rumit. Sebagai contoh, ada orang-orang yang tidak memiliki ibu kandung, tetapi hanya memiliki ibu tiri yang tidak terlalu baik atau perhatian terhadap mereka, dan yang tidak memberi mereka banyak perhatian dan kasih sayang seorang ibu seraya mereka bertumbuh dewasa. Jadi bagi mereka, menjadi bagian dari keluarga seperti ini secara efektif memberi mereka identitas khusus, yaitu orang yang tidak diinginkan. Dalam konteks identitas khusus inilah, ada lebih banyak kegelapan yang muncul dalam hati mereka dan mereka merasa status mereka di antara orang-orang lebih rendah daripada siapa pun. Mereka tidak merasakan kebahagiaan, merasa keberadaan mereka tidak berarti, dan terutama tidak merasa memiliki tujuan hidup, dan mereka merasa sangat rendah diri dan tidak beruntung. Ada orang-orang yang memiliki struktur keluarga yang rumit karena ibu mereka, yang disebabkan keadaan khusus tertentu, menikah beberapa kali, sehingga mereka memiliki beberapa ayah tiri dan tidak tahu siapa ayah kandung mereka. Sudah jelas identitas seperti apa yang akan orang dapatkan karena menjadi anggota keluarga semacam ini. Status sosial mereka pasti rendah di mata orang lain, dan kadang kala ada orang yang menggunakan masalah ini atau pendapat tertentu tentang keluarga untuk mempermalukan orang tersebut, memfitnah, serta memprovokasinya. Tindakan ini bukan saja akan membuat identitas dan status orang ini menjadi makin rendah di tengah masyarakat, tetapi juga akan membuat mereka merasa malu dan tak mampu memperlihatkan wajah mereka di hadapan orang lain. Singkatnya, identitas dan status sosial tertentu yang orang warisi karena menjadi bagian dari keluarga tertentu seperti yang telah Kusebutkan, atau identitas dan status sosial biasa-biasa saja yang orang warisi karena menjadi anggota keluarga yang biasa-biasa saja, adalah semacam rasa sakit samar yang terasa di lubuk hati mereka. Itu adalah belenggu sekaligus beban, tetapi orang tidak sanggup melepaskannya, dan tidak bersedia meninggalkannya. Itu karena bagi setiap orang, rumah keluarga adalah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, dan juga tempat yang sangat menyokong mereka. Bagi mereka yang keluarganya membelenggu mereka dengan status sosial dan identitas yang sederhana dan rendah, keluarga menjadi hal yang baik sekaligus hal yang buruk, karena secara psikologis, orang tak mampu hidup tanpa keluarga, tetapi dalam hal kebutuhan mereka yang nyata dan objektif, keluarga telah membawa taraf aib yang berbeda bagi mereka, membuat mereka tidak memperoleh rasa hormat dan pengertian yang sepatutnya mereka terima di antara orang-orang dan di tengah masyarakat. Jadi bagi sebagian orang ini, rumah keluarga merupakan tempat yang mereka cintai sekaligus mereka benci. Keluarga semacam ini tidak dihargai atau dihormati oleh siapa pun di tengah masyarakat, sebaliknya, mereka didiskriminasi dan dipandang rendah oleh orang lain. Justru karena inilah, maka orang yang dilahirkan dalam keluarga semacam ini juga mewarisi identitas, status, dan nilai yang sama. Rasa malu yang mereka rasakan karena menjadi bagian dari keluarga semacam ini sering kali memengaruhi emosi mereka yang terdalam, pandangan mereka terhadap segala sesuatu, dan juga cara mereka dalam menangani segala sesuatu. Hal ini pasti akan sangat memengaruhi pengejaran dan juga penerapan mereka akan kebenaran pada saat mereka mengejarnya. Justru karena hal-hal ini dapat memengaruhi pengejaran dan penerapan orang akan kebenaran, maka apa pun identitas yang kauwarisi dari keluargamu, engkau harus melepaskannya.
Ada orang-orang yang mungkin berkata, "Para orang tua yang baru saja Kaubicarakan semuanya adalah buruh tani, pedagang kecil-kecilan, pedagang keliling, petugas kebersihan, dan para pekerja serabutan. Status sosial ini sangat rendah dan sudah sepantasnya orang lepaskan. Seperti kata pepatah, 'Manusia bergelut ke atas; air mengalir ke bawah', orang sebaiknya melihat ke atas dan bercita-cita yang tinggi dan tidak seharusnya melihat hal-hal yang berkaitan dengan status yang rendah seperti ini. Sebagai contoh, siapa yang ingin menjadi buruh tani? Siapa yang ingin menjadi pedagang kecil-kecilan? Semua orang ingin menghasilkan banyak uang, menjadi pejabat tinggi, memiliki status di tengah masyarakat, dan mencapai kesuksesan yang melejit. Tak seorang pun bercita-cita menjadi buruh tani sejak berusia muda, dan merasa puas dengan menggarap lahan serta memiliki makanan dan minuman secukupnya. Tak seorang pun menganggap hal ini sebagai keberhasilan, tidak ada orang yang seperti itu. Justru karena keluarga-keluarga seperti ini membuat orang merasa malu dan menyebabkan mereka diperlakukan tidak adil karena identitas mereka, maka mereka harus melepaskan identitas yang mereka warisi dari keluarga mereka." Benarkah demikian? (Tidak.) Tidak, bukan. Jika kita membahasnya dari sudut pandang yang berbeda, ada orang yang dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan, atau keluarga yang memiliki lingkungan tempat tinggal yang baik atau status sosial yang tinggi, sehingga orang itu mewarisi identitas dan status sosial yang terhormat, dan dia sangat dihormati di segala tempat. Saat bertumbuh dewasa, dia diperlakukan dengan lembut dan hati-hati oleh orang tua dan anggota keluarganya yang lebih tua, belum lagi perlakuan yang diterimanya di tengah masyarakat. Karena latar belakang keluarganya yang istimewa dan luhur, di sekolah, semua guru dan teman sekelasnya menghormatinya, dan tak seorang pun berani menindasnya. Para guru berbicara kepadanya dengan lembut dan ramah, dan teman-teman sekelasnya sangat menghormatinya. Karena dia berasal dari keluarga berkecukupan dengan latar belakang terhormat, yang memberinya identitas yang luhur di tengah masyarakat dan membuat orang lain menghormatinya, dia menjadi orang yang merasa diri unggul dan merasa memiliki identitas dan status sosial yang terhormat. Akibatnya, di kelompok mana pun, dia memperlihatkan sikap yang terlalu percaya diri, mengatakan apa pun yang dia inginkan tanpa memikirkan perasaan siapa pun, dan sama sekali tidak menahan diri saat melakukan apa pun. Bagi orang lain, dia begitu berwawasan dan anggun, tidak takut untuk berambisi, berbicara dengan bebas, dan bertindak, dan apa pun yang dia katakan atau lakukan, karena didukung oleh latar belakang kuat dari keluarganya, selalu saja ada orang-orang terpandang yang siap untuk membantunya, dan segala sesuatu yang dia lakukan berjalan lancar. Makin lancar segala sesuatunya, makin dia merasa dirinya unggul. Ke mana pun dia pergi, dia bertekad untuk bertindak dengan arogan dan menonjolkan dirinya, dan tampil berbeda dari orang lain. Setiap kali makan bersama orang lain, dia memilih porsi yang besar, dan jika dia tidak mendapatkannya, dia menjadi marah. Ketika tinggal bersama saudara-saudari, dia bersikeras untuk tidur di ranjang yang terbaik—yang terletak di tempat yang paling terkena sinar matahari, atau di dekat pemanas, atau di mana pun yang udaranya terasa segar—dan tempat itu menjadi miliknya sendiri. Bukankah ini sikap merasa diri unggul? (Ya.) Ada orang-orang yang orang tuanya berpenghasilan besar, atau merupakan pegawai negeri, atau merupakan profesional berbakat dengan gaji tinggi, sehingga keluarga mereka hidup dengan sangat nyaman dan berkecukupan, dan tidak perlu khawatir dalam membeli barang-barang seperti makanan atau pakaian. Akibatnya, orang-orang semacam ini merasa dirinya sangat unggul. Mereka dapat mengenakan apa pun yang mereka inginkan, membeli pakaian yang paling modis dan membuangnya begitu pakaian tersebut ketinggalan zaman. Mereka juga dapat memakan apa pun yang mereka inginkan—mereka hanya perlu menyuruh dan seseorang akan mengantarkannya. Mereka sama sekali tak perlu mengkhawatirkan apa pun, dan mereka merasa luar biasa unggul. Identitas yang mereka warisi dari jenis keluarga berkecukupan seperti ini berarti bahwa di mata orang lain, jika mereka perempuan, mereka adalah seorang putri, dan jika mereka laki-laki, mereka adalah seorang pangeran. Apa yang telah mereka warisi dari jenis keluarga seperti ini? Identitas dan status sosial yang luhur. Yang mereka warisi dari jenis keluarga seperti ini bukanlah rasa malu, melainkan kemuliaan. Di lingkungan atau kelompok mana pun orang-orang ini berada, mereka selalu merasa bahwa mereka lebih unggul dibanding semua orang lainnya. Mereka mengatakan hal-hal seperti, "Orang tuaku adalah pengusaha kaya. Keluargaku punya banyak uang, Aku membelanjakannya kapan pun aku mau, dan aku tak pernah harus membuat anggaran," atau "Orang tuaku adalah pejabat tinggi. Di mana pun aku berbisnis, aku mampu membereskan semua urusan dengan hanya memberi perintah, tanpa perlu melewati prosedur normal. Sedangkan engkau, engkau harus banyak berupaya untuk membereskan urusan, engkau harus melewati prosedur yang benar, menunggu giliranmu, dan memohon-mohon orang lain untuk membantumu. Lihatlah aku, aku hanya perlu menyuruh salah seorang pembantu orang tuaku dan urusan pun selesai. Identitas dan status sosialku ini hebat, bukan!" Apakah dia merasa dirinya unggul? (Ya.) Ada orang yang berkata, "Orang tuaku adalah selebritas publik, kau dapat mencari nama mereka di internet dan lihatlah apakah nama mereka muncul." Ketika ada yang mengecek daftar selebritas dan nama orang tuanya benar-benar tertera di sana, itu membuatnya merasa unggul. Di mana pun dia berada, ketika seseorang bertanya kepadanya, "Siapa namamu?" dia menjawab, "Tidak penting siapa namaku, engkau tahu siapa orang tuaku, nama mereka si ini dan si itu." Hal pertama yang dia beritahukan kepada orang-orang adalah nama orang tuanya, agar orang lain mengetahui identitas dan status sosial dirinya. Ada seseorang yang berpikir, "Keluargamu memiliki status, kedua orang tuamu adalah pejabat, atau selebritas, atau pengusaha kaya, yang menjadikanmu anak yang memiliki hak istimewa karena memiliki orang tua yang jabatannya tinggi atau kaya raya. Lalu, apalah aku?" Setelah memikirkannya, dia menjawab, "Tidak ada yang istimewa mengenai orang tuaku, mereka hanya pekerja biasa yang berpenghasilan rata-rata, jadi tidak ada yang dapat dibanggakan—tetapi salah seorang dari nenek moyangku adalah perdana menteri di suatu dinasti." Yang lain berkata, "Dahulu nenek moyangmu adalah perdana menteri. Wow, berarti engkau memiliki status istimewa. Engkau adalah keturunan perdana menteri. Siapa pun yang merupakan keturunan perdana menteri bukanlah orang biasa, itu berarti engkau juga adalah keturunan selebritas!" Jadi, begitu seseorang mengaitkan dirinya dengan seorang selebritas, identitasnya akan menjadi berbeda, status sosialnya akan langsung meningkat, dan dia akan menjadi orang yang dihormati. Ada pula yang berkata, "Nenek moyangku adalah generasi pengusaha kaya. Mereka sangat kaya. Belakangan, karena terjadi perubahan sosial dan perubahan sistem sosial, aset-aset mereka disita. Sekarang ini, banyak dari rumah-rumah yang orang tinggali dalam radius puluhan kilometer dari sini, dahulunya adalah rumah-rumah nenek moyangku. Dahulu, rumah keluargaku memiliki empat atau lima ratus kamar, atau paling sedikit, dua atau tiga ratus kamar, dan seluruh pelayannya ada lebih dari seratus orang. Kakekku adalah pemilik bisnis tersebut. Dia tidak pernah melakukan pekerjaan apa pun, dia hanya menyuruh orang lain untuk melakukannya. Nenekku menjalani kehidupan yang sangat dimanja, dan mereka berdua memiliki pelayan yang membantu mereka berpakaian dan mencucikan pakaian mereka. Belakangan, karena lingkungan sosial berubah, keluarga itu hancur, jadi mereka tidak lagi menjadi bagian dari kaum bangsawan, melainkan hanya menjadi rakyat biasa. Dahulu, keluargaku adalah keluarga yang terkemuka dan bergengsi. Jika mereka menghentakkan kaki di ujung suatu desa, getarannya dapat dirasakan hingga di ujung desa lainnya. Semua orang tahu siapa mereka. Dari keluarga semacam itulah aku berasal, jadi bagaimana menurutmu asal-usulku ini? Luar biasa, bukan? Kau seharusnya menghormatiku, bukan?" Lalu ada yang berkata, "Kekayaan nenek moyangmu sama sekali tidak mengesankan. Nenek moyangku dahulu adalah kaisar, bahkan pada saat itu dia adalah kaisar pendiri. Konon, nama belakangku diturunkan darinya. Semua keluargaku adalah keturunan langsungnya, bukan kerabat jauhnya. Bagaimana menurutmu? Karena sekarang engkau telah tahu latar belakang nenek moyangku, bukankah engkau seharusnya lebih mengagumiku dan memperlihatkan sedikit respek kepadaku? Bukankah kau seharusnya menghormatiku?" Ada orang yang berkata, "Meskipun di antara nenek moyangku tidak ada yang menjadi kaisar, salah seorang dari mereka adalah seorang jenderal yang membunuh musuh yang tak terhitung jumlahnya, melakukan eksploitasi militer yang tak terhitung banyaknya, dan menjadi menteri penting di istana kekaisaran. Semua keluargaku adalah keturunan langsungnya. Sampai hari ini, keluargaku masih mempelajari jurus-jurus seni bela diri yang diturunkan oleh nenek moyangku yang dirahasiakan dari orang luar. Bagaimana menurutmu? Bukankah identitasku istimewa? Bukankah statusku terhormat?" Identitas khusus yang orang warisi dari keluarga yang mereka sebut sebagai nenek moyang ini, dan dari keluarga modern mereka, dianggap orang sebagai hal yang terhormat dan mulia, dan dari waktu ke waktu, mereka menyinggungnya dan memamerkannya sebagai simbol dari identitas dan status sosial mereka. Di satu sisi, mereka melakukannya untuk membuktikan bahwa identitas dan status mereka luar biasa. Di sisi lain, ketika orang menceritakan kisah-kisah ini, mereka juga sedang berusaha untuk mengukir kedudukan dan status yang lebih tinggi bagi diri mereka sendiri, agar dapat meningkatkan nilai mereka di antara orang-orang, agar terlihat luar biasa dan istimewa. Apa tujuan menjadi luar biasa dan istimewa? Tujuannya adalah untuk memperoleh rasa hormat, kekaguman, dan penghargaan yang tarafnya lebih tinggi dari orang lain, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan lebih nyaman, mudah, dan bermartabat. Terutama di lingkungan khusus tertentu, misalnya, ada orang-orang yang selalu tak mampu menegaskan kehadiran mereka di suatu kelompok, atau tak mampu memperoleh rasa hormat atau penghargaan dari orang lain. Jadi, mereka mencari kesempatan dan dari waktu ke waktu dengan menggunakan identitas istimewa mereka atau latar belakang istimewa keluarga mereka untuk menegaskan kehadiran mereka dan untuk memberi tahu orang-orang bahwa mereka luar biasa, dan membuat orang menghargai dan menghormati mereka, sehingga mereka memperoleh wibawa di antara orang-orang. Mereka berkata, "Meskipun identitas, status, dan kualitasku sendiri biasa-biasa saja, salah seorang dari nenek moyangku adalah penasihat keluarga pangeran dari Dinasti Ming. Pernahkah engkau mendengar nama ini atau nama itu? Dia adalah nenek moyangku, kakeknya kakek buyutku, dia adalah penasihat penting bagi keluarga pangeran. Dia dikenal sebagai 'Sang Perencana'. Dia ahli dalam segala bidang, mulai dari bidang astronomi, geografi, sejarah kuno dan modern, hingga urusan dalam dan luar negeri Tiongkok. Dia juga mampu membuat prediksi. Keluarga kami masih memiliki kompas feng shui geomantik yang dia gunakan." Meskipun mereka mungkin tidak sering membicarakannya, mereka masih menyuguhi orang lain dengan kisah-kisah tentang sejarah nenek moyang mereka yang menakjubkan dari waktu ke waktu. Tak seorang pun tahu apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak, dan beberapa dari kisah itu mungkin hanya dongeng, tetapi beberapa di antaranya mungkin benar. Bagaimanapun juga, di benak orang-orang, identitas yang mereka warisi dari keluarga sangatlah penting. Identitas itu menentukan kedudukan dan status mereka di antara orang-orang, perlakuan yang mereka terima di antara orang-orang, dan juga situasi dan derajat mereka di antara orang-orang. Justru karena saat berada di antara orang lain, orang dapat merasakan pengaruh dari hal-hal yang mereka dapatkan dari identitas yang diwarisi mereka, maka mereka menganggapnya sangat penting. Akibatnya, mereka memamerkan bagian yang "mulia" dan "cemerlang" dari sejarah keluarga mereka dari waktu ke waktu, sembari berulang kali berusaha tidak menyebutkan aspek-aspek dari latar belakang keluarga mereka atau kejadian memalukan dalam keluarga, atau hal yang mungkin akan dipandang rendah atau didiskriminasi. Singkatnya, identitas yang orang warisi dari keluarga mereka sangatlah penting di hati mereka. Ketika mengalami peristiwa khusus tertentu, mereka sering menggunakan identitas khusus keluarga mereka sebagai modal dan sebagai alasan untuk memamerkan diri, agar memperoleh pengakuan dari orang lain dan mendapatkan status di antara orang-orang. Entah keluargamu memberimu kemuliaan atau memalukan bagimu, atau entah identitas dan status sosial yang kauwarisi dari keluargamu luhur atau sederhana, keluargamu tidak lebih dari sekadar keluarga. Keluargamu tidak menentukan apakah engkau mampu memahami kebenaran atau tidak, apakah engkau mampu mengejar kebenaran atau tidak, atau apakah engkau mampu memulai jalan mengejar kebenaran atau tidak. Oleh karena itu, orang tidak boleh menganggapnya sebagai hal yang sangat penting, karena keluarga tidak menentukan nasib seseorang, tidak menentukan masa depan seseorang, dan terutama tidak menentukan jalan yang orang tempuh. Identitas yang kauwarisi dari keluargamu hanya dapat menentukan perasaan dan persepsimu sendiri di antara orang-orang. Entah identitas yang kauwarisi dari keluargamu itu adalah sesuatu yang kaubenci atau sesuatu yang pantas kaubanggakan, itu tidak dapat menentukan akankah engkau mampu memulai jalan mengejar kebenaran. Jadi, dalam hal mengejar kebenaran, tidak masalah identitas atau status sosial macam apa yang kauwarisi dari keluargamu. Sekalipun identitas yang kauwarisi membuatmu merasa unggul atau terhormat, itu sama sekali tidak penting. Atau, jika identitasmu membuatmu merasa malu dan rendah diri, itu tidak akan memengaruhi pengejaranmu akan kebenaran. Bukankah demikian? (Ya.) Itu tidak akan sedikit pun memengaruhi pengejaranmu akan kebenaran, juga tidak akan memengaruhi identitasmu sebagai makhluk ciptaan di hadapan Tuhan. Sebaliknya, apa pun identitas dan status sosial yang kauwarisi dari keluargamu, dari sudut pandang Tuhan, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk diselamatkan dan untuk melaksanakan tugas mereka serta mengejar kebenaran dengan status dan identitas yang sama. Identitas yang kauwarisi dari keluargamu, entah itu terhormat atau memalukan, tidak menentukan kemanusiaanmu, juga tidak menentukan jalan yang kautempuh. Namun, jika engkau menganggapnya sangat penting, dan menganggapnya sebagai bagian esensial dalam kehidupan dan keberadaanmu, engkau akan memegangnya erat-erat, tidak akan pernah melepaskannya, dan merasa bangga akan hal itu. Jika identitas yang kauwarisi dari keluargamu luhur, engkau akan menganggapnya sebagai semacam modal, sedangkan jika identitas yang kauwarisi dari keluargamu rendah, engkau akan menganggapnya sebagai hal yang memalukan. Entah identitas yang kauwarisi dari keluargamu luhur, mulia, atau memalukan, itu hanyalah pemahaman pribadimu, dan itu hanyalah hasil dari memandang masalah ini dari sudut pandangmu sebagai manusia yang rusak. Itu hanyalah perasaan, persepsi dan pemahamanmu sendiri, yang tidak sesuai dengan kebenaran dan tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Itu bukanlah modalmu untuk mengejar kebenaran, dan tentu saja, itu bukan penghalangmu dalam mengejar kebenaran. Jika status sosialmu luhur dan mulia, bukan berarti itu adalah modalmu agar diselamatkan. Jika status sosialmu rendah dan sederhana, bukan berarti itu adalah penghalang bagimu untuk mengejar kebenaran, apalagi penghalang bagimu untuk mengejar keselamatan. Meskipun lingkungan dan latar belakang keluarga, kualitas hidup, dan keadaan kehidupan, semua itu berasal dari penentuan Tuhan, semua itu tidak ada kaitannya dengan identitas sejati orang di hadapan Tuhan. Setiap orang, tidak soal berasal dari keluarga mana, atau entah latar belakang keluarganya terpandang atau rendah, adalah makhluk ciptaan di mata Tuhan. Sekalipun keluargamu memiliki latar belakang yang terpandang dan engkau memiliki identitas dan status yang luhur, engkau tetap adalah makhluk ciptaan. Demikian pula, jika status keluargamu hina dan engkau dipandang rendah oleh orang lain, bagaimanapun juga, engkau adalah makhluk ciptaan biasa di mata Tuhan—tidak ada yang istimewa mengenai dirimu. Latar belakang keluarga yang berbeda memberi orang lingkungan bertumbuh yang berbeda, dan lingkungan hidup keluarga yang berbeda memberi orang sudut pandang berbeda dalam memperlakukan hal-hal materi, dunia dan kehidupan. Entah kehidupan orang berkecukupan atau berkekurangan, atau entah keadaan keluarga orang menguntungkan atau tidak, itu hanya berarti pengalaman berbeda bagi orang-orang berbeda. Pada umumnya, mereka yang miskin dan standar hidup keluarganya bersahaja akan memiliki pengalaman hidup yang lebih dalam, sedangkan mereka yang kaya dan kehidupan keluarganya sangat beruntung, lebih sulit bagi mereka untuk memperoleh pengalaman seperti itu, bukan? (Ya.) Di lingkungan keluarga macam apa pun engkau dibesarkan, dan apa pun identitas dan status sosial yang kauperoleh dari lingkungan keluarga tersebut, ketika engkau datang ke hadapan Tuhan, ketika engkau diakui dan diterima oleh Tuhan sebagai makhluk ciptaan, di mata Tuhan engkau sama dengan orang lain, engkau setara dengan orang lain, tidak ada yang istimewa dari dirimu, dan Tuhan akan menerapkan cara yang sama dan standar yang sama dalam tuntutan-Nya terhadapmu. Jika engkau berkata, "Aku memiliki status sosial yang istimewa," engkau harus mengabaikan "keistimewaan" ini di hadapan Tuhan; jika engkau berkata, "status sosialku rendah," engkau juga harus mengabaikan "kerendahan" ini. Di hadapan Tuhan, setiap orang dari antaramu harus menyingkir dari identitas keluargamu yang kauwarisi, melepaskannya, menerima identitas yang telah Tuhan berikan kepadamu sebagai makhluk ciptaan, dan menggunakan identitas ini dalam melaksanakan tugasmu dengan baik sebagai makhluk ciptaan. Jika engkau berasal dari keluarga yang baik dan memiliki status yang luhur, tidak ada yang bisa kausombongkan, dan engkau tidak lebih luhur daripada siapa pun. Mengapa demikian? Karena di mata Tuhan, selama engkau adalah makhluk ciptaan, engkau dipenuhi watak yang rusak, dan engkau adalah salah seorang yang ingin Tuhan selamatkan. Demikian pula, jika identitas yang kauwarisi dari keluargamu rendah dan sederhana, engkau tetap harus menerima identitas sebagai makhluk ciptaan yang telah Tuhan berikan kepadamu, dan engkau harus datang ke hadapan Tuhan sebagai seorang makhluk ciptaan untuk menerima keselamatan-Nya. Engkau mungkin berkata, "Status sosial keluargaku rendah, dan identitasku juga rendah. Orang-orang memandang rendah diriku." Tuhan berkata itu bukan masalah. Hari ini, di hadapan Tuhan, engkau bukan lagi seseorang yang menyandang identitas yang keluargamu berikan. Identitasmu saat ini adalah identitas sebagai makhluk ciptaan, dan yang harus kauterima adalah tuntutan Tuhan terhadapmu. Tuhan tidak berpihak kepada siapa pun. Dia tidak melihat latar belakang keluargamu atau identitasmu, karena di mata-Nya, engkau sama dengan semua orang lainnya. Engkau telah dirusak oleh Iblis, engkau adalah salah satu dari umat manusia yang telah dirusak dan engkau adalah makhluk ciptaan di hadapan Tuhan, jadi engkau adalah salah satu dari antara orang-orang yang ingin Tuhan selamatkan. Tidak masalah apakah engkau adalah keturunan pejabat tinggi atau orang tua yang sangat kaya, apakah engkau anak muda yang memiliki hak istimewa, atau seorang putri, atau apakah engkau anak dari buruh tani, atau orang biasa. Hal-hal ini tidak penting, dan Tuhan tidak melihat semua ini. Karena yang ingin Tuhan selamatkan adalah dirimu sebagai seorang pribadi. Dia ingin mengubah watak rusakmu, bukan identitasmu. Watak rusakmu tidak ditentukan oleh identitasmu, dan nilaimu juga tidak ditentukan oleh identitasmu, watak rusakmu pun bukan berasal dari keluargamu. Tuhan ingin menyelamatkanmu bukan karena statusmu mungkin hina, dan terutama bukan karena statusmu mungkin terhormat. Sebaliknya, Tuhan telah memilihmu karena rencana-Nya dan pengelolaan-Nya, karena engkau telah dirusak oleh Iblis, dan engkau adalah salah seorang dari umat manusia yang rusak. Di hadapan Tuhan, apa pun identitas yang kauwarisi dari keluargamu, engkau sama dengan semua orang lainnya. Engkau semua adalah bagian dari umat manusia yang telah dirusak oleh Iblis dan memiliki watak-watak yang rusak. Tidak ada yang istimewa darimu, bukan? (Ya.) Oleh karena itu, jika lain kali seseorang di sekitarmu berkata, "Dahulu aku adalah hakim wilayah," atau "Aku adalah gubernur provinsi," atau seseorang berkata, "Nenek moyang kami adalah kaisar," atau seseorang berkata, "Aku adalah anggota kongres," atau "Aku pernah mencalonkan diri sebagai presiden," atau seseorang berkata, "Aku adalah presiden dari perusahaan besar," atau "Aku adalah bos dari sebuah perusahaan milik negara," apa yang begitu menakjubkan dari semua itu? Pentingkah bagimu pernah menjadi eksekutif senior atau komandan? Dunia ini dan masyarakat ini sangat mementingkan identitas dan status sosial orang, dan menentukan cara memperlakukan dirimu berdasarkan identitas dan status sosialmu. Namun, sekarang engkau berada di rumah Tuhan, dan Tuhan tidak membedakanmu karena cemerlangnya dirimu di masa lalu, atau karena cemerlangnya dan mulianya identitasmu di masa lalu. Terutama karena sekarang Dia menuntutmu untuk mengejar kebenaran, adakah gunanya bagimu untuk memamerkan kualifikasimu, status sosial, dan nilai dirimu? (Tidak ada.) Bukankah bodoh jika engkau melakukannya? (Ya.) Orang bodoh cenderung menggunakan hal-hal ini untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain. Ada juga orang-orang percaya baru yang tingkat pertumbuhannya kecil dan tidak memahami kebenaran, dan yang sering menggunakan hal-hal dari masyarakat dan keluarga ini untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain. Orang-orang yang sudah memiliki landasan dan tingkat pertumbuhan dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, pada umumnya tidak akan melakukan hal ini, dan mereka juga tidak akan membicarakan hal-hal semacam ini. Menggunakan identitas keluarga atau kedudukan sosial sebagai modal tidak sesuai dengan kebenaran.
Sekarang setelah Aku mempersekutukan banyak hal tentang topik ini, apakah engkau mengerti apa yang Kukatakan tentang identitas yang kauwarisi dari keluargamu? (Ya.) Katakan kepada-Ku sesuatu tentang hal ini. (Tuhan, aku akan mengatakan sesuatu tentang hal ini. Orang sering kali sangat mementingkan keluarga tempat mereka dilahirkan, dan identitas serta status keluarga mereka di tengah masyarakat. Orang yang lahir di keluarga dengan status sosial yang rendah cenderung menganggap diri mereka, bagaimanapun juga, lebih rendah daripada orang lain. Mereka merasa karena berasal dari keluarga yang sangat sederhana, mereka tak mampu bersikap percaya diri di tengah masyarakat, sehingga mereka ingin berupaya meningkatkan status sosial mereka; mereka yang lahir di keluarga dengan kedudukan dan status yang relatif tinggi cenderung sangat congkak dan sombong, mereka senang pamer, dan mereka pada dasarnya merasa diri mereka unggul. Padahal sebenarnya, status sosial manusia bukanlah hal yang terpenting, karena di hadapan Tuhan, manusia memiliki identitas dan status yang sama. Mereka semua adalah makhluk ciptaan. Identitas dan status seseorang tidak dapat menentukan apakah dia mampu mengejar kebenaran, menerapkan kebenaran, diselamatkan atau tidak, jadi orang tidak boleh mengekang diri mereka karena identitas dan status mereka.) Bagus sekali. Orang yang tidak mengejar kebenaran sangat memedulikan identitas dan status sosial seseorang, sehingga dalam beberapa keadaan tertentu, mereka akan mengatakan hal-hal seperti: "Kau tahu si itu di gereja kita, keluarganya kaya!" Mata mereka berbinar saat mereka mengucapkan kata "kaya", yang menunjukkan mentalitas mereka yang dipenuhi rasa iri dan kecemburuan. Perasaan iri mereka sudah berkembang sangat lama hingga mencapai taraf di mana mereka ingin sekali menjadi orang semacam itu dan berkata, "Oh, kau tahu orang-orang di sana itu, ayahnya adalah pejabat tinggi, ayahnya adalah hakim wilayah, ayahnya adalah walikota, dan ayah orang itu adalah sekretaris di departemen pemerintahan!" Ketika melihat seseorang yang mengenakan pakaian bagus atau berbusana mewah, atau seseorang yang sedikit berkelas atau berwawasan, atau yang menggunakan barang-barang yang sangat mewah, mereka merasa iri dan berpikir, "Keluarga mereka kaya, mereka pasti punya banyak uang," dan mereka pun diliputi perasaan kagum sekaligus iri. Setiap kali mereka membicarakan si itu yang menjadi bos perusahaan tertentu, mereka lebih memedulikan identitas orang itu daripada orang itu sendiri. Mereka selalu membicarakan pekerjaan orang itu sekalipun orang itu sendiri tidak pernah membicarakannya, dan mereka bahkan memilih orang itu ketika tiba waktunya untuk memilih pemimpin gereja. Mereka memiliki perasaan khusus terhadap orang-orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada status sosial mereka, dan memberi orang-orang itu perhatian istimewa. Mereka selalu berusaha mengambil hati orang-orang itu, mendekati dan menjilat mereka, sambil membenci diri mereka sendiri dan berpikir, "Mengapa ayahku bukan seorang pejabat? Mengapa aku dilahirkan di keluarga ini? Mengapa aku tidak memiliki apa pun yang baik yang dapat kukatakan tentang keluargaku? Mereka ada yang terlahir di keluarga pejabat atau pengusaha kaya, sedangkan keluargaku tidak memiliki apa pun. Saudara-saudariku semuanya orang biasa, buruh tani yang menggarap lahan, dan semuanya adalah masyarakat kelas bawah. Dan makin sedikit orang membicarakan orang tuaku, makin baik. Mereka bahkan tidak berpendidikan. Sungguh memalukan!" Begitu ada orang yang menyinggung tentang orang tua mereka, mereka mengelak dan berkata, "Jangan membahas topik ini, mari kita membicarakan hal lain saja. Mari kita membahas hal itu di gereja kita. Lihatlah posisi manajemen yang dijabat orang itu, dia tahu bagaimana menjadi pemimpin. Dia telah melakukannya selama beberapa dekade, tak seorang pun mampu menggantikan dirinya. Orang itu dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Seandainya saja kita bisa menjadi seperti dia. Sekarang karena dia percaya kepada tuhan, dia makin diberkati. Dia benar-benar orang yang diberkati, karena dia sudah memiliki segala sesuatu yang orang inginkan di tengah masyarakat, dan sekarang karena dia telah datang ke rumah tuhan, dia juga dapat masuk ke dalam kerajaan dan memiliki tempat tujuan yang indah." Mereka yakin jika seorang pejabat datang ke rumah Tuhan, dia sudah seharusnya menjadi pemimpin gereja dan memiliki tempat tujuan yang indah. Siapa yang memutuskan hal itu? Apakah mereka yang menjadi penentu keputusan? (Tidak.) Ini jelas merupakan sesuatu yang dikatakan oleh para pengikut yang bukan orang percaya. Jika mereka melihat seseorang yang memiliki sedikit kemampuan dan bakat bawaan, yang berpakaian bagus dan menikmati hal-hal baik dalam hidupnya, dan yang mengendarai mobil mewah serta tinggal di rumah besar, mereka akan terus-menerus bergaul dengan orang itu, menjilat dan berusaha mengambil hatinya. Ada juga orang-orang yang merasa bahwa mereka memiliki kedudukan dan status sosial yang tinggi. Ketika mereka datang ke rumah Tuhan, mereka selalu menuntut untuk diberi hak istimewa, main perintah kepada saudara-saudari, dan memperlakukan saudara-saudari seperti budak, karena mereka sudah terbiasa menjalani kehidupan sebagai seorang pejabat. Apakah orang-orang semacam itu menganggap saudara-saudari sebagai bawahan mereka? Ketika tiba waktunya untuk memilih pemimpin gereja, jika mereka tidak terpilih, mereka menjadi marah dan berkata, "Aku tidak mau lagi percaya kepada tuhan, rumah tuhan tidak adil, tidak memberi orang kesempatan, rumah tuhan memandang rendah orang!" Mereka sudah terbiasa menjadi pejabat di dunia, dan menganggap diri mereka sangat hebat, sehingga ketika mereka datang ke rumah Tuhan, mereka selalu berusaha menjadi penentu keputusan, ingin memimpin dalam segala hal, menuntut untuk diberi hak istimewa, dan mereka memperlakukan rumah Tuhan seperti memperlakukan dunia dan masyarakat. Mungkin seseorang adalah istri pejabat di dunia, tetapi dia tetap ingin diperlakukan seperti istri pejabat ketika dia datang ke rumah Tuhan, dan ingin orang-orang menyanjung dirinya serta mengikutinya ke mana pun. Selama pertemuan, jika saudara-saudari lalai menyambutnya, dia akan marah dan tidak mau lagi datang ke pertemuan, karena dia merasa bahwa orang-orang tidak menganggapnya serius, dan merasa bahwa percaya kepada Tuhan itu tidak ada artinya. Bukankah sikapnya tidak masuk akal? (Ya.) Identitas istimewa apa pun yang kaumiliki di tengah masyarakat, ketika engkau datang ke rumah Tuhan, engkau tidak lagi memiliki identitas istimewamu tersebut. Di hadapan Tuhan dan di hadapan kebenaran, manusia hanya memiliki satu identitas, yaitu identitas sebagai makhluk ciptaan. Di dunia, entah engkau seorang pejabat pemerintah atau istri pejabat, entah engkau adalah anggota elit masyarakat atau karyawan kantor berkedudukan rendah, atau entah engkau jenderal atau prajurit, engkau hanya memiliki satu identitas di rumah Tuhan, yaitu identitas sebagai makhluk ciptaan. Tidak ada yang istimewa mengenai dirimu, jadi jangan berusaha memperoleh hak istimewa atau menyuruh orang untuk memujamu. Ada pula orang-orang yang berasal dari keluarga Kristen yang istimewa, atau keluarga yang telah percaya kepada Tuhan selama beberapa generasi. Mungkin ibu mereka pernah bersekolah di seminari, dan ayah mereka adalah pendeta. Mereka terutama sangat diterima di komunitas keagamaan, dan orang-orang percaya senang berada di sekitar mereka. Namun, setelah menerima tahap pekerjaan Tuhan ini, jika mereka tetap merasa memiliki identitas yang sama seperti sebelumnya, berarti mereka sedang hidup di alam mimpi! Sudah waktunya bagi mereka untuk bangun dan berhenti bermimpi. Entah engkau adalah seorang pendeta atau pemimpin, ketika engkau datang ke rumah Tuhan, engkau harus memahami peraturan rumah Tuhan dan belajar untuk mengubah identitasmu. Ini adalah hal pertama yang harus kaulakukan. Engkau bukan pejabat tinggi, juga bukan karyawan berkedudukan rendah, engkau bukan pengusaha kaya, dan engkau juga bukan orang yang miskin dan tidak punya uang. Ketika engkau datang ke rumah Tuhan, engkau hanya memiliki satu identitas, yaitu identitas yang telah Tuhan berikan kepadamu—identitas sebagai makhluk ciptaan. Apa yang harus makhluk ciptaan lakukan? Engkau tidak boleh memamerkan sejarah keluargamu, atau status sosial yang kauwarisi dari keluargamu, atau menggunakan status sosialmu yang kauanggap unggul itu untuk merajalela di rumah Tuhan dan berusaha memperoleh hak istimewa, dan engkau tentu saja tidak boleh menggunakan pengalaman yang kaukumpulkan di tengah masyarakat, dan perasaan unggul yang kauperoleh dari status sosialmu, untuk bertindak seperti penguasa yang berdaulat di rumah Tuhan dan menjadi penentu keputusan. Sebaliknya, di rumah Tuhan, engkau harus melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, berperilaku dengan benar, tidak menyebutkan latar belakang keluargamu, tidak merasa diri unggul, dan engkau juga tidak boleh merasa rendah diri; engkau tidak perlu merasa rendah diri, atau merasa dirimu unggul. Singkatnya, engkau harus melakukan dengan baik dan dengan taat apa yang seharusnya dilakukan makhluk ciptaan, dan melaksanakan dengan baik tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh makhluk ciptaan. Ada orang-orang yang berkata: "Jadi, apakah itu berarti bahwa aku harus mengekang diriku dan berusaha untuk tidak menarik perhatian?" Tidak, engkau tidak perlu mengekang dirimu atau berusaha untuk tidak menarik perhatian, engkau tidak perlu terlihat patuh, dan engkau juga tentu saja tidak perlu terlihat hebat dan perkasa. Engkau tidak perlu berusaha tampil menonjol, engkau tidak perlu berpura-pura, dan engkau tidak perlu selalu bersikap setuju hanya untuk menyenangkan semua orang. Tuhan memperlakukan manusia dengan adil, dan dengan cara yang adil, karena Tuhan adalah kebenaran. Tuhan telah mengucapkan banyak firman bagi manusia dan mengajukan banyak tuntutan, dan pada akhirnya tuntutan-Nya terhadapmu adalah agar engkau melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan dengan benar, dan melakukan segala sesuatu yang seharusnya makhluk ciptaan lakukan dengan benar. Mengenai masalah identitas yang orang warisi dari keluarga, engkau juga dituntut untuk memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarmu, dan bukannya memamerkan perasaan unggul yang keluargamu berikan kepadamu. Dan tentu saja, jika engkau berasal dari keluarga kurang mampu, engkau tidak perlu mengatakan dengan terbuka dan berterus terang kepada semua orang tentang betapa buruknya keluargamu. Ada orang-orang yang mungkin berkata: "Apakah rumah Tuhan menuntut kita agar 'Jangan bertanya kepada seorang pahlawan tentang asal usulnya'?" Apakah pepatah ini adalah kebenaran? (Bukan.) Pepatah ini bukan kebenaran, jadi engkau tidak perlu mengukur apa pun berdasarkan pepatah ini, atau menggunakannya sebagai standar untuk mematuhi tuntutan Tuhan terhadapmu. Mengenai identitas yang kauwarisi dari keluargamu, yang Tuhan tuntut darimu adalah bahwa engkau harus melaksanakan tugasmu. Di hadapan Tuhan, satu-satunya identitasmu adalah sebagai makhluk ciptaan, jadi engkau harus melepaskan hal-hal yang dapat memengaruhimu atau menghalangimu untuk menjadi makhluk ciptaan yang baik. Engkau tidak boleh menyediakan ruang untuk hal-hal ini di dalam hatimu, juga tidak boleh terlalu mementingkannya. Entah dalam hal penampilan ataupun sikapmu, engkau harus melepaskan identitas tertentu yang kauwarisi dari keluargamu. Bagaimana menurutmu? Apakah hal ini mampu kaulakukan? (Ya.) Mungkin engkau mewarisi identitas terhormat dari keluargamu, atau mungkin latar belakang keluargamu memberimu identitas yang rendah. Apa pun itu, Kuharap engkau keluar darinya, menganggap serius masalah ini, dan kemudian setelahnya, ketika engkau menghadapi situasi khusus tertentu, dan hal-hal ini memengaruhi pelaksanaan tugasmu, serta memengaruhi caramu dalam memperlakukan orang, dan memengaruhi prinsip-prinsipmu yang benar untuk menangani segala sesuatu serta prinsip-prinsipmu dalam bergaul dengan orang lain, Kuharap engkau mampu untuk tidak lagi dipengaruhi oleh identitas yang kauwarisi dari keluargamu, dan memperlakukan semua orang serta menangani segala sesuatunya dengan cara yang benar. Sebagai contoh, katakanlah ada seseorang di gereja yang selalu bersikap asal-asalan dalam tugasnya dan terus-menerus mengacau. Bagaimana engkau harus menghadapi orang itu? Setelah banyak mempertimbangkannya, engkau berpikir, "Aku harus memangkas orang ini, karena jika tidak, itu akan memengaruhi pekerjaan gereja." Jadi, engkau mulai memangkas orang itu. Namun, dia tidak mau menerimanya, dan malah banyak berdalih kepadamu. Engkau tidak takut kepadanya, jadi engkau terus bersekutu dan memangkasnya. Dia berkata, "Kau tahu siapa aku?" dan engkau menjawab, "Apa pentingnya bagiku mengetahui siapa dirimu?" Dia berkata, "Suamiku adalah atasan suamimu. Jika hari ini kau mempersulit diriku, suamimu akan mendapat masalah." Engkau menjawab, "Ini adalah pekerjaan rumah Tuhan. Jika engkau tidak melaksanakannya dengan baik dan terus mengacau, aku akan memberhentikanmu dari tugasmu." Lalu dia berkata, "Bagaimanapun juga, aku sudah memberi tahumu apa akibatnya. Putuskan saja sendiri apa yang harus kaulakukan!" Apa maksudnya berkata "putuskan saja sendiri"? Dia bermaksud memberitahumu jika engkau berani memberhentikannya, dia akan membuat suamimu dipecat. Pada saat ini, engkau berpikir, "Wanita ini memiliki dukungan yang kuat, tidak heran jika dia selalu berbicara dengan begitu congkaknya," sehingga engkau kemudian mengubah nada bicaramu dan berkata: "Baiklah, aku akan membiarkanmu kali ini, tetapi lain kali, tidak akan kubiarkan! Aku mengatakan ini tanpa maksud apa pun, semuanya hanya demi pekerjaan gereja. Kita semua adalah saudara-saudari yang percaya kepada Tuhan, kita semua adalah satu keluarga. Coba pikirkan, aku ini pemimpin gereja, bagaimana mungkin aku tidak bertanggung jawab akan hal ini? Jika aku tidak bertanggung jawab, kalian tidak akan memilihku, bukan?" Engkau mulai berusaha memperhalus perkataanmu. Adakah prinsip di balik tindakanmu ini? Tembok pertahanan di lubuk hatimu telah runtuh, engkau tidak berani berpaut pada prinsip, dan engkau telah menyerah. Bukankah demikian? (Ya.) Jadi, engkau akhirnya membiarkan orang itu. Engkau malu karena identitasmu tidak seluhur identitasnya, dan status sosialmu tidak setinggi status sosialnya, sehingga engkau merasa berkewajiban untuk membiarkan dirimu dikendalikan olehnya, dan menaatinya. Meskipun engkau dan dia sama-sama percaya kepada Tuhan, engkau tetap membiarkan dirimu diperas olehnya. Jika engkau tidak mampu melepaskan pengaruh status sosial terhadapmu, engkau tidak akan mampu menaati prinsip, engkau tidak akan mampu menerapkan kebenaran, dan engkau tidak akan setia di hadapan Tuhan. Jika engkau tidak setia kepada Tuhan, akankah Tuhan menerimamu? Akankah Tuhan memercayaimu? Akankah Dia memercayakan pekerjaan penting kepadamu? Bagi Dia, engkau akan menjadi seseorang yang tidak dapat dipercaya, karena pada saat kritis, engkau mengkhianati kepentingan rumah Tuhan untuk melindungi kepentinganmu sendiri. Pada saat kritis, engkau takut akan kekuatan jahat yang berasal dari masyarakat dan dari Iblis, yang menyebabkanmu mengkhianati kepentingan rumah Tuhan dan tak mampu tetap teguh dalam kesaksianmu. Ini adalah pelanggaran serius dan menandakan bahwa engkau telah mempermalukan Tuhan. Mengapa demikian? Karena ketika engkau melakukan hal ini, engkau mengkhianati identitasmu sebagai makhluk ciptaan, dan engkau melanggar prinsip bahwa orang haruslah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh makhluk ciptaan. Dalam menangani masalah ini, engkau membiarkan dirimu dipengaruhi oleh status sosialmu dan identitasmu di tengah masyarakat. Dalam menghadapi masalah apa pun, jika engkau tidak mampu melepaskan pengaruh negatif yang diciptakan oleh identitas yang kauwarisi dari keluargamu, engkau mungkin akan bereaksi terhadap masalah seperti ini dengan melakukan hal-hal tak terduga. Di satu sisi, hal-hal ini akan membuatmu melanggar kebenaran, dan di sisi lain, hal-hal ini akan membuatmu sangat bingung, tidak tahu pilihan apa yang harus kauambil. Hal ini akan mudah membuatmu melanggar dan melakukan hal-hal yang kausesali, sehingga di hadapan Tuhan, engkau akan ternoda dan dianggap sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, yang telah melanggar prinsip yang telah Tuhan tetapkan bagi manusia, yaitu bahwa orang haruslah melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan, serta melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh makhluk ciptaan. Coba renungkan, masalah ini dapat dikatakan sebagai masalah kecil, tetapi juga sangat besar dalam tingkat keparahannya, bukan? (Ya.)
Aku baru saja bersekutu tentang melepaskan identitas yang kauwarisi dari keluargamu. Apakah ini mudah untuk dilakukan? (Ya.) Mudahkah melakukannya? Dalam keadaan apa masalah ini akan memengaruhi dan mengganggumu? Jika engkau tidak memiliki pemahaman yang benar dan murni tentang masalah ini, di jenis lingkungan tertentu, engkau akan dipengaruhi olehnya, dan hal ini akan memengaruhi kemampuanmu untuk melaksanakan tugasmu dengan baik, serta memengaruhi cara-caramu dalam menangani segala sesuatu dan memengaruhi hasil yang kauperoleh. Oleh karena itu, dalam hal identitas yang kauwarisi dari keluargamu, engkau harus memperlakukan hal ini dengan benar, dan tidak dipengaruhi atau dikendalikan olehnya, tetapi engkau harus memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak dengan normal berdasarkan cara-cara yang Tuhan berikan kepada manusia. Dengan cara demikian, engkau akan memiliki sikap dan prinsip yang seharusnya dimiliki oleh makhluk ciptaan yang layak dalam hal ini. Selanjutnya, kita akan bersekutu tentang melepaskan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu. Di tengah masyarakat ini, prinsip orang dalam menghadapi dunia, cara mereka mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup mereka, dan bahkan sikap serta gagasan mereka terhadap agama dan kepercayaan, serta berbagai gagasan dan pandangan mereka terhadap orang dan hal-hal, semua ini pasti dipengaruhi oleh pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga. Sebelum orang memahami kebenaran—berapa pun usia mereka, apa pun jenis kelamin mereka, atau apa pun pekerjaan mereka, atau seperti apa pun sikap mereka terhadap segala sesuatu, entah sikap yang ekstrem atau masuk akal—singkatnya, dalam segala hal, pemikiran dan pandangan orang serta sikap mereka terhadap segala sesuatu sangatlah dipengaruhi oleh keluarga. Artinya, berbagai pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam diri orang akan sangat menentukan sikap orang itu terhadap segala sesuatu dan caranya dalam menangani segala sesuatu, serta pandangannya terhadap kelangsungan hidup, dan bahkan memengaruhi iman mereka. Karena pembelajaran dan pembiasaan serta pengaruh keluarga terhadap orang sangatlah signifikan, keluarga dapat dipastikan menjadi sumber dari cara dan prinsip yang orang gunakan dalam menangani segala sesuatu, serta pandangan mereka tentang kelangsungan hidup, dan pandangan mereka tentang iman. Karena rumah keluarga itu sendiri bukanlah tempat munculnya kebenaran, juga bukan sumber kebenaran, maka praktis hanya ada satu dorongan atau tujuan yang memotivasi keluargamu ketika menanamkan dalam dirimu gagasan, sudut pandang, atau metode untuk mempertahankan kelangsungan hidupmu—yaitu bahwa engkau harus bertindak demi kepentingan terbaikmu. Hal-hal yang dimaksudkan untuk kepentingan terbaikmu ini, dari siapa pun itu berasal, baik dari orang tuamu, kakek nenekmu, atau dari nenek moyangmu—singkatnya, semua itu dimaksudkan untuk memampukanmu membela kepentinganmu sendiri di tengah masyarakat dan di antara orang-orang, untuk menghindarkan dirimu agar tidak ditindas, serta untuk memampukanmu hidup di antara orang-orang dengan cara yang lebih tidak terkekang dan diplomatis, serta dimaksudkan untuk melindungi kepentinganmu sendiri semaksimal mungkin. Pembelajaran dan pembiasaan yang kauterima dari keluargamu dimaksudkan untuk melindungimu, menghindarkan dirimu agar tidak ditindas atau mengalami penghinaan apa pun, dan untuk mengubahmu menjadi orang yang lebih unggul, sekalipun itu berarti menindas atau melukai orang lain, asalkan itu tidak merugikan dirimu sendiri. Ini adalah beberapa hal terpenting yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, dan ini juga merupakan esensi dan tujuan utama yang mendasari semua gagasan yang ditanamkan dalam dirimu. Bukankah benar demikian? (Ya.) Jika kaurenungkan tujuan dan esensi dari semua hal yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu, adakah di antaranya yang sesuai dengan kebenaran? Sekalipun hal-hal ini sesuai dengan etika atau hak dan kepentingan manusia yang sah, apakah semua itu ada kaitannya dengan kebenaran? Apakah semua itu kebenaran? (Bukan.) Dapat dikatakan dengan pasti bahwa semua itu sama sekali bukan kebenaran. Betapa pun positif dan masuk akalnya, betapa pun manusiawi dan etisnya, manusia memercayai hal-hal yang ditanamkan oleh keluargamu dalam dirimu, semua itu bukanlah kebenaran, juga tidak dapat merepresentasikan kebenaran, dan tentu saja, semua itu tidak dapat menggantikan kebenaran. Jadi, dalam pembahasan tentang keluarga, ini adalah aspek lain yang harus orang lepaskan. Apa aspek ini secara spesifik? Aspek ini adalah pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu. Ini adalah aspek kedua yang harus kaulepaskan dalam pembahasan tentang keluarga. Karena kita sedang membahas pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu, mari kita terlebih dahulu membahas apa sebenarnya pengaruh pembelajaran dan pembiasaan ini. Jika kita membedakannya menurut konsep manusia tentang yang benar dan yang salah, beberapa darinya relatif benar, positif, bagus, dan dapat dipertimbangkan, sementara beberapa di antaranya relatif egois, hina, keji, relatif negatif, dan tidak lebih dari itu. Namun bagaimanapun juga, pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu ini seperti lapisan pakaian pelindung yang secara keseluruhan melindungi kepentingan daging seseorang, menjaga martabatnya di antara orang-orang, dan menghindarkannya agar tidak ditindas orang lain. Bukankah demikian? (Ya.) Jadi, mari kita membahas pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu. Sebagai contoh, ketika orang-orang yang lebih tua di keluargamu sering berkata kepadamu, "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya", tujuan mereka adalah agar engkau mementingkan reputasi yang baik, menjalani kehidupan yang membanggakan, dan tidak melakukan hal-hal yang akan menjadi aib bagimu. Lalu, apakah pepatah ini membimbing orang dengan cara yang positif atau negatif? Dapatkah pepatah ini menuntunmu pada kebenaran? Dapatkah pepatah ini menuntunmu untuk memahami kebenaran? (Tidak.) Dapat dikatakan dengan pasti bahwa jawabannya adalah "Tidak!" Coba renungkan, Tuhan berfirman bahwa manusia itu harus berperilaku jujur. Setelah engkau melanggar, atau melakukan sesuatu yang salah, atau melakukan sesuatu yang memberontak terhadap Tuhan dan menentang kebenaran, engkau harus mengakui kesalahanmu, mengenal dirimu sendiri, dan terus menganalisis dirimu sendiri agar engkau mengalami pertobatan sejati, dan setelah itu, engkau harus bertindak berdasarkan firman Tuhan. Jadi, jika orang berperilaku jujur, apakah tindakan itu bertentangan dengan pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya"? (Ya.) Mengapa bertentangan? Karena pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya" dimaksudkan agar orang mementingkan sisi kehidupan mereka yang cerah dan berwarna serta melakukan lebih banyak hal yang akan membuat mereka terlihat baik—alih-alih melakukan hal-hal buruk dan tidak terhormat, atau memperlihatkan sisi buruk mereka—dan menghindarkan diri mereka agar tidak menjalani kehidupan yang tidak memiliki harga diri atau tidak bermartabat. Demi reputasi, demi harga diri dan kehormatannya, orang tidak boleh mengatakan apa pun yang buruk mengenai diri mereka sendiri, apalagi memberi tahu orang lain tentang sisi gelap dan aspek-aspek memalukan dalam dirinya, karena orang haruslah hidup dengan memiliki harga diri dan martabat. Agar memiliki martabat, orang harus memiliki reputasi yang baik, dan untuk memiliki reputasi yang baik, orang harus berpura-pura dan "mengemas" dirinya. Bukankah ini bertentangan dengan berperilaku jujur? (Ya.) Ketika engkau berperilaku jujur, yang kaulakukan itu sepenuhnya bertentangan dengan pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya". Jika engkau ingin berperilaku jujur, jangan menganggap penting harga dirimu; harga diri manusia sama sekali tidak berharga. Diperhadapkan dengan kebenaran, orang harus menyingkapkan dirinya, tidak berpura-pura atau menciptakan citra diri yang palsu. Orang harus mengungkapkan kepada Tuhan pemikirannya yang sebenarnya, kesalahan yang pernah dilakukannya, aspek-aspek dirinya yang melanggar prinsip-prinsip kebenaran, dan sebagainya, dan juga menceritakan yang sebenarnya tentang hal-hal ini kepada saudara-saudari. Orang tidak boleh hidup demi reputasinya, tetapi harus hidup demi dapat berperilaku jujur, hidup demi mengejar kebenaran, hidup demi menjadi makhluk ciptaan sejati, dan hidup demi memuaskan Tuhan dan diselamatkan. Namun, jika engkau tidak memahami kebenaran ini, dan tidak memahami maksud Tuhan, pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu akan cenderung mengendalikanmu. Jadi, ketika engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau menutupinya dan berpura-pura, berpikir, "Aku tidak boleh mengatakan apa pun tentang hal ini, dan aku juga tidak akan membiarkan siapa pun yang tahu tentang hal ini mengatakan apa pun. Jika ada di antaramu yang mengatakannya, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Reputasiku adalah yang utama. Hidup tidak ada gunanya jika bukan demi reputasi, karena reputasi lebih penting daripada apa pun. Jika orang kehilangan reputasinya, berarti dia telah kehilangan seluruh martabatnya. Jadi, kita tidak boleh mengatakan yang sebenarnya, kita harus berpura-pura, kita harus menutupi semuanya, karena jika tidak, kita akan kehilangan reputasi serta martabat kita, dan hidup kita akan menjadi tidak berharga. Jika tak seorang pun menghormati kita, berarti kita hanyalah orang yang tidak berharga, hanya sampah." Mungkinkah engkau berperilaku jujur jika engkau bertindak dengan cara seperti ini? Mungkinkah engkau mampu sepenuhnya terbuka dan menganalisis dirimu sendiri? (Tidak.) Jelaslah bahwa dengan melakukan hal ini, engkau sedang mematuhi pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya" yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu. Namun, jika engkau melepaskan pepatah ini demi mengejar serta menerapkan kebenaran, pepatah ini tidak akan lagi memengaruhimu, dan tidak akan lagi menjadi semboyanmu atau prinsipmu dalam melakukan segala sesuatu, dan sebaliknya, apa yang kaulakukan justru akan berkebalikan dengan pepatah "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya". Engkau tidak akan hidup demi reputasimu, atau demi martabatmu, sebaliknya, engkau akan hidup demi mengejar kebenaran, demi dapat berperilaku jujur, dan engkau akan berusaha memuaskan Tuhan serta hidup sebagai makhluk ciptaan yang sejati. Jika engkau mematuhi prinsip ini, engkau akan mampu melepaskan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam dirimu.
Keluarga menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dalam diri orang bukan hanya dengan menggunakan satu atau dua pepatah, melainkan dengan menggunakan sejumlah kutipan dan peribahasa terkenal. Sebagai contoh, apakah orang-orang yang lebih tua di keluargamu dan orang tuamu sering menyebutkan pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang"? (Ya.) Mereka bermaksud mengatakan kepadamu: "Orang harus hidup demi reputasi mereka. Orang tidak perlu mengusahakan hal lain dalam hidup mereka selain membangun reputasi yang baik di antara orang-orang dan menciptakan kesan yang baik. Di mana pun engkau berada, engkau harus bermurah hati dalam memberi salam, berbasa-basi, memberi pujian, dan lebih banyak mengucapkan perkataan yang baik. Jangan menyinggung perasaan orang, sebaliknya engkau harus lebih banyak berbuat baik atau melakukan tindakan yang baik." Pengaruh pembelajaran dan pembiasaan tertentu yang keluarga tanamkan ini memiliki dampak tertentu pada perilaku atau prinsip orang dalam berperilaku, dengan akibat yang tak terhindarkan, yaitu mereka akan sangat mementingkan ketenaran dan keuntungan. Artinya, mereka akan sangat mementingkan reputasi dan gengsi mereka sendiri, kesan yang mereka ciptakan di benak orang lain, dan penilaian orang terhadap semua yang mereka lakukan dan setiap pendapat yang mereka ungkapkan. Ketika engkau sangat mementingkan ketenaran dan keuntungan, tanpa kausadari, engkau tidak akan terlalu mementingkan apakah tugas yang kaulaksanakan sesuai dengan kebenaran dan prinsip atau tidak, apakah engkau sedang memuaskan Tuhan atau tidak, dan apakah engkau sedang melaksanakan tugasmu dengan baik atau tidak. Engkau akan menganggap hal-hal ini kurang penting dan lebih rendah prioritasnya, sedangkan pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang", yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu, menjadi sangat penting bagimu. Pepatah ini membuatmu sangat memperhatikan setiap detail tentang dirimu yang mungkin akan muncul di benak orang-orang. Terutama, ada orang-orang yang sangat memperhatikan apa yang sebenarnya orang pikirkan tentang diri mereka di belakang mereka, sampai-sampai mereka menguping dari balik dinding, mendengarkan dari pintu yang setengah terbuka, dan bahkan mencuri lihat apa yang orang lain tulis tentang mereka. Begitu seseorang menyebut nama mereka, mereka berpikir, "Aku harus segera mendengarkan apa yang mereka katakan tentangku, dan apakah mereka berpendapat baik tentangku atau tidak. Ya ampun, mereka berkata bahwa aku malas dan aku senang makan makanan enak. Kalau begitu, aku harus berubah, kelak aku tidak boleh malas, aku harus rajin." Setelah rajin selama beberapa waktu, mereka berpikir, "Aku sudah mendengarkan apakah ada orang yang menganggapku malas atau tidak, dan belakangan ini, tampaknya tak seorang pun mengatakan bahwa aku malas." Namun, mereka tetap gelisah, jadi mereka dengan santai mengungkit hal ini dalam percakapan dengan orang-orang di sekitar mereka, berkata: "Aku ini agak malas." Dan orang lain menjawab: "Kau tidak malas, sekarang kau jauh lebih rajin dibandingkan sebelumnya." Mendengar hal ini, mereka langsung merasa tenang, sangat gembira, dan terhibur. "Lihatlah, pendapat semua orang tentangku telah berubah. Tampaknya semua orang telah memperhatikan peningkatan dalam perilakuku." Segala sesuatu yang kaulakukan bukanlah demi menerapkan kebenaran, juga bukan demi memuaskan Tuhan, melainkan demi reputasimu sendiri. Dengan demikian, telah menjadi apakah semua hal yang kaulakukan? Semua yang kaulakukan telah menjadi tindakan keagamaan. Telah menjadi apakah dirimu pada dasarnya? Engkau telah menjadi tipe khas orang Farisi. Telah menjadi apakah jalan yang kautempuh? Jalanmu telah menjadi jalan antikristus. Seperti itulah cara Tuhan mendefinisikannya. Jadi, semua yang kaulakukan pada dasarnya telah menjadi ternoda, tidak lagi sama; engkau bukan sedang menerapkan kebenaran atau mengejarnya, melainkan sedang mengejar ketenaran dan keuntungan. Pada akhirnya, di mata Tuhan, pelaksanaan tugasmu dapat didefinisikan dengan dua kata, yaitu tidak memadai. Mengapa? Karena engkau mengabdikan dirimu hanya untuk reputasimu sendiri, bukan untuk apa yang telah Tuhan percayakan kepadamu, atau untuk tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Apa yang kaurasakan dalam hatimu ketika Tuhan memberimu definisi semacam ini? Apakah engkau merasa bahwa kepercayaanmu kepada Tuhan selama bertahun-tahun ini sia-sia? Jadi, apakah itu berarti bahwa engkau selama ini sama sekali tidak mengejar kebenaran? Engkau selama ini tidak mengejar kebenaran, tetapi engkau sangat memperhatikan reputasimu sendiri, dan sumber dari hal ini adalah pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang berasal dari keluargamu. Pepatah manakah yang paling tertanam kuat dalam dirimu? Pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang", telah berakar kuat dalam hatimu dan telah menjadi semboyanmu. Pepatah ini telah memengaruhimu dan tertanam dalam dirimu sejak engkau masih muda, dan bahkan setelah dewasa, engkau sering mengulang-ulang pepatah ini untuk memengaruhi generasi selanjutnya dari keluargamu dan orang-orang di sekitarmu. Tentu saja, yang lebih parah lagi, engkau telah menggunakan pepatah ini sebagai cara dan prinsipmu dalam berperilaku serta menangani segala sesuatu, dan bahkan sebagai tujuan serta arah yang kaukejar dalam hidupmu. Karena tujuan dan arahmu keliru, hasil akhirnya pasti akan negatif. Karena segala sesuatu yang kaulakukan pada dasarnya hanya demi reputasimu, dan hanya demi menerapkan pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang". Engkau tidak sedang mengejar kebenaran, tetapi engkau sendiri tidak mengetahuinya. Engkau mengira bahwa tidak ada yang salah dengan pepatah ini, karena bukankah orang sudah seharusnya hidup demi reputasi mereka? Seperti kata pepatah, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang." Pepatah ini terdengar sangat positif dan dapat dibenarkan, jadi engkau tanpa sadar menerima pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari pepatah ini dan menganggapnya sebagai hal yang positif. Setelah engkau menganggap pepatah ini sebagai hal yang positif, engkau tanpa sadar mengejarnya dan menerapkannya. Pada saat yang sama, engkau tanpa sadar dan dengan bingung salah menafsirkannya sebagai kebenaran dan sebagai standar kebenaran. Ketika engkau menganggapnya sebagai standar kebenaran, engkau tidak lagi mendengarkan apa yang Tuhan firmankan, engkau juga tidak memahaminya. Engkau dengan membabi buta menerapkan semboyan "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang", dan bertindak berdasarkannya, dan pada akhirnya yang kaudapatkan dari menerapkannya adalah reputasi yang baik. Engkau telah mendapatkan apa yang ingin kaudapatkan, tetapi dengan melakukannya, engkau telah melanggar serta mengabaikan kebenaran, dan engkau telah kehilangan kesempatan untuk diselamatkan. Mengingat bahwa inilah hasil akhirnya, engkau seharusnya melepaskan dan meninggalkan gagasan "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang", yang keluargamu tanamkan dalam dirimu. Ini bukanlah sesuatu yang harus kaupegang teguh, juga bukan pepatah atau gagasan yang mengharuskanmu mencurahkan upaya dan tenaga seumur hidup untuk menerapkannya. Gagasan dan pandangan yang telah ditanamkan dan diindoktrinasikan dalam dirimu ini keliru, jadi engkau harus melepaskannya. Alasan mengapa engkau harus melepaskannya bukan hanya karena pepatah ini bukanlah kebenaran, tetapi juga karena pepatah ini akan menyesatkanmu dan pada akhirnya akan menuntunmu menuju kehancuran, jadi akibatnya sangatlah serius. Bagimu, ini bukan sekadar pepatah sederhana, melainkan adalah kanker. Ini adalah cara dan metode yang merusak manusia. Karena di dalam firman Tuhan, di antara semua tuntutan-Nya terhadap manusia, Tuhan tidak pernah meminta orang untuk mengejar reputasi yang baik, atau mencari gengsi, atau membuat orang lain memiliki kesan yang baik tentang mereka, atau untuk mendapatkan penerimaan orang, atau membuat orang memberi mereka acungan jempol, dan Dia juga tidak pernah meminta orang untuk hidup demi ketenaran, atau untuk meninggalkan reputasi yang baik. Tuhan hanya ingin orang untuk melaksanakan tugas mereka dengan baik serta tunduk kepada-Nya dan kebenaran. Oleh karena itu, bagimu, pepatah ini merupakan sejenis pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu yang harus kaulepaskan.
Ada pengaruh pembelajaran dan pembiasaan lain yang keluargamu tanamkan dalam dirimu. Sebagai contoh, ketika orang tuamu atau orang-orang yang lebih tua menyemangatimu, mereka sering berkata, "Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain." Tujuan mereka mengatakan ini adalah mengajarimu untuk menanggung penderitaan, untuk rajin dan tekun, serta tidak takut menderita dalam apa pun yang kaulakukan, karena hanya mereka yang menanggung penderitaan, menahan kesukaran, bekerja keras, dan memiliki semangat juang, yang mampu menjadi unggul dari yang lain. Apa yang dimaksud dengan "unggul dari yang lain"? Itu berarti tidak ditindas, atau dipandang rendah, atau didiskriminasi. Itu berarti memiliki martabat dan status yang tinggi di antara orang-orang, memiliki otoritas untuk berbicara dan didengar, dan memiliki otoritas untuk mengambil keputusan. Itu berarti mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih berkualitas di antara orang-orang, dan membuat orang lain menghormatimu, mengagumimu, dan iri terhadapmu. Pada dasarnya, itu berarti bahwa derajatmu lebih tinggi di antara seluruh umat manusia. Apa yang dimaksud dengan "derajat yang lebih tinggi"? Itu berarti ada banyak orang yang derajatnya lebih rendah daripadamu dan engkau tidak perlu menerima perlakuan buruk dari mereka—inilah yang dimaksud dengan "unggul dari yang lain". Agar dapat menjadi unggul dari yang lain, engkau harus "menanggung penderitaan yang sangat besar", yang berarti bahwa engkau harus mampu menanggung penderitaan yang tidak sanggup ditanggung orang lain. Jadi, sebelum engkau dapat menjadi unggul dari yang lain, engkau harus mampu menahan tatapan menghina dari orang lain, cibiran, sindiran, fitnah, sikap mereka yang tidak pengertian, bahkan cemoohan mereka, dan sebagainya. Selain penderitaan fisik, engkau juga harus mampu menahan sindiran dan ejekan dari opini publik. Hanya dengan belajar menjadi orang semacam ini, barulah engkau dapat lebih menonjol di antara orang-orang, dan mendapat tempat di tengah masyarakat. Tujuan pepatah ini adalah membuat orang menjadi atasan dan bukan menjadi bawahan, karena menjadi bawahan itu sangat berat—engkau harus menerima perlakuan buruk, engkau merasa tidak berguna, serta engkau kehilangan reputasi dan martabat. Ini juga merupakan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, dengan tujuan agar engkau bertindak demi kepentingan terbaikmu. Keluargamu menanamkan hal ini agar engkau tidak perlu menerima perlakuan buruk dari orang lain, agar engkau memiliki ketenaran dan otoritas, bisa makan enak dan bersenang-senang, dan agar di mana pun engkau berada, tak seorang pun akan berani menindasmu, melainkan engkau dapat bertindak seperti seorang tiran dan menjadi penentu keputusan, dan semua orang akan memperlakukanmu dengan penuh hormat. Di satu sisi, ketika berupaya untuk menjadi yang terunggul, engkau melakukannya demi keuntunganmu sendiri, dan di sisi lain, engkau juga melakukannya untuk meningkatkan status sosial keluargamu dan membawa kehormatan bagi nenek moyangmu, sehingga orang tua dan anggota keluargamu juga mendapat manfaat dari hubungan mereka denganmu dan tidak menderita perlakuan yang buruk. Jika engkau telah menanggung penderitaan yang sangat besar dan menjadi unggul dari yang lain dengan menjadi pejabat tinggi yang memiliki mobil bagus, rumah mewah dan sekelompok orang yang sibuk di sekitarmu, keluargamu juga akan mendapat manfaat karena memiliki hubungan denganmu, dan anggota keluargamu juga akan mampu mengendarai mobil bagus, makan enak, dan menjalani kehidupan yang mewah. Engkau akan mampu menyantap hidangan yang termahal jika ingin, dan pergi ke mana pun kausuka, dan semua orang selalu siap melakukan apa pun yang kauminta, dan engkau dapat berbuat sekehendak hatimu, dan hidup dengan sikap seenaknya dan congkak tanpa perlu bersikap rendah hati atau hidup dengan penuh rasa malu, dan melakukan apa pun yang kauinginkan sekalipun itu melanggar hukum, serta hidup dengan berani dan semaumu—inilah tujuan keluargamu menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dengan cara seperti ini, agar engkau tidak diperlakukan dengan tidak adil, dan agar engkau menjadi unggul dari yang lain. Sederhananya, tujuan mereka adalah agar engkau menjadi seseorang yang memimpin orang lain, mengarahkan orang lain, memerintah orang lain, dan untuk mengubahmu menjadi orang yang hanya mampu menindas orang lain dan tidak pernah menjadi korban, dan membuatmu menjadi orang yang memimpin, bukan orang yang dipimpin. Bukankah benar demikian? (Ya.) Apakah pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu ini bermanfaat bagimu? (Tidak.) Mengapa menurutmu itu tidak bermanfaat bagimu? Jika setiap keluarga mendidik generasi berikutnya dengan cara seperti ini, akankah hal itu meningkatkan konflik sosial dan membuat masyarakat menjadi lebih kompetitif dan tidak adil? Semua orang selalu ingin menempati posisi teratas, tak seorang pun ingin menempati posisi terbawah, atau menjadi orang biasa—mereka semua selalu ingin menjadi orang yang mengatur dan menindas orang lain. Menurutmu, apakah masyarakat akan tetap dalam keadaan yang baik jika hal ini terjadi? Masyarakat jelas tidak akan menuju ke arah yang positif, dan ini hanya akan memperparah konflik sosial, meningkatkan persaingan di antara orang-orang, dan memperburuk perselisihan di antara orang-orang. Sebagai contoh, di sekolah, para siswa saling berusaha untuk menjadi yang terunggul dengan belajar sekeras mungkin ketika mereka sendirian, tetapi ketika mereka bertemu, mereka selalu berkata, "Oh, lagi-lagi aku tidak belajar akhir pekan lalu. Aku malah pergi ke tempat yang bagus dan bersenang-senang sepanjang hari. Engkau pergi ke mana?" Dan seseorang menimpali, "Aku tidur sepanjang akhir pekan dan aku juga tidak belajar." Sebenarnya keduanya tahu betul bahwa mereka menghabiskan sepanjang akhir pekan untuk belajar hingga kelelahan, tetapi tak seorang pun mengakui bahwa mereka sudah belajar atau mengerahkan banyak upaya ketika tak seorang pun melihat, karena semua orang ingin menjadi unggul dari yang lain dan tidak ingin yang lain mengungguli mereka. Mereka berkata bahwa mereka belum belajar, karena mereka tidak ingin teman mereka tahu bahwa mereka sebenarnya sudah belajar. Apa gunanya berbohong seperti itu? Engkau belajar demi kepentinganmu sendiri, bukan demi kepentingan orang lain. Jika engkau dapat berbohong di usia semuda itu, dapatkah engkau menempuh jalan yang benar setelah terjun ke tengah masyarakat? (Tidak.) Terjun ke tengah masyarakat melibatkan kepentingan pribadi, uang, dan status, sehingga persaingannya justru akan makin ketat. Orang-orang akan melakukan apa pun dan menggunakan segala cara yang mereka miliki demi mencapai tujuan mereka. Mereka akan bersedia dan mampu melakukan apa pun demi mencapai tujuan mereka, apa pun yang harus dikorbankan, sekalipun itu berarti mereka harus menanggung penghinaan untuk dapat mencapainya. Jika keadaannya terus seperti ini, bagaimana mungkin masyarakat menjadi lebih baik? Jika semua orang melakukan hal ini, bagaimana mungkin umat manusia berkembang dengan baik? (Tidak mungkin.) Sumber dari segala macam norma sosial yang tidak pantas dan tren yang jahat ini berasal dari pembelajaran dan pembiasaan yang ditanamkan dalam diri orang oleh keluarganya. Lalu, apa tuntutan Tuhan terkait hal ini? Apakah Tuhan menuntut manusia untuk menjadi unggul dari yang lain dan bukan menjadi orang menengah, rata-rata, biasa, atau biasa-biasa saja, melainkan menjadi orang yang hebat, terkenal, dan luhur? Inikah yang Tuhan tuntut dari manusia? (Tidak.) Sangat jelas bahwa pepatah yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu bahwa "Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain" tidak menuntunmu ke arah yang positif, dan tentu saja pepatah ini juga tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Tujuan keluargamu menganjurkanmu untuk menanggung penderitaan sangatlah keliru, dilandasi oleh kelicikan, sangat tercela dan curang. Tuhan membuat manusia menanggung penderitaan karena mereka memiliki watak yang rusak. Jika orang ingin disucikan dari watak rusak mereka, mereka harus mengalami penderitaan—inilah fakta objektifnya. Selain itu, Tuhan menuntut agar manusia menanggung penderitaan karena inilah yang harus dialami oleh makhluk ciptaan, dan ini juga yang harus ditanggung oleh manusia normal, dan inilah sikap yang harus dimiliki manusia normal. Namun, Tuhan tidak menuntutmu untuk menjadi unggul dari yang lain. Dia hanya menuntutmu untuk menjadi orang biasa, orang normal yang memahami kebenaran, mendengarkan firman-Nya, tunduk kepada-Nya, dan hanya itu. Tuhan tidak pernah menuntutmu untuk memberi-Nya kejutan, atau melakukan hal-hal yang menggemparkan, dan Dia juga tidak menginginkanmu menjadi selebritas atau orang hebat. Dia hanya mengharuskanmu untuk menjadi manusia sejati yang normal dan biasa, dan sebanyak apa pun penderitaan yang mampu kautanggung, atau apakah engkau dapat menanggung penderitaan sepenuhnya atau tidak, jika pada akhirnya engkau mampu takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, engkau sudah menjadi seseorang yang terbaik dari dirimu. Yang Tuhan inginkan bukanlah agar engkau menjadi unggul dari yang lain, melainkan agar engkau menjadi makhluk ciptaan sejati, menjadi orang yang mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Orang semacam ini bukan orang luar biasa dan hanya orang biasa, orang yang memiliki kemanusiaan, hati nurani dan nalar yang normal, bukan orang yang luhur atau hebat di mata orang tidak percaya atau manusia yang rusak. Kita telah banyak mempersekutukan aspek ini sebelumnya, jadi kita tidak akan membahasnya lebih lanjut saat ini. Pepatah "Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain" jelas-jelas merupakan sesuatu yang harus kaulepaskan. Apa tepatnya yang harus kaulepaskan? Kau harus melepaskan arah yang kaukejar yang sesuai dengan pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu. Artinya, engkau harus mengubah arah pengejaranmu. Jangan lakukan apa pun hanya agar engkau menjadi unggul dari yang lain, agar engkau menonjol, dan menjadi orang penting, atau agar engkau dikagumi oleh orang lain. Sebaliknya, engkau harus melepaskan niat, tujuan, dan motif ini, lalu melakukan segala sesuatunya dengan cara yang praktis dan realistis agar engkau dapat menjadi makhluk ciptaan sejati. Apa yang Kumaksud dari "cara yang praktis dan realistis"? Prinsip yang paling dasar adalah engkau harus melakukan segala sesuatu berdasarkan cara dan prinsip yang telah Tuhan ajarkan kepada manusia. Katakanlah apa yang kaulakukan tidak membuat orang terpesona atau terkesan, atau bahkan tidak dipuji atau dihargai oleh siapa pun. Namun, jika ini adalah sesuatu yang sudah seharusnya kaulakukan, engkau harus tetap teguh dan terus melakukannya, memperlakukannya sebagai tugas yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh makhluk ciptaan. Jika engkau melakukannya, engkau akan menjadi makhluk ciptaan yang dapat diterima di mata Tuhan—sesederhana itu. Yang perlu kauubah adalah pengejaranmu dalam hal caramu berperilaku dan cara pandangmu terhadap kehidupan.
Keluarga menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dalam dirimu dan memengaruhimu dengan cara-cara lainnya, misalnya dengan menggunakan pepatah "Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan". Anggota keluarga sering mengajarimu: "Bersikap baiklah dan jangan bertengkar dengan orang lain atau menciptakan musuh, karena jika kau memiliki terlalu banyak musuh, kau tidak akan mampu memiliki kedudukan yang kuat dan berpengaruh di tengah masyarakat, dan jika ada terlalu banyak orang yang membencimu dan ingin mencelakaimu, engkau tidak akan aman di tengah masyarakat. Engkau akan selalu terancam, dan kelangsungan hidup, status, keluarga, keselamatan pribadimu, dan bahkan prospek promosi dalam kariermu akan terancam dan dihalangi oleh orang-orang jahat. Jadi, kau harus belajar bahwa 'Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan'. Bersikap baiklah kepada semua orang, jangan merusak hubungan baik, jangan mengatakan apa pun yang tidak bisa kautarik kembali sesudahnya, hindari melukai harga diri orang, dan jangan singkapkan kekurangan mereka. Hindari atau berhentilah mengatakan hal-hal yang tidak ingin didengar orang. Berikan saja pujian, karena memuji seseorang itu tidak ada salahnya. Kau harus belajar menunjukkan kesabaran dan berkompromi baik dalam masalah besar maupun kecil, karena 'Kompromi akan membuat konflik jauh lebih mudah untuk diselesaikan'." Lihatlah bagaimana keluargamu menanamkan dalam dirimu dua gagasan dan pandangan sekaligus. Di satu sisi, mereka berkata bahwa engkau harus bersikap baik kepada orang lain; di sisi lain, mereka ingin engkau bersabar, tidak berbicara sembarangan, dan jika ada sesuatu yang perlu kaukatakan, engkau harus menutup mulutmu sampai tiba di rumah, dan setelah itu barulah engkau memberi tahu keluargamu. Atau yang lebih baik lagi, sama sekali tidak memberi tahu keluargamu, karena dinding pun bertelinga—jika rahasia ini sampai terbongkar, segala sesuatunya tidak akan berjalan baik bagimu. Agar memiliki kedudukan yang kuat dan berpengaruh dan bertahan hidup di tengah masyarakat, orang harus belajar satu hal, yaitu menjadi orang yang tidak berpihak pada siapa pun. Dalam bahasa sehari-hari, engkau harus licin dan licik. Engkau tidak boleh mengatakan apa yang ada dalam pikiranmu begitu saja, itu namanya bodoh, itu tidak dapat disebut cerdas. Ada seseorang yang berbicara blak-blakan, yang mengatakan apa pun yang dia inginkan. Bayangkan seseorang yang berbicara seperti itu akhirnya membuat atasannya tersinggung. Kemudian, atasan itu mempersulit hidupnya, membatalkan bonusnya, dan selalu mencari kesempatan untuk bertengkar dengannya. Pada akhirnya, dia tidak tahan lagi jika harus terus bekerja. Jika dia berhenti dari pekerjaannya, dia tidak tahu bagaimana dia harus mencari nafkah. Namun, jika tidak berhenti, yang bisa dilakukannya hanyalah bertahan melakukan pekerjaan yang sudah tak tertahankan tersebut. Disebut apa jika engkau mengalami dilema seperti ini? Engkau "terjebak". Lalu, keluarganya menegurnya dengan berkata, "Perlakuan buruk ini pantas kauterima, kau seharusnya ingat bahwa 'Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan'! Salah sendiri menjadi orang yang blak-blakan dan mengatakan apa yang kaupikirkan begitu saja! Kami sudah memberitahumu untuk bersikap bijaksana dan pikirkan dengan saksama sebelum mengatakan apa pun, tetapi kau tidak mau melakukannya, kau malah langsung mengatakannya. Apa kaukira atasanmu akan diam saja jika kau cari gara-gara terhadapnya? Apa kaukira akan semudah itu bertahan hidup di tengah masyarakat? Engkau selalu menganggap bahwa engkau hanya sedang berterus-terang. Kini kau harus menuai akibat yang menyakitkan ini. Biarlah ini menjadi pelajaran bagimu! Kelak sebaiknya kau mengingat pepatah 'Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan'!" Setelah diajarkan pelajaran ini, dia mengingatnya dengan berpikir, "Orang tuaku benar-benar tepat dalam mendidikku. Ini adalah sedikit pengalaman hidup yang sangat berwawasan, hikmat yang sangat berharga, aku tidak boleh terus mengabaikannya. Inilah akibatnya jika aku mengabaikan nasihat orang yang lebih tua, jadi kelak, aku akan mengingat pelajaran ini." Setelah dia percaya kepada Tuhan dan bergabung dengan rumah Tuhan, dia tetap mengingat pepatah "Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan", sehingga dia menyapa saudara-saudari setiap kali bertemu dengan mereka, dan berusaha sebaik mungkin untuk mengatakan hal-hal menyenangkan kepada mereka. Ketika pemimpin berkata: "Aku telah menjadi pemimpin selama beberapa waktu, tetapi aku tidak memiliki cukup pengalaman kerja." Dia menyela dengan memberi pujian: "Kau bekerja dengan baik. Jika kau tidak memimpin kami, kami merasa tak punya tempat untuk berpaling." Ketika seseorang berkata: "Aku telah mengenal diriku sendiri, dan kurasa aku adalah orang yang sangat licik." Dia menjawab, "Kau tidak licik, kau sangat jujur, akulah yang licik." Ketika seseorang melontarkan komentar buruk kepadanya, dia berpikir, "Tidak perlu takut akan komentar buruk seperti itu, aku mampu menerima yang jauh lebih buruk dari itu. Seburuk apa pun komentarmu, aku hanya akan berpura-pura tidak mendengarnya, dan aku akan terus memujimu, dan berusaha sebaik mungkin untuk menjilatmu, karena tidak ada salahnya memujimu." Setiap kali seseorang memintanya untuk menyampaikan pendapat atau membuka diri selama persekutuan, dia tidak berbicara terus terang, dan selalu terlihat bersikap riang gembira di depan semua orang. Ketika seseorang bertanya kepadanya: "Mengapa kau selalu begitu riang gembira? Apakah kau sebenarnya serigala berbulu domba?" Dan dia berpikir: "Aku sudah bertahun-tahun menjadi serigala berbulu domba, dan selama ini aku tidak pernah dimanfaatkan orang, jadi bersikap seperti ini telah menjadi prinsip utamaku dalam berinteraksi dengan siapa pun." Bukankah dia orang yang licin bagaikan belut? (Ya.) Ada orang-orang yang menjalani hidup di tengah masyarakat dengan cara seperti ini selama bertahun-tahun, dan terus melakukannya setelah mereka datang ke rumah Tuhan. Mereka tidak pernah mengatakan satu kata pun yang jujur, mereka tidak pernah berbicara dari hati mereka, dan mereka tidak membicarakan pengenalan mereka akan diri mereka sendiri. Sekalipun saudara atau saudari mengungkapkan isi hatinya kepada mereka, mereka tidak berbicara terus terang, dan tak seorang pun dapat mengetahui apa sebenarnya yang ada dalam pikiran mereka. Mereka tidak pernah mengungkapkan pikiran atau pandangan mereka, mereka menjaga hubungan yang sangat baik dengan semua orang, dan engkau tidak bisa mengetahui orang seperti apa atau tipe kepribadian seperti apa yang sebenarnya mereka sukai, atau apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang orang lain. Jika ada yang bertanya kepada mereka orang seperti apakah seseorang itu, mereka menjawab, "Dia adalah orang yang sudah percaya selama lebih dari sepuluh tahun, dan dia cukup baik." Tentang siapa pun yang kautanyakan kepada mereka, mereka akan menjawab bahwa orang itu cukup baik atau lumayan baik. Jika seseorang bertanya kepada mereka, "Pernahkah kautemukan kekurangan atau kelemahan pada dirinya?" Mereka akan menjawab, "Aku belum menemukannya sejauh ini, kelak aku akan lebih mengawasinya," tetapi di lubuk hatinya dia berpikir: "Kau sedang memintaku untuk menyinggung perasaan orang itu, yang pasti tidak akan kulakukan! Jika kuberitahukan kepadamu yang sebenarnya dan orang itu mengetahuinya, bukankah dia hanya akan menjadi musuhku? Keluargaku sudah sejak lama menyuruhku untuk tidak menciptakan musuh, aku belum melupakan perkataan mereka. Apa menurutmu aku bodoh? Apa menurutmu aku telah melupakan pembelajaran dan pembiasaan yang kuterima dari keluargaku hanya karena kau telah mempersekutukan dua kalimat kebenaran? Itu tidak akan terjadi! Pepatah 'Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan' dan 'Kompromi akan membuat konflik jauh lebih mudah untuk diselesaikan', tidak pernah mengecewakanku dan keduanya adalah jimatku. Aku tidak akan membicarakan kelemahan siapa pun, dan jika seseorang memicu kemarahanku, aku akan bersabar terhadapnya. Bukankah kau telah melihat huruf yang tercetak di dahiku? Itu adalah huruf kanji yang berarti 'kesabaran', yang terdiri dari bentuk pisau di atas bentuk hati. Siapa pun yang melontarkan komentar buruk, aku akan bersabar terhadapnya. Siapa pun yang memangkasku, aku akan bersabar terhadapnya. Tujuanku adalah menjaga hubungan baik dengan semua orang, menjaga agar hubungan selalu berada pada taraf ini. Jangan berpaut pada prinsip, jangan begitu bodohnya, jangan bersikap kaku, engkau harus belajar mengalah sesuai keadaan! Menurutmu mengapa kura-kura hidup begitu lama? Karena mereka bersembunyi di dalam tempurungnya setiap kali keadaan menjadi sulit, bukan? Dengan demikian, mereka dapat melindungi diri mereka sendiri dan hidup selama ribuan tahun. Begitulah caranya jika ingin berumur panjang, dan begitulah juga cara untuk berinteraksi dengan siapa pun." Engkau tidak mendengar orang-orang semacam itu mengatakan apa pun yang jujur dan tulus, dan sudut pandang mereka yang sebenarnya dan apa yang menjadi batas dari cara mereka berperilaku tidak pernah terungkap. Mereka hanya memikirkan hal-hal ini dan merenungkannya dalam hati mereka, tetapi tak seorang pun tahu tentang hal-hal ini. Di luarnya, orang-orang semacam ini bersikap baik kepada semua orang, terlihat baik hati, dan tidak menyakiti atau merugikan siapa pun. Padahal sebenarnya, mereka benar-benar adalah orang yang tidak berpihak pada siapa pun dan licin bagaikan belut. Orang semacam ini selalu disukai oleh orang-orang tertentu di gereja, karena mereka tidak pernah melakukan kesalahan besar, mereka tidak pernah memberitahukan tentang diri mereka yang sebenarnya, dan penilaian dari para pemimpin gereja dan saudara-saudari adalah bahwa mereka cukup baik kepada semua orang. Mereka suam-suam kuku dalam tugas mereka, mereka hanya melakukan apa yang diminta untuk mereka lakukan. Mereka sangat patuh dan berperilaku baik, mereka tidak pernah melukai orang lain dalam percakapan atau ketika menangani masalah, dan mereka tidak pernah mengambil keuntungan dari siapa pun secara tidak adil. Mereka tidak pernah menjelek-jelekkan orang lain, dan tidak pernah mengkritik orang di belakang mereka. Namun, tak seorang pun tahu apakah mereka tulus dalam pelaksanaan tugas mereka, dan tak seorang pun tahu apa yang mereka pikirkan tentang orang lain atau apa pendapat mereka tentang orang lain. Setelah memikirkannya dengan saksama, engkau bahkan merasa bahwa orang semacam ini memang sedikit aneh dan sulit dipahami, dan mempertahankan mereka akan menimbulkan masalah. Apa yang harus kaulakukan? Keputusan yang sulit, bukan? Saat mereka melaksanakan tugas, engkau bisa melihat bahwa mereka melakukan urusan mereka, tetapi mereka tidak pernah memedulikan prinsip-prinsip yang telah disampaikan oleh rumah Tuhan kepada mereka. Mereka melakukan apa pun sekehendak hati mereka, bersikap asal-asalan, dan hanya itu, mereka hanya berusaha untuk tidak melakukan kesalahan besar. Akibatnya, engkau tidak bisa menemukan kesalahan apa pun pada diri mereka, atau tidak bisa menemukan cacat apa pun. Sekalipun mereka melakukan segala sesuatu dengan sempurna, apa yang sebenarnya mereka pikirkan? Apakah mereka ingin melaksanakan tugas mereka? Jika tidak ada ketetapan administratif gereja, atau pengawasan dari pemimpin gereja atau saudara-saudari mereka, mungkinkah mereka akan bergaul dengan orang jahat? Mungkinkah mereka akan melakukan hal-hal buruk dan melakukan kejahatan bersama dengan orang jahat? Hal seperti ini sangat mungkin terjadi, dan mereka mampu melakukannya, hanya saja mereka belum melakukannya. Orang-orang semacam ini adalah jenis orang yang paling menyusahkan, dan mereka adalah ciri khas orang yang licin bagai belut atau serigala tua yang licik. Mereka tidak mendendam terhadap siapa pun. Jika seseorang mengatakan sesuatu yang menyakiti hati mereka, atau menyingkapkan watak rusak mereka yang merendahkan martabat mereka, apa yang mereka pikirkan? "Aku akan memperlihatkan kesabaranku, aku tidak akan membalasmu, tetapi harinya akan tiba ketika kau akan mempermalukan dirimu sendiri!" Ketika orang itu benar-benar mengalami dirinya ditangani atau mempermalukan dirinya sendiri, mereka diam-diam menertawakan orang itu. Mereka siap mengolok-olok orang lain, para pemimpin, dan rumah Tuhan, tetapi mereka tidak mengolok-olok diri mereka sendiri. Mereka benar-benar tidak menyadari masalah atau kelemahan yang mereka sendiri miliki. Orang-orang semacam ini berhati-hati untuk tidak mengungkapkan apa pun yang dapat menyakiti orang lain, atau apa pun yang akan memungkinkan orang lain untuk mengetahui yang sebenarnya tentang diri mereka, meskipun mereka memikirkan hal-hal tersebut dalam hati mereka. Sedangkan mengenai hal-hal yang dapat melumpuhkan atau menyesatkan orang lain, mereka bebas mengungkapkannya dan membiarkan orang lain mengetahuinya. Orang-orang seperti ini adalah yang paling berbahaya dan paling sulit untuk ditangani. Jadi, bagaimana sikap rumah Tuhan terhadap orang-orang seperti ini? Pakai mereka jika mereka dapat dipakai, dan usir mereka jika mereka tidak dapat dipakai—inilah prinsipnya. Mengapa? Alasannya adalah karena orang seperti ini pasti tidak mengejar kebenaran. Mereka adalah pengikut yang bukan orang percaya yang mengolok-olok rumah Tuhan, saudara-saudari, dan para pemimpin ketika muncul masalah. Peran apa mereka mainkan? Apakah peran Iblis dan setan? (Ya.) Ketika mereka bersabar terhadap saudara-saudari mereka, itu bukanlah kesabaran sejati, juga bukan kasih sejati. Mereka melakukannya untuk melindungi diri mereka sendiri dan mencegah munculnya musuh atau hal-hal yang membahayakan diri mereka. Mereka tidak bersabar kepada saudara-saudari untuk melindungi saudara-saudari, mereka tidak melakukannya karena kasih, apalagi melakukannya karena mereka mengejar kebenaran dan karena mereka menerapkan prinsip-prinsip kebenaran. Sikap mereka sepenuhnya berpusat mengikuti arus dan menyesatkan orang lain. Orang-orang seperti itu tidak berpihak pada siapa pun dan licin bagaikan belut. Mereka tidak menyukai kebenaran dan mereka tidak mengejarnya, sebaliknya mereka hanya mengikuti arus. Jelaslah bahwa pembelajaran dan pembiasaan yang diterima orang-orang semacam ini dari keluarga mereka sangat memengaruhi cara-cara mereka dalam berperilaku dan menangani segala sesuatu. Tentu saja, dapat dikatakan bahwa cara-cara dan prinsip yang mereka gunakan dalam berinteraksi dengan siapa pun tidak dapat dipisahkan dari esensi kemanusiaan mereka. Selain itu, pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga mereka hanya berfungsi untuk menjadikan tindakan mereka menjadi lebih nyata dan konkret, dan memperlihatkan esensi natur mereka secara lebih sepenuhnya. Oleh karena itu, ketika dihadapkan dengan masalah terpenting tentang hal benar dan salah, dan masalah yang memengaruhi kepentingan rumah Tuhan, jika orang-orang semacam itu mampu mengambil pilihan yang benar dan melepaskan falsafah yang mendasari cara mereka berinteraksi yang tertanam dalam hati mereka, seperti "Keharmonisan adalah harta karun; kesabaran adalah kecerdikan", agar dapat menjunjung tinggi kepentingan rumah Tuhan, mengurangi pelanggaran mereka, dan mengurangi perbuatan jahat mereka di hadapan Tuhan—bagaimana hal ini akan bermanfaat bagi mereka? Setidaknya, ketika di masa depan Tuhan menentukan kesudahan setiap orang, tindakan mereka ini akan meringankan hukuman mereka dan mengurangi hajaran Tuhan terhadap mereka. Dengan menerapkan seperti ini, orang-orang semacam itu tidak akan rugi apa pun, malah akan memperoleh segalanya, bukan? Jika mereka diminta untuk melepaskan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain secara sepenuhnya, itu tidak akan mudah bagi mereka, karena hal ini berkaitan dengan esensi kemanusiaan mereka, dan orang-orang yang licin bagaikan belut dan tidak berpihak pada siapa pun ini sama sekali tidak menerima kebenaran. Tidak sesederhana dan semudah itu bagi mereka untuk melepaskan falsafah Iblis yang telah keluarga mereka tanamkan dalam diri mereka—bahkan mengabaikan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga ini—sulit untuk mereka lakukan karena mereka sendiri adalah penganut obsesif dari falsafah Iblis, dan mereka menyukai cara berinteraksi dengan orang lain yang seperti ini, yang merupakan cara yang sangat individual dan subjektif. Padahal, jika orang-orang semacam itu cerdas—jika mereka melepaskan beberapa dari falsafah ini agar mampu membela kepentingan rumah Tuhan dengan benar, selama kepentingan mereka sendiri tidak terancam atau dirugikan—maka ini sebenarnya adalah hal yang baik bagi mereka, karena ini setidaknya akan meringankan kesalahan mereka, mengurangi hajaran Tuhan terhadap mereka, dan bahkan mereka akan mengalami keadaan yang sebaliknya, yaitu Tuhan bukannya menghajar mereka, melainkan akan memberkati dan mengingat mereka. Betapa luar biasanya jika itu terjadi! Bukankah ini akan menjadi hal yang baik? (Ya.) Persekutuan kita mengenai aspek ini berakhir di sini.
Dengan cara apa lagi keluargamu menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dalam dirimu? Sebagai contoh, orang tuamu sering memberitahumu: "Jika kau banyak bicara dan gegabah dalam berbicara, cepat atau lambat, kau akan mendapat masalah! Kau harus ingat bahwa 'Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan'! Apa artinya? Artinya, jika kau terlalu banyak bicara, pada akhirnya kau pasti akan mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya kaukatakan. Bagaimanapun keadaannya, jangan gegabah dalam berbicara. Dengarkan dahulu apa yang orang lain katakan sebelum kau mengatakan apa pun. Jika kau menyesuaikan diri dengan kebanyakan orang, kau akan baik-baik saja. Namun, jika kau selalu berusaha menonjol, dan selalu gegabah dalam berbicara serta mengungkapkan sudut pandangmu tanpa tahu apa yang dipikirkan oleh pemimpinmu, atasanmu, atau semua orang di sekitarmu, lalu ternyata pemimpin atau atasanmu tidak sependapat denganmu, mereka akan mempersulit dirimu. Apakah akibatnya akan baik bagimu? Anak bodoh, kelak kau harus berhati-hati. Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan. Ingatlah itu, dan jangan gegabah dalam berbicara! Mulut adalah untuk makan dan bernapas, berbicara manis kepada atasanmu, dan berusaha menyenangkan orang lain. Mulut bukanlah untuk mengatakan yang sebenarnya. Kau harus memilih kata-katamu dengan bijak, kau harus menggunakan trik serta cara tertentu, dan kau harus menggunakan otakmu. Tepat sebelum perkataan keluar dari mulutmu, telanlah perkataanmu itu dan pertimbangkan berulang kali di dalam benakmu, tunggu sampai tiba waktu yang tepat sebelum kau mengucapkannya. Apa yang sebenarnya kaukatakan juga harus tergantung pada situasinya. Jika kau mulai menyampaikan pendapatmu, tetapi kemudian kaulihat bahwa orang-orang tidak menyukainya, atau reaksi mereka tidak terlalu baik, langsung berhentilah dan pikirkan bagaimana mengatakannya dengan cara yang dapat membuat semua orang merasa senang sebelum kaulanjutkan. Itulah yang dilakukan anak yang cerdas. Jika kau melakukannya, kau akan terhindar dari masalah, dan semua orang akan menyukaimu. Dan jika semua orang menyukaimu, bukankah itu akan menguntungkanmu? Bukankah itu akan menciptakan lebih banyak peluang bagimu di masa depan?" Keluargamu menanamkan pembelajaran dan pembiasaan dalam dirimu bukan hanya dengan memberitahumu cara untuk memperoleh reputasi yang baik, cara untuk menjadi unggul dari yang lain, dan cara untuk memperoleh kedudukan yang stabil di antara orang-orang, tetapi juga cara untuk menipu orang lain dengan penampilan luarmu dan tidak mengatakan yang sebenarnya, apalagi mengungkapkan apa yang sebenarnya kaupikirkan. Ada orang-orang yang pernah mendapat masalah setelah mengatakan yang sebenarnya, lalu teringat bahwa keluarga mereka memberi tahu mereka pepatah "Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan", dan menarik pelajaran darinya. Setelah itu, mereka menjadi makin bersedia menerapkan pepatah ini dan menjadikannya semboyan mereka. Ada orang-orang yang belum pernah mendapat masalah tetapi sungguh-sungguh menerima pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga mereka dalam hal ini dan terus menerapkan pepatah ini dalam keadaan apa pun. Makin mereka menerapkannya, makin mereka merasa bahwa "Orang tua dan kakek nenekku sangat baik kepadaku. Mereka semua tulus kepadaku dan menginginkan yang terbaik untukku. Aku sangat beruntung mereka memberitahuku pepatah 'Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan' ini, jika tidak, aku pasti akan sering mendapat masalah karena mulut besarku, dan ada begitu banyak orang yang akan mempersulitku, atau memberiku pandangan menghina, atau mencemooh dan mengejekku. Pepatah ini sangat berguna dan bermanfaat!" Mereka memperoleh banyak manfaat nyata dengan menerapkan pepatah ini. Tentu saja, ketika mereka kemudian datang ke hadapan Tuhan, mereka tetap menganggap pepatah ini sebagai hal yang paling berguna dan bermanfaat. Setiap kali seorang saudara atau saudari secara terbuka bersekutu tentang keadaan pribadinya, kerusakannya, atau pengalaman dan pengetahuannya, mereka juga ingin bersekutu dan menjadi orang yang berterus terang dan terbuka, dan mereka juga ingin dengan jujur mengatakan apa yang mereka pikirkan atau ketahui di dalam hati mereka, agar untuk sesaat melegakan keadaan pikiran mereka, yang telah tertahan selama bertahun-tahun, atau agar mendapatkan kebebasan dan kelepasan hingga taraf tertentu. Namun, begitu mereka teringat akan apa yang selalu orang tua mereka ajarkan pada mereka, yaitu, "'Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan'. Jangan gegabah dalam berbicara, jadilah orang yang mendengarkan, bukan yang berbicara, dan belajarlah untuk mendengarkan orang lain," mereka menelan apa pun yang ingin mereka katakan. Setelah semua orang selesai berbicara, mereka tidak mengatakan apa pun, dan justru berpikir: "Bagus sekali, untung saja aku tidak mengatakan apa pun kali ini, karena begitu aku mengatakan pendapatku, semua orang mungkin akan memiliki pendapat tentangku, dan aku mungkin akan mengalami kerugian. Tidak mengatakan apa pun sangatlah bagus. Mungkin dengan demikian, semua orang akan terus menganggapku orang yang jujur dan bukan orang yang sangat licik, melainkan hanya orang yang pendiam, sehingga aku bukan orang yang suka berencana licik, atau orang yang sangat rusak, dan terutama bukan orang yang memiliki gagasan tentang Tuhan, melainkan orang yang apa adanya dan terbuka. Bukan hal yang buruk jika orang-orang menganggapku seperti ini, jadi mengapa aku harus mengatakan sesuatu? Aku benar-benar melihat hasilnya dengan mematuhi pepatah 'Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan' ini, jadi aku akan terus bertindak seperti ini." Mematuhi pepatah ini memberi mereka perasaan yang puas dan menyenangkan, sehingga mereka tetap diam satu kali, dua kali, dan seterusnya sampai suatu hari, ketika mereka memiliki begitu banyak perkataan yang terpendam di dalam diri mereka dan ingin membuka diri kepada saudara-saudari mereka, tetapi mulut mereka terasa seperti tertutup rapat dan terkunci, dan mereka tak mampu mengatakan satu kalimat pun. Karena tak mampu mengatakan apa pun kepada saudara-saudari, mereka memutuskan untuk mencoba berbicara kepada Tuhan, jadi mereka berlutut di hadapan-Nya dan berkata, "Tuhan, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepada-Mu. Aku ...." Namun, meskipun mereka telah memikirkannya masak-masak di dalam hati mereka, mereka tidak tahu bagaimana mengatakannya, mereka tak mampu mengungkapkannya, seolah-olah mereka benar-benar sudah menjadi bisu. Mereka tidak tahu bagaimana memilih kata-kata yang tepat atau bahkan bagaimana merangkai sebuah kalimat. Perasaan yang terpendam selama bertahun-tahun telah membuat mereka merasa benar-benar terkekang dan menjalani kehidupan yang gelap dan kotor, dan ketika mereka memutuskan untuk mengatakan kepada Tuhan apa yang ada di dalam hati mereka dan mengungkapkan perasaan mereka, mereka kehilangan kata-kata dan tidak tahu harus mulai dari mana, atau bagaimana mengatakannya. Bukankah mereka sangat malang? (Ya.) Lalu, mengapa mereka tidak memiliki apa pun untuk dikatakan kepada Tuhan? Mereka hanya memperkenalkan diri. Mereka ingin mengatakan apa yang ada di dalam hati mereka kepada Tuhan, tetapi mereka tak bisa berkata-kata, dan pada akhirnya mereka hanya berkata: "Tuhan, kumohon berilah aku kata-kata yang harus kukatakan!" Dan Tuhan menjawab: "Ada begitu banyak hal yang seharusnya kaukatakan, tetapi kau tak ingin mengatakannya, dan kau tak mengatakannya ketika kau diberi kesempatan, jadi Aku mengambil kembali semua yang telah Kuberikan kepadamu. Aku tak akan memberikannya kepadamu, kau tidak pantas menerimanya." Setelah itu, barulah mereka merasa bahwa mereka telah kehilangan sangat banyak selama beberapa tahun terakhir ini. Meskipun mereka merasa bahwa mereka telah menjalani kehidupan yang sangat bermartabat, dan menutup diri mereka rapat-rapat serta menyembunyikan diri mereka dengan sempurna, ketika mereka melihat saudara-saudari mereka telah memperoleh keuntungan selama ini, dan ketika mereka melihat saudara-saudari mereka membicarakan pengalaman mereka tanpa ragu dan membuka diri tentang kerusakan mereka, orang-orang ini akhirnya menyadari bahwa mereka sendiri tak mampu mengucapkan satu kalimat pun, dan tidak tahu bagaimana cara mengucapkannya. Mereka telah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, dan ingin membicarakan pengenalan mereka akan diri mereka sendiri, dan mendiskusikan pengalaman dan pengetahuan firman Tuhan yang mereka dapatkan, mendapatkan sedikit pencerahan dan terang dari Tuhan, dan memperoleh sesuatu. Namun sayangnya, karena mereka terlalu sering berpaut pada pendapat bahwa "Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan", dan sering kali diikat serta dikendalikan oleh gagasan ini, mereka telah hidup berdasarkan pepatah ini selama bertahun-tahun, mereka belum pernah menerima pencerahan atau penerangan apa pun dari Tuhan, dan mereka masih miskin, menyedihkan, dan bertangan kosong dalam hal jalan masuk kehidupan. Mereka telah menerapkan pepatah dan gagasan ini dengan sempurna dan menaatinya dengan saksama, tetapi meskipun mereka telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, mereka belum memperoleh kebenaran apa pun, dan mereka tetap miskin dan buta. Tuhan memberi mereka mulut, tetapi mereka tak punya kemampuan sama sekali untuk mempersekutukan kebenaran, juga tak punya kemampuan untuk membicarakan perasaan dan pengetahuan mereka, apalagi memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan saudara-saudari mereka. Yang lebih menyedihkan, mereka bahkan tidak memiliki kemampuan untuk berbicara kepada Tuhan, dan telah kehilangan kemampuan tersebut. Bukankah mereka malang? (Ya.) Mereka malang dan disayangkan. Bukankah engkau tidak suka berbicara? Bukankah engkau selalu takut bahwa orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan? Maka sudah sepatutnya engkau tidak pernah mengatakan apa pun. Engkau menyembunyikan pemikiran terdalammu dan apa yang telah Tuhan berikan kepadamu, menekannya, menyegelnya dan mencegahnya untuk kauutarakan. Engkau selalu takut kehilangan muka, takut merasa terancam, takut orang lain akan mengetahui dirimu yang sebenarnya, dan selalu takut jika engkau tidak akan lagi menjadi orang yang sempurna, jujur, dan baik di mata orang lain, sehingga engkau menutup dirimu, dan tidak mengatakan apa pun tentang pemikiranmu yang sebenarnya. Dan apa yang akhirnya terjadi? Engkau menjadi orang yang benar-benar bisu. Siapa yang merugikanmu seperti itu? Pada dasarnya, pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamulah yang telah merugikanmu. Namun, dari sudut pandang pribadimu sendiri, itu juga karena engkau senang hidup berdasarkan falsafah Iblis, sehingga engkau memilih untuk percaya bahwa pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu itu benar, dan tidak percaya bahwa tuntutan Tuhan terhadapmu adalah hal yang positif. Engkau memilih untuk menganggap pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu sebagai hal yang positif, dan menganggap firman Tuhan, tuntutan-Nya, perbekalan, pertolongan, serta pengajaran-Nya sebagai hal-hal yang harus kauwaspadai, sebagai hal yang negatif. Oleh karena itu, sebanyak apa pun yang Tuhan anugerahkan kepadamu pada mulanya, karena sikap waspadamu dan penolakanmu selama bertahun-tahun ini, hasil akhirnya adalah Tuhan mengambil kembali semuanya dan tidak memberimu apa pun, karena engkau tidak layak menerimanya. Jadi, sebelum itu terjadi, engkau harus melepaskan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan pada dirimu dalam hal ini, dan jangan menerima gagasan yang keliru bahwa "Orang yang banyak bicara, banyak melakukan kesalahan". Pepatah ini membuatmu makin tertutup, makin berbahaya, dan makin munafik. Pepatah ini sepenuhnya bertolak belakang dan bertentangan dengan tuntutan Tuhan bahwa orang haruslah jujur, dan tuntutan-Nya bahwa orang haruslah berterus terang dan terbuka. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan dan sebagai pengikut Tuhan, engkau harus bertekad bulat untuk mengejar kebenaran. Dan ketika engkau bertekad bulat untuk mengejar kebenaran, engkau harus bertekad bulat untuk melepaskan apa yang kaubayangkan sebagai pengaruh yang baik dari pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu. Tidak boleh ada pilihan lain. Apa pun pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, sebaik atau sebermanfaat apa pun hal-hal itu bagimu, sebanyak apa pun hal-hal itu melindungimu, semua itu berasal dari manusia dan Iblis, dan engkau harus melepaskannya. Meskipun firman Tuhan dan tuntutan-Nya terhadap manusia mungkin bertentangan dengan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan, atau bahkan merugikan kepentinganmu serta merampas hak-hakmu, dan sekalipun engkau menganggap bahwa firman dan tuntutan-Nya tidak melindungimu dan justru bertujuan untuk menyingkapkanmu dan membuatmu terlihat seperti orang bodoh, engkau tetap harus menganggapnya sebagai hal yang positif karena semua itu berasal dari Tuhan, semua itu adalah kebenaran, dan engkau harus menerimanya. Jika pembelajaran dan pembiasaan yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu memengaruhi caramu berpikir dan berperilaku, cara pandangmu tentang keberadaan, dan jalan yang kautempuh, engkau harus melepaskannya dan tidak berpegang teguh pada hal-hal tersebut. Sebaliknya, engkau harus mengganti hal-hal itu dengan kebenaran yang sesuai dari Tuhan, dan dalam melakukannya, engkau juga harus terus memahami dan mengenali masalah yang melekat serta esensi dari pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, kemudian bertindak dan melakukan penerapan dengan mengikuti firman Tuhan dengan lebih tepat, lebih nyata dan lebih sungguh-sungguh. Menerima gagasan, pandangan terhadap orang dan hal-hal, serta prinsip-prinsip penerapan yang berasal dari Tuhan merupakan tanggung jawab yang wajib dilakukan oleh makhluk ciptaan, apa yang harus dilakukan makhluk ciptaan, dan ini juga merupakan gagasan dan pandangan yang harus dimiliki oleh makhluk ciptaan.
Selain menanamkan hal-hal yang orang anggap positif dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup, prospek dan masa depan mereka, orang tua di beberapa keluarga juga menanamkan beberapa gagasan dan pandangan yang relatif ekstrem dan menyimpang ke dalam diri anak-anak mereka. Sebagai contoh, orang tua seperti itu berkata: "Lebih baik menjadi orang yang benar-benar hina daripada menjadi orang yang pura-pura bermartabat". Ini adalah pepatah yang memberitahumu bagaimana cara berperilaku. Pepatah "Lebih baik menjadi orang yang benar-benar hina daripada menjadi orang yang pura-pura bermartabat", ini membuatmu memilih satu dari dua hal. Pepatah ini membuatmu memilih untuk menjadi orang yang benar-benar hina, yang berbuat jahat secara terang-terangan, daripada berbuat jahat di belakang orang lain. Dengan demikian, sekalipun orang menganggap bahwa hal-hal yang kaulakukan tidak begitu baik, mereka akan tetap mengagumimu dan menyetujuimu. Itu berarti bahwa apa pun hal buruk yang kaulakukan, engkau harus melakukannya di depan orang lain, secara terbuka dan terus terang. Ada keluarga-keluarga yang menanamkan pembelajaran, pembiasaan dan pendidikan ke dalam diri anak-anak mereka dengan cara seperti ini. Mereka bukan hanya tidak membenci orang-orang di tengah masyarakat yang memiliki gagasan dan perilaku yang hina dan keji, mereka bahkan mendidik anak-anak mereka dengan berkata: "Jangan meremehkan orang-orang ini. Sebenarnya, mereka belum tentu orang jahat—bahkan mungkin mereka lebih baik daripada orang yang pura-pura bermartabat." Di satu sisi, mereka memberitahumu untuk menjadi orang seperti apa, dan di sisi lain, mereka juga memberitahumu cara membedakan orang, orang seperti apa yang dianggap positif, dan orang seperti apa yang dianggap negatif, mengajarimu untuk membedakan hal positif dari hal negatif, dan juga mengajarimu cara berperilaku. Inilah jenis pendidikan serta pembelajaran dan pembiasaan yang mereka berikan kepadamu. Jadi, pengaruh seperti apa yang tanpa disadari ditimbulkan oleh pembelajaran dan pembiasaan seperti itu terhadap manusia? (Tidak membedakan antara yang baik dan yang jahat.) Benar, tidak membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Mari kita melihat terlebih dahulu bagaimana manusia memandang siapa yang disebut orang yang hina dan orang yang pura-pura bermartabat. Pertama-tama, manusia menganggap bahwa orang yang benar-benar hina bukanlah orang jahat, dan bahwa mereka yang pura-pura bermartabat adalah orang jahat. Jenis orang yang melakukan hal buruk di belakang orang lain sembari berpura-pura baik di luarnya disebut orang yang pura-pura bermartabat. Mereka berbicara panjang lebar tentang kebajikan, keadilan, dan moralitas di depan orang-orang, tetapi melakukan segala macam hal buruk di belakang mereka. Mereka melakukan segala macam hal buruk ini sembari pada saat yang sama mengatakan segala macam hal baik. Orang-orang seperti ini adalah objek cemoohan. Sedangkan orang yang benar-benar hina, baik di depan maupun di belakang orang, mereka sama jahatnya, tetapi mereka justru menjadi panutan yang harus diperjuangkan dan dipelajari, bukannya menjadi objek cemoohan orang. Pepatah dan pandangan semacam ini cenderung mengacaukan pemahaman orang tentang seperti apa tepatnya orang yang baik dan seperti apa tepatnya orang yang jahat. Dengan demikian, orang menjadi tidak yakin dan tidak tahu, dan pemahaman mereka menjadi sangat kabur. Ketika keluarga menanamkan pembelajaran dan pembiasaan kepada orang dengan cara seperti ini, ada orang-orang yang bahkan berpikir, "Dengan menjadi orang yang benar-benar hina, aku bersikap terhormat. Aku melakukan segala sesuatunya secara terbuka. Jika ada sesuatu yang ingin kukatakan, aku akan mengatakannya di depanmu. Jika aku menyakitimu, atau tidak menyukaimu, atau ingin mengambil keuntungan darimu, aku juga pasti akan melakukannya di depanmu dan memberitahumu tentang hal ini." Cara berpikir macam apa ini? Esensi natur macam apa ini? Ketika orang jahat melakukan hal-hal buruk dan melakukan perbuatan jahat, mereka perlu menemukan landasan teori untuk perbuatan tersebut, dan inilah cara berpikir yang mereka munculkan. Mereka berkata: "Hal yang kulakukan ini memang tidak terlalu baik, tetapi ini lebih baik daripada menjadi orang yang pura-pura bermartabat. Aku melakukannya di depan orang, dan semua orang mengetahuinya. Itu namanya bersikap terhormat!" Dengan demikian, orang yang hina mengeklaim diri mereka sebagai orang terhormat. Karena memiliki cara berpikir seperti ini di benak mereka, konsep mereka mengenai apa sebenarnya arti integritas dan apa sebenarnya arti kejahatan menjadi kabur tanpa mereka sadari. Mereka tidak tahu apa yang dimaksud dengan sikap terhormat, dan mereka berpikir, "Tidak masalah apakah yang kukatakan menyakiti orang lain atau tidak, atau apakah ini benar atau salah, masuk akal atau tidak, atau sesuai dengan prinsip dan kebenaran atau tidak. Asalkan aku berani berbicara, tidak memedulikan akibatnya, dan asalkan aku memiliki watak yang apa adanya, natur yang berterus terang, dan asalkan aku benar-benar jujur, dan asalkan aku tidak menyimpan tujuan yang berbahaya, maka itu tepat." Bukankah mereka memutarbalikkan yang benar dan yang salah? (Ya.) Dengan begini, hal negatif diputarbalikkan menjadi hal yang positif. Oleh karena itu, ada orang-orang yang menggunakan ini sebagai dasar dan berperilaku menurut pepatah ini, dan bahkan beranggapan bahwa keadilan berpihak pada mereka dengan berpikir, "Bagaimanapun juga, aku tidak mengambil keuntungan darimu, juga tidak melakukan tipu muslihat di belakangmu. Aku melakukan segala sesuatu dengan terus terang dan terbuka. Berpikirlah sesuka hatimu. Bagiku, ini adalah sikap yang terhormat! Seperti kata pepatah, 'Orang tidak perlu mengkhawatirkan gunjingan jika dirinya lurus hati', jadi berpikirlah sekehendak hatimu!" Bukankah ini cara berpikir Iblis? Bukankah ini cara berpikir perampok? (Ya.) Apakah dibenarkan bagimu untuk melakukan hal-hal buruk, menimbulkan masalah tanpa alasan, bertindak seperti tiran, dan melakukan kejahatan? Melakukan kejahatan tetaplah melakukan kejahatan. Jika esensi dari apa yang kaulakukan adalah melakukan kejahatan, maka itu tetaplah kejahatan. Dengan apa tindakanmu diukur? Tindakanmu tidak diukur berdasarkan apakah engkau memiliki motif atau tidak, apakah engkau melakukannya secara terbuka atau tidak, atau apakah engkau memiliki watak yang apa adanya atau tidak. Tindakanmu diukur berdasarkan kebenaran dan firman Tuhan. Kebenaran adalah standar untuk mengukur segala sesuatu, dan pernyataan ini sangat relevan dalam kasus ini. Berdasarkan ukuran kebenaran, jika sesuatu adalah jahat, itu tetaplah jahat; jika sesuatu adalah positif, itu tetaplah positif; jika sesuatu tidak positif, itu tetaplah tidak positif. Dan disebut apa jika orang-orang menganggap hal-hal ini sebagai sikap yang terhormat, memiliki watak yang apa adanya, dan natur yang suka berterus terang? Itu disebut memutarbalikkan kata dan memaksakan cara berpikir, membingungkan pemahaman orang, dan berbicara omong kosong. Itu disebut menyimpangkan orang. Jika engkau menyimpangkan orang, artinya engkau sedang melakukan kejahatan. Entah itu dilakukan di belakang orang atau di depan mereka, kejahatan tetaplah kejahatan. Kejahatan yang dilakukan di belakang orang lain adalah kejahatan, sedangkan kejahatan yang dilakukan di depan orang lain adalah hal yang sangat kejam dan keji, tetapi semua itu berkaitan dengan kejahatan. Jadi katakan kepada-Ku, bolehkah orang menerima pepatah "Lebih baik menjadi orang yang benar-benar hina daripada menjadi orang yang pura-pura bermartabat"? (Tidak.) Manakah yang positif, prinsip-prinsip cara berperilaku orang yang benar-benar hina ataukah prinsip-prinsip cara berperilaku orang yang pura-pura bermartabat? (Tidak keduanya.) Benar, keduanya negatif. Jadi, jangan menjadi orang yang benar-benar hina maupun orang yang pura-pura bermartabat, dan jangan dengarkan omong kosong orang tuamu. Mengapa orang tuamu selalu berbicara omong kosong? Karena memang seperti inilah orang tuamu berperilaku. Mereka selalu merasa bahwa "Aku memiliki watak yang apa adanya, aku orang yang tulus, aku berterus terang, aku jujur mengenai perasaanku, aku orang yang berjiwa ksatria, aku lurus hati dan tidak perlu mengkhawatirkan gunjingan, aku berperilaku baik dan menempuh jalan yang benar, apa yang perlu kutakutkan? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi aku tidak takut jika setan mengetuk pintu rumahku!" Setan tidak mengetuk pintu rumahmu saat ini, tetapi engkau telah melakukan begitu banyak perbuatan jahat, dan cepat atau lambat, engkau akan dihukum. Engkau orang yang lurus hati dan tidak takut akan gunjingan, tetapi merepresentasikan apa sikap lurus hati itu? Apakah itu adalah kebenaran? Apakah bersikap lurus hati berarti sesuai dengan kebenaran? Apakah engkau memahami kebenaran? Jangan berdalih atau membuat alasan untuk membenarkan perbuatan jahatmu sendiri, itu tidak ada gunanya! Selama sesuatu tidak sesuai dengan kebenaran, itu adalah jahat! Engkau bahkan merasa memiliki watak yang apa adanya. Hanya karena engkau memiliki watak yang apa adanya, apakah itu berarti bahwa engkau boleh memanfaatkan orang lain? Atau apakah itu berarti bahwa engkau boleh merugikan orang lain? Cara berpikir apa ini? (Cara berpikir Iblis.) Ini disebut cara berpikir perampok dan setan! Engkau melakukan kejahatan tetapi engkau mengeklaimnya sebagai sesuatu yang benar dan pantas, dan mencari alasan untuk itu dan berusaha untuk membenarkannya. Bukankah ini tidak tahu malu? (Ya.) Kuberitahukan kepadamu sekali lagi bahwa di dalam firman Tuhan, tidak pernah dikatakan bahwa orang boleh menjadi orang yang benar-benar hina atau orang yang pura-pura bermartabat, atau tidak pernah ada tuntutan untuk menjadi orang-orang seperti itu. Semua pepatah ini adalah perkataan yang terang-terangan dan jahat untuk menipu dan menyesatkan orang. Pepatah ini dapat menyesatkan orang-orang yang tidak memahami kebenaran, tetapi jika sekarang ini engkau memahami kebenaran, engkau tidak boleh lagi berpegang teguh pada pepatah semacam ini ataupun terpengaruh olehnya. Entah orang-orang pura-pura bermartabat atau benar-benar orang yang hina, mereka semua adalah setan, binatang buas, dan bajingan, mereka semua tidak baik, mereka semua jahat, dan mereka semua ada kaitannya dengan kejahatan. Mereka antara sangat jahat atau sangat kejam, dan satu-satunya perbedaan di antara orang yang pura-pura bermartabat dan orang yang benar-benar hina adalah cara mereka melakukannya: yang satu melakukannya di depan umum, dan yang lain melakukannya secara diam-diam. Selain itu, mereka juga memiliki cara berperilaku yang berbeda. Yang satu melakukan kejahatan secara terang-terangan, sedangkan yang lain melakukan tipu muslihat kotor di belakang orang; yang satu lebih berbahaya dan berkhianat, sementara yang lain lebih sombong, mendominasi dan menunjukkan taringnya; yang satu lebih kotor dan terselubung, sedangkan yang lain lebih hina dan congkak. Semua itu kebetulan merupakan dua cara Iblis dalam melakukan segala sesuatu, yang satu dengan cara terbuka dan yang lain dengan cara tersembunyi. Jika engkau bertindak secara terbuka, engkau adalah orang yang benar-benar hina, dan jika engkau bertindak secara tersembunyi, engkau adalah orang yang pura-pura bermartabat. Apa yang dapat kaubanggakan? Jika engkau menganggap pepatah ini sebagai semboyanmu, bukankah engkau bodoh? Jadi, jika engkau sudah sangat dirugikan oleh pembelajaran dan pembiasaan yang keluargamu tanamkan pada dirimu dalam hal ini, atau jika engkau berpegang teguh pada hal-hal seperti itu, Kuharap engkau mampu melepaskannya, mengenali dan mengetahui yang sebenarnya mengenai hal-hal ini sesegera mungkin. Jangan lagi berpaut pada pepatah ini, dan menganggap pepatah ini melindungimu, atau menjadikanmu orang yang jujur, atau orang yang memiliki karakter, kemanusiaan dan watak yang apa adanya. Pepatah ini bukanlah standar bagi cara orang berperilaku. Dari sudut pandang-Ku, Aku sangat mengutuk pepatah ini, yang bagi-Ku sangat memuakkan lebih dari apa pun. Aku muak bukan hanya terhadap orang yang pura-pura bermartabat, tetapi juga terhadap orang yang benar-benar hina. Kedua jenis orang itu adalah sasaran kemuakan bagi-Ku. Jadi, jika engkau adalah orang yang pura-pura bermartabat, maka dari sudut pandang-Ku, engkau adalah orang yang tidak baik, dan engkau sudah tidak dapat diperbaiki. Namun, jika engkau adalah orang yang benar-benar hina, engkau bahkan lebih buruk lagi. Engkau tahu betul jalan yang benar tetapi dengan sengaja berbuat dosa, engkau tahu betul kebenaran tetapi melanggarnya secara terang-terangan dan tidak menerapkannya, dan sebaliknya, engkau secara terbuka menentang kebenaran, sehingga engkau akan mati lebih cepat. Jangan mengira, "Aku memiliki sifat yang berterus terang, aku bukanlah orang yang pura-pura bermartabat. Walaupun aku adalah seorang yang hina, aku ini orang yang benar-benar hina." Bagaimana mungkin engkau benar? "benar" yang kaukatakan itu bukanlah kebenaran, juga bukan hal yang positif. "benar" yang kaukatakan itu adalah perwujudan dari esensi watak congkak dan kejammu. Engkau "benar" seperti dalam kata "benar-benar Iblis, benar-benar setan, dan benar-benar kejam", bukan "benar" seperti dalam "kebenaran" atau sesuatu yang sungguh-sungguh benar. Jadi, mengenai pepatah "Lebih baik menjadi orang yang benar-benar hina daripada menjadi orang yang pura-pura bermartabat" yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, engkau juga harus melepaskannya, karena pepatah itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan prinsip-prinsip cara berperilaku yang Tuhan ajarkan kepada manusia, bahkan mendekati pun tidak. Oleh karena itu, engkau harus melepaskannya sesegera mungkin, jangan terus berpaut padanya.
Keluarga menanamkan pengaruh pembelajaran dan pembiasaan jenis lainnya. Sebagai contoh, anggota keluargamu selalu memberitahumu: "Jangan menjadi orang yang terlalu menonjol dari orang banyak, engkau harus mengendalikan dirimu sendiri dan sedikit menahan diri dalam perkataan dan tindakanmu, serta dalam bakat pribadimu, kemampuanmu, IQ-mu, dan sebagainya. Jangan menjadi orang yang menonjol. Seperti kata pepatah, 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak' dan 'Kasau yang mencuat adalah yang pertama membusuk'. Jika engkau ingin melindungi dirimu sendiri, dan memiliki kedudukan yang stabil dan bertahan lama di kelompok tempatmu berada, jangan menjadi burung yang menjulurkan lehernya, engkau harus mengendalikan dirimu dan tidak berkeinginan untuk lebih menonjol daripada semua orang. Coba pikirkan penangkal petir, yang merupakan benda pertama yang tersambar petir saat badai, karena petir menyambar titik tertinggi; dan ketika angin bertiup kencang, pohon tertinggilah yang pertama terkena tiupannya dan terbawa angin; dan ketika cuaca dingin, gunung tertinggilah yang pertama membeku. Ini sama halnya dengan manusia. Jika engkau selalu menonjol di antara orang-orang dan menarik perhatian, lalu Partai memperhatikanmu, mereka akan benar-benar mempertimbangkan untuk menghukummu. Jangan menjadi burung yang menjulurkan lehernya, jangan terbang sendirian. Engkau harus tetap berada dalam kawanan. Jika tidak, jika terbentuk gerakan protes sosial di sekitarmu, engkau akan menjadi yang pertama dihukum, karena engkau adalah burung yang menjulurkan lehernya. Jangan menjadi pemimpin atau ketua kelompok di gereja. Jika tidak, jika terjadi kerugian atau masalah yang berkaitan dengan pekerjaan di rumah Tuhan, sebagai pemimpin atau pengawas, kau akan menjadi yang pertama dikritik. Jadi, jangan menjadi burung yang menjulurkan lehernya, karena burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak. Engkau harus belajar untuk menundukkan kepalamu dan meringkuk seperti kura-kura." Engkau mengingat perkataan orang tuamu ini, dan ketika tiba saatnya untuk memilih pemimpin, engkau tolak jabatan tersebut dengan berkata, "Oh, aku tidak bisa melakukannya! Aku punya keluarga dan anak-anak, aku sangat terikat dengan mereka. Aku tidak bisa menjadi pemimpin. Kalian saja yang melakukannya, jangan pilih aku." Sekalipun engkau tetap terpilih menjadi pemimpin, engkau tetap enggan melakukannya. "Kurasa aku harus mengundurkan diri," katamu. "Kalian saja yang menjadi pemimpin, kuberikan kesempatan ini kepada kalian semua. Silakan kalian ambil alih jabatanku, aku akan mundur." Engkau merenung di dalam hatimu, "Huh! Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak. Makin tinggi kau mendaki, makin keras kau akan jatuh, dan menjadi yang tertinggi terasa sepi. Akan kubiarkan kau menjadi pemimpin, dan setelah kau terpilih, akan tiba hari ketika kau akan mempermalukan dirimu sendiri. Aku tidak pernah mau menjadi pemimpin, aku tidak ingin menaiki tangga, yang artinya aku tidak akan jatuh dari ketinggian. Pikirkanlah, bukankah artinya orang itu diberhentikan sebagai pemimpin? Setelah diberhentikan, dia dikeluarkan. Dia bahkan tidak punya kesempatan untuk menjadi orang percaya biasa. Ini adalah contoh yang sempurna dari pepatah 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak' dan 'Kasau yang mencuat adalah yang pertama membusuk'. Bukankah aku benar? Bukankah orang itu telah dihukum? Orang harus belajar untuk melindungi dirinya sendiri, jika tidak, untuk apa orang punya otak? Jika engkau punya otak, engkau harus menggunakannya untuk melindungi dirimu sendiri. Ada orang-orang yang tidak mengerti masalah ini dengan jelas, tetapi seperti inilah yang terjadi di tengah masyarakat dan di kelompok masyarakat mana pun, yaitu 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak'. Kau akan sangat dihormati saat menjulurkan lehermu, sampai akhirnya kau tertembak. Lalu kau akan menyadari bahwa orang yang menempatkan diri di garis tembak, cepat atau lambat, akan menerima akibatnya." Ini adalah ajaran yang ditanamkan dengan sungguh-sungguh oleh orang tua serta keluargamu, dan juga pernyataan dari pengalaman mereka, inti dari hikmat yang mereka peroleh seumur hidup mereka, yang mereka bisikkan ke telingamu tanpa ragu. Apa yang Kumaksud dengan "bisikkan ke telingamu"? Maksud-Ku, suatu hari, ibumu berkata di telingamu. "Biar kuberitahukan kepadamu, jika ada satu hal yang telah kupelajari dalam hidup ini, hal itu adalah 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak', yang artinya jika orang terlalu menonjol atau terlalu menarik perhatian, kemungkinan besar mereka akan dihukum karenanya. Lihatlah betapa takluk dan polos ayahmu sekarang. Itu karena dia pernah dihukum dalam suatu kampanye penindasan. Ayahmu berbakat dalam kesusastraan, dia mampu menulis dan berpidato, dia terampil dalam kepemimpinan, tetapi dia itu terlalu menonjol di antara banyak orang, dan akhirnya dia dihukum dalam kampanye tersebut. Mengapa sejak saat itu ayahmu tidak pernah membahas tentang menjadi pejabat pemerintahan dan tokoh terkenal? Itu karena kejadian tersebut. Kukatakan ini kepadamu dari hatiku dan aku mengatakan yang sebenarnya. Kau harus mendengar perkataanku dan mengingatnya baik-baik. Jangan lupa, kau harus selalu mengingatnya di mana pun kau berada. Ini adalah hal terbaik yang dapat kuberikan kepadamu sebagai ibumu." Setelah itu, engkau ingat perkataannya, dan setiap kali engkau teringat akan pepatah "Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak", itu mengingatkanmu pada ayahmu, dan setiap kali engkau memikirkan ayahmu, engkau memikirkan pepatah ini. Ayahmu pernah menjadi burung yang menjulurkan lehernya dan tertembak, dan kini penampilannya yang muram dan tidak bersemangat telah meninggalkan kesan mendalam di benakmu. Jadi, setiap kali engkau ingin menjulurkan lehermu, setiap kali engkau ingin mengutarakan apa yang kaupikirkan, setiap kali engkau ingin melaksanakan tugasmu di rumah Tuhan dengan sungguh-sungguh, nasihat tulus ibumu yang kaudengar—"Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak"—terlintas kembali di benakmu. Jadi, sekali lagi engkau mundur dan berpikir, "Aku tidak boleh memperlihatkan bakat atau kemampuan istimewa apa pun. Aku harus menahan diri dan menyembunyikan semua itu. Dan mengenai nasihat Tuhan kepada manusia agar mereka melaksanakan tugas mereka dengan segenap hati, pikiran dan kekuatan mereka, aku harus menerapkan firman ini secukupnya saja, dan tidak menonjolkan diri dengan berusaha terlalu keras. Jika aku menonjolkan diri dengan berusaha terlalu keras, dan menjulurkan leherku dengan cara memimpin pekerjaan gereja, bagaimana jika ada yang tidak beres dengan pekerjaan rumah Tuhan dan aku dimintai pertanggungjawaban? Bagaimana aku harus memikul tanggung jawab ini? Akankah aku dikeluarkan? Akankah aku menjadi kambing hitam, menjadi burung yang menjulurkan lehernya? Di rumah Tuhan, sulit dikatakan apa akibatnya jika hal seperti ini terjadi. Jadi, apa pun yang kulakukan, aku benar-benar harus menyediakan jalan keluar bagi diriku sendiri, aku benar-benar harus belajar untuk melindungi diriku sendiri, dan memastikan bahwa aku siap menghadapi segala kemungkinan sebelum aku berbicara dan bertindak. Ini adalah tindakan yang paling bijaksana, karena sebagaimana yang ibuku katakan, 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak.'" Pepatah ini tertanam sedemikian dalam di hatimu dan juga sangat memengaruhi kehidupanmu sehari-hari. Tentu saja, yang lebih parah lagi, pepatah ini memengaruhi sikapmu terhadap pelaksanaan tugasmu. Bukankah ada masalah serius di sini? Oleh karena itu, setiap kali engkau melaksanakan tugasmu dan ingin mengorbankan dirimu dengan sungguh-sungguh, dan menggunakan seluruh kekuatanmu dengan segenap hati, pepatah ini—"Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak"—selalu menghentikanmu saat itu juga, dan pada akhirnya, engkau selalu memilih untuk memberi dirimu kelonggaran serta ruang untuk bermanuver, dan hanya melaksanakan tugasmu seadanya setelah memberikan jalan keluar bagi dirimu sendiri. Bukankah yang Kukatakan ini benar? Apakah pembelajaran dan pembiasaan keluargamu dalam hal ini sangat melindungimu agar engkau tidak disingkapkan dan ditangani? Bagimu, pepatah ini adalah semacam jimat, bukan? (Ya.)
Berdasarkan semua yang telah kita persekutukan sejauh ini, ada berapa jimat yang orang-orang miliki sebagai hasil pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga mereka? (Tujuh.) Dengan jimat sebanyak itu, benarkah tidak ada Iblis dan setan biasa yang berani mengganggumu? Semua jimat ini membuatmu merasa sangat aman, sangat terhibur, dan sangat senang hidup di dunia manusia ini. Sekaligus membuatmu merasakan betapa pentingnya keluarga bagimu, dan betapa tepat waktu serta pentingnya perlindungan dan jimat yang keluargamu berikan kepadamu. Setiap kali engkau memperoleh manfaat dan perlindungan nyata dari jimat-jimat ini, engkau makin merasa bahwa keluarga itu penting, dan bahwa engkau akan selalu bergantung pada keluargamu. Setiap kali engkau menghadapi kesulitan serta dilanda kebimbangan dan kebingungan, engkau menenangkan dirimu sejenak dan berpikir, "Apa yang telah dikatakan ayah dan ibuku kepadaku? Keterampilan apa yang telah diajarkan orang-orang tua di keluargaku kepadaku? Semboyan apa yang telah mereka sampaikan kepadaku?" Dengan cepat, secara naluriah, dan secara tidak sadar, engkau kembali teringat akan berbagai lingkungan dan gagasan yang keluargamu tanamkan dalam dirimu, mencari dan menuntut perlindungan dari hal-hal tersebut. Pada saat-saat seperti itu, keluarga menjadi tempat berlindung yang aman bagimu, menjadi jangkar, dukungan dan kekuatan pendorong yang selalu kuat, tak tergoyahkan, dan tidak berubah, menjadi penopang psikologis yang memampukanmu untuk terus hidup dan menghilangkan kebingungan serta kebimbangan yang kaurasakan. Pada saat-saat seperti ini, engkau dipenuhi perasaan mendalam: "Keluargaku sangat penting bagiku, keluargaku memberiku kekuatan mental yang luar biasa, dan menjadi sumber dukungan rohani." Engkau sering memuji dirimu sendiri dengan berpikir, "Betapa beruntungnya aku mendengarkan perkataan orang tuaku, jika tidak, aku akan berakhir dalam keadaan yang sangat memalukan saat ini, ditindas atau disakiti. Untungnya, aku memiliki kartu truf ini, aku memiliki jimat. Jadi, bahkan di rumah Tuhan dan di gereja, bahkan selama melaksanakan tugasku, aku tidak akan ditindas oleh siapa pun, dan aku tidak akan berisiko dikeluarkan atau ditangani oleh gereja. Hal-hal ini mungkin tidak pernah terjadi padaku berkat perlindungan dari pembelajaran dan pembiasaan yang keluargaku berikan kepadaku." Namun, engkau telah melupakan sesuatu. Selama ini, engkau hidup di lingkungan di mana kaupikir engkau dapat melindungi dirimu sendiri dan ada jimat-jimat di sana, tetapi engkau tidak tahu apakah engkau telah memenuhi amanat Tuhan atau belum. Engkau telah mengabaikan amanat Tuhan kepadamu dan mengabaikan identitasmu sebagai makhluk ciptaan serta tugas yang seharusnya kaulaksanakan sebagai makhluk ciptaan. Engkau juga telah mengabaikan sikap yang seharusnya kauadopsi dan semua yang seharusnya kaupersembahkan dalam pelaksanaan tugasmu, sementara cara pandang yang benar tentang kehidupan dan nilai-nilai yang seharusnya kauhargai telah digantikan dengan pandangan yang telah keluargamu tanamkan dalam dirimu, dan kesempatanmu untuk memperoleh keselamatan juga terdampak dan dipengaruhi oleh pembelajaran dan pembiasaan dari keluargamu. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi setiap orang untuk melepaskan berbagai pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga mereka. Ini adalah salah satu aspek kebenaran yang harus diterapkan, dan ini juga merupakan kenyataan yang harus segera dimasuki. Karena jika masyarakat memberitahumu sesuatu, kemungkinan besar engkau akan mengambil keputusan rasional atau keputusan bawah sadar untuk menolaknya; jika orang asing atau seseorang yang tidak memiliki hubungan denganmu memberitahumu sesuatu, engkau cenderung mengambil keputusan yang rasional atau penuh pertimbangan apakah engkau akan menerimanya atau tidak; tetapi jika keluargamu memberitahumu sesuatu, engkau cenderung menerima sepenuhnya tanpa ragu atau tanpa memahaminya, dan sebenarnya ini adalah hal yang berbahaya bagimu. Karena engkau menganggap bahwa keluarga tidak mungkin dapat menyakiti seseorang, dan semua yang keluargamu lakukan bagimu adalah untuk kebaikanmu sendiri, untuk melindungimu, dan demi dirimu sendiri. Berdasarkan asumsi prinsip ini, orang mudah terganggu dan terpengaruh oleh hal-hal yang berwujud dan tidak berwujud dari keluarga mereka. Hal-hal yang berwujud meliputi anggota keluarga dan semua urusan keluarga, sementara hal-hal yang tidak berwujud meliputi berbagai gagasan dan pendidikan yang berasal dari keluarga, serta pembelajaran dan pembiasaan yang berkaitan dengan caramu berperilaku dan melakukan urusanmu sendiri. Bukankah demikian? (Ya.)
Ada banyak hal yang dibahas tentang pengaruh pembelajaran dan pembiasaan dari keluarga. Setelah kita selesai mempersekutukan hal-hal ini pada hari ini, engkau semua harus merenungkan semuanya dan merangkumnya, memikirkan gagasan dan pandangan mana—selain yang telah Kusebutkan hari ini—yang berdampak buruk bagimu dalam kehidupanmu sehari-hari. Kebanyakan dari apa yang baru saja kita persekutukan berkaitan dengan prinsip dan cara orang berinteraksi dengan orang lain, dan ada beberapa topik yang berkaitan dengan cara orang memandang orang lain dan berbagai hal. Lingkup pengaruh pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam diri orang pada dasarnya mencakup hal-hal ini. Ada juga beberapa masalah yang tidak berkaitan dengan cara pandang orang tentang kehidupan atau cara berinteraksi dengan orang lain, jadi kita tidak akan membahas lagi hal-hal tersebut. Dengan demikian, persekutuan kita hari ini kita akhiri di sini. Sampai jumpa!
11 Februari 2023