Firman Tuhan Harian: Mengenal Tuhan | Kutipan 130

11 Juli 2020

Hidup yang Dihabiskan dengan Mencari Ketenaran dan Kekayaan akan Membuat Seseorang Tidak Berdaya di Hadapan Maut

Karena kedaulatan dan pentakdiran Sang Pencipta, jiwa kesepian yang awalnya tidak memiliki apa-apa tanpa nama, mendapatkan orang tua dan keluarga, mendapatkan kesempatan menjadi anggota dari umat manusia, kesempatan untuk mengalami hidup manusia dan melihat dunia; lalu, ia juga mendapatkan kesempatan untuk mengalami kedaulatan Sang Pencipta, untuk mengenal keagungan penciptaan Sang Pencipta, dan yang paling penting, mengenal dan menjadi tunduk pada otoritas Sang Pencipta. Tetapi kebanyakan orang tidak benar-benar mengambil kesempatan sekejap yang langka ini. Mereka menghabiskan energi seumur hidup bertarung melawan nasib, menghabiskan seluruh waktu bersusah payah memberi makan keluarga mereka dan mondar-mandir mengurus kekayaan dan status. Hal-hal yang dipandang bernilai oleh orang-orang adalah keluarga, uang, dan ketenaran; mereka memandang hal-hal ini yang paling bernilai dalam kehidupan. Semua orang mengeluh akan nasib mereka, tetapi mereka tetap mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang paling wajib untuk didalami dan dipahami: Mengapa manusia hidup? Bagaimana manusia semestinya hidup? Apa nilai dan arti dari kehidupan? Sepanjang hidup mereka, tidak peduli berapa tahun yang mereka habiskan, mereka hanya dipusingkan dengan ketenaran dan kekayaan, sampai akhirnya masa muda mereka cepat berlalu, sampai akhirnya mereka menjadi tua dan keriput; hingga mereka melihat bahwa ketenaran dan kekayaan tidak akan mencegah kepikunan mereka, bahwa uang tidak dapat mengisi kehampaan dalam hati; sampai mereka paham bahwa tidak seorang pun yang bebas dari hukum kelahiran, penuaan, kesakitan, dan kematian, bahwa tidak ada yang bisa melarikan diri dari apa yang telah digariskan oleh nasib. Hanya ketika mereka terpaksa menghadapi titik waktu terakhir kehidupan, mereka baru mengerti bahwa meskipun seseorang memiliki berjuta-juta harta kekayaan, bahkan meskipun ia berasal dari keluarga kaya dan terpandang, tak seorang pun yang bisa lari dari maut, setiap orang akan kembali pada kedudukannya semula: jiwa kesepian yang tidak punya apa-apa, tanpa nama. Ketika seseorang mempunyai orang tua, ia percaya bahwa orang tuanya adalah segalanya; ketika ia punya harta benda, ia berpikir bahwa uang adalah segalanya, bahwa itu merupakan aset dalam kehidupan; ketika seseorang mencapai suatu status, mereka memeluknya erat-erat dan akan mempertaruhkan nyawa mereka demi status itu. Hanya ketika mereka akan meninggalkan dunia, barulah mereka sadar bahwa hal-hal yang telah mereka kejar sepanjang hidup mereka adalah fana bak awan yang berlalu cepat, tidak ada yang bisa mereka genggam, tidak satu pun yang bisa mereka bawa, tidak ada yang dapat menghindarkan mereka dari kematian, tidak satu pun yang dapat memberikan mereka penyertaan dan ketenangan bagi jiwa kesepian mereka dalam perjalanan pulangnya; dan yang paling terakhir, tidak ada satu pun yang dapat memberi mereka keselamatan, membuat mereka bisa melampaui maut. Ketenaran dan kekayaan yang diperoleh seseorang dalam dunia materiil hanya memberinya kepuasan sementara, kenikmatan yang akan berlalu, kemudahan semu, dan membuatnya tersesat. Dan karenanya orang-orang, dalam pergulatan mereka di tengah lautan manusia, yang menginginkan kedamaian, kenyamanan, dan ketenangan hati, berulang kali tergulung oleh ombak. Ketika orang-orang belum memecahkan pertanyaan yang paling penting untuk dipahami—dari mana mereka datang, mengapa mereka hidup, ke mana mereka pergi, dan lain sebagainya—mereka tergoda oleh ketenaran dan kekayaan, disesatkan, dikendalikan, dan tersesat oleh hal-hal tersebut tanpa bisa keluar. Waktu berlalu; bertahun-tahun lewat dalam sekejap; tanpa ia sadari, ia telah berpisah dengan masa-masa terbaik dalam hidupnya. Ketika ia hendak meninggalkan dunia, ia perlahan menjadi sadar bahwa segala hal di dunia ini akan sirna, bahwa tidak ada yang bisa terus memeluk harta yang mereka miliki; barulah ia benar-benar merasa bahwa ia sebenarnya tetap tidak punya apa-apa, layaknya bayi menangis yang baru saja terlahir ke dunia. Pada saat inilah ia terdorong merenungkan apa saja yang telah ia perbuat dalam hidupnya, apa nilai dari hidup, apa artinya, mengapa seseorang datang ke dunia; dan pada saat inilah ia semakin ingin tahu benarkah ada kehidupan setelah kematian, apakah Surga benar-benar ada, benarkah ada ganjaran atas dosanya .... Semakin dekat ia dengan maut, semakin ingin ia mengerti apa maksud dari hidup sebenarnya; semakin dekat ia dengan maut, semakin kosong hatinya; semakin dekat ia dengan maut, semakin ia merasa tidak berdaya; dan karenanya ketakutannya akan maut semakin bertambah hari demi hari. Ada dua alasan mengapa orang bersikap demikian saat mendekati ajal: Pertama, mereka akan segera kehilangan ketenaran dan kekayaan tempat mereka menggantungkan hidup, mereka akan segera meninggalkan segala hal yang dapat dilihat di dunia; lalu yang kedua, mereka akan segera menghadapi, seorang diri, suatu dunia yang asing, alam yang misterius dan tidak dikenal tempat mereka hendak menginjakkan kaki, tempat mereka tidak memiliki orang terkasih dan tanpa sokongan apa pun. Oleh karena dua alasan ini, setiap orang yang menghadapi kematian merasa tidak tenang, mengalami kepanikan dan rasa tidak berdaya yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Hanya ketika orang benar-benar mencapai titik waktu inilah baru mereka sadar bahwa hal pertama yang harus mereka mengerti, ketika menginjakkan kaki di bumi, adalah dari mana datangnya manusia? Mengapa manusia hidup? Siapa yang mengatur nasib manusia? Siapa yang memberikan dan memiliki kedaulatan atas keberadaan manusia? Hal-hal inilah aset kehidupan yang sebenarnya, inilah dasar esensial bagi kelangsungan hidup manusia, dan bukannya pelajaran tentang bagaimana menghidupi keluarga atau cara memperoleh ketenaran dan kekayaan, bukan pelajaran tentang cara menjadi orang yang menonjol dibandingkan yang lain dan cara menjalani hidup yang lebih makmur, dan juga bukan pelajaran tentang cara mengungguli dan berhasil bersaing melawan yang lain. Walaupun berbagai keterampilan bertahan hidup yang dikuasai orang selama hidupnya dapat memberikan segunung kesenangan materiil, itu tidak akan bisa mendatangkan kedamaian dan ketenangan yang sejati di hati mereka, melainkan membuat mereka terus-menerus kehilangan arah, kesulitan mengendalikan diri mereka, kehilangan setiap kesempatan untuk belajar tentang arti hidup; dan mendatangkan kesulitan terpendam dalam menyongsong ajal dengan benar. Karena inilah, kehidupan orang menjadi berantakan. Sang Pencipta memperlakukan setiap orang dengan adil, memberikan setiap orang peluang seumur hidup untuk mengalami dan mengenal kedaulatan-Nya, namun hanya ketika ajal menjemput, hanya ketika bayangan kematian meliputi seseorang, barulah ia melihat terang—saat semuanya sudah terlambat.

Orang-orang menghabiskan hidup mereka mengejar uang dan ketenaran; mereka memegang keduanya erat-erat, menganggap hal-hal tersebut sebagai satu-satunya penyokong mereka, seakan dengan memiliki hal-hal tersebut mereka bisa terus hidup, bisa terhindar dari maut. Tetapi hanya ketika mereka sudah dekat dengan ajal barulah mereka sadar betapa jauhnya hal-hal itu dari mereka, betapa lemahnya mereka di hadapan maut, betapa rapuhnya mereka, betapa sendirian dan tidak berdayanya mereka, tanpa arah untuk berbalik. Mereka menyadari bahwa hidup tidak bisa dibeli dengan uang atau ketenaran, bahwa tidak peduli seberapa kaya seseorang, tidak peduli seberapa tinggi kedudukannya, semua orang sama-sama miskin dan tidak berarti di hadapan maut. Mereka menyadari bahwa uang tidak bisa membeli kehidupan, bahwa ketenaran tidak bisa menghapus kematian, bahwa baik uang maupun ketenaran tidak dapat menambah jangka hidup mereka barang semenit atau sedetik pun. Semakin mereka merasa demikian, semakin mendamba mereka untuk terus hidup. Semakin mereka merasa demikian, semakin mereka takut akan datangnya maut. Hanya pada saat inilah mereka benar-benar sadar bahwa hidup mereka tidak berada di tangan mereka, bukan berada dalam kendali mereka, dan bahwa mereka tidak punya pilihan apakah mereka hidup atau mati, semuanya berada di luar kendali mereka.

—Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"

Lihat lebih banyak

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Bagikan

Batalkan