11. Satu-satunya Jalan untuk Hidup Layaknya Manusia Sejati

Oleh Saudari Xin Cheng, Tiongkok

Aku pernah membaca novel karangan penulis Jepang mengenai seorang pramuniaga yang berhasil menjual serum penumbuh rambut, cat rambut, pelicin rambut, gunting rambut, dan pangkas rambut kepada seorang pelukis berambut tipis, katanya produk-produk itu bisa mengatasi masalahnya. Si pelukis habiskan banyak uang, tetapi kepalanya tetap nyaris botak. Si penulis menggunakan sindiran untuk mengungkapkan penipuan yang akhir-akhir ini digunakan oleh pramuniaga bejat, memperingatkan orang-orang agar tidak tertipu. Penipuan semacam ini semakin parah, tetapi tidak ada yang bisa memecahkan masalah ini. Dulu aku seperti mereka. Aku akan berbohong dan menipu pelanggan demi uang. Aku semakin terjebak di dalamnya dan tak bisa berhenti. Lalu aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman dan memahami beberapa kebenaran dengan membaca firman Tuhan Yang Mahakuasa. Sudut pandangku berubah, aku mulai menerapkan kebenaran dan bersikap jujur sesuai dengan firman Tuhan. Inilah satu-satunya cara untuk hidup terbuka dan memiliki keserupaan dengan manusia.

Saat pertama kali membuka salon rambut, aku bersumpah untuk berbisnis dengan jujur. Aku pun melakukannya, tak pernah mencatut harga. Kulakukan yang terbaik untuk rambut pelangganku dan tarifku lebih murah ketimbang penata rambut lainnya. Namun setelah bersusah-payah selama satu tahun, uangku hanya tersisa sekitar 2.000 yuan setelah membayar sewa, pajak usaha, biaya keperluan, biaya pemanas, dan sebagainya. Usahaku lebih banyak dibanding salon di sepanjang jalan itu, tetapi mereka menghasilkan lebih banyak uang ketimbang aku. Aku tahu mereka menghasilkan uang dengan cara menipu pelanggan, mengandalkan taktik standar demi keuntungan busuk mereka. Sejujurnya, terkadang aku inginmengikuti mereka, tetapi aku tidak merasa nyaman menghasilkan uang seperti itu. Seperti kata pepatah tua, "miskin tapi berwibawa." Semiskin apa pun, aku merasa harus tetap menjaga integritasku. Aku sering memikirkannya, tapi kuputuskan untuk tetap menjalankan bisnis sesuai nurniku dan menjadi orang baik, sekecil apa pun pendapatanku. Tiga tahun berlalu seperti ini, dan penata rambut lain yang memulai bisnisnya kurang lebih bersamaan denganku telah membeli toko lebih besar atau melakukan bisnis besar. Beberapa orang bahkan sudah punya mobil, tetapi keadaanku tetap sama seperti tiga tahun lalu.

Suatu hari ayahku sakit dan harus dibawa ke rumah sakit, perawatannya bisa memakan biaya hingga puluhan ribu yuan. Saat itu aku nyaris tak punya tabungan. Aku meminjam uang sebanyak mungkin, tetapi tetap saja hanya bisa membayar separuh biaya pengobatan. Memikirkan betapa besar utangku dan tak tahu kapan bisa melunasinya membuat batinku berkecamuk: Haruskan kunaikkan hargaku sedikit? Bagaimana kalau kunaikkan sedikit hargaku bagi pelanggan yang kaya? Saat dilanda kebingungan, seorang temanku berkata, "Semua penderitaan ini karena kau terlalu setia pada kehormatanmu. Keuntungan tahunan pemilik salon lain bisa mencapai puluhan ribu, tapi kau hanya menghasilkan beberapa ribu. Kau sangat keras kepala. Kalau ingin segera melunasi utangmu, kau harus lebih cerdas dalam berbisnis. Kau harus punya trik untuk menghasilkan lebih banyak uang." Setelah dia pergi, pemilik salon di seberang jalan datang dan mengejekku: "Kau pandai sekali mengelola salon ini! Bisnismu baik dan reputasimu juga bagus, hanya saja kurang menguntungkan. Kau mau menjadi Bunda Teresa? Kalau aku sepiawai kau, pasti aku sudah kaya dari dulu. Kau terlalu jujur. Kau harus cerdas untuk mengelola bisnis, tetapi kau malah membuat dirimu lelah dan nyaris tanpa hasil. Bukankah orang-orang bilang, 'Uang membuat dunia berputar' dan 'Hanya orang bodoh yang menolak uang.' Kau harus pikirkan itu." Malam itu aku gelisah di atas ranjang, tidak bisa tidur. "Perkataan mereka memang masuk akal," batinku. "Aku menjalankan bisnis dengan sangat jujur, lantas kapan aku akan untung? Seperti kata mereka, 'Uang bukan segalanya, tetapi tanpa uang, engkau tidak bisa melakukan apa pun.' Uang satu sen bisa menaklukan seorang pahlawan sekalipun. Lagi pula, ayahku sedang diopname dan aku tak bisa menunda perawatannya. Demi perawatan ayah dan agar bisa melunasi utang-utangku, tak ada salahnya menerapkan beberapa taktik untuk meraih untung." Aku meyakinkandiriku seperti itu dan memutuskan untuk mulai mencobanya kepada pelanggan kaya.

Keesokan harinya, seorang pelanggan datang meminta rambutnya dikeriting. Dia tampak sangat kaya dilihat dari penampilannya, maka kupikir akan memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan sedikit untung. Saat dia hendak membayar, aku langsung meminta 200 yuan. Sejujurnya, jantungku berdebar keras, karena biasanya aku hanya memasang harga 120 yuan, jadi saat menagih sebesar itu, aku penasaran apakah dia akan menuduhku mencatut harga. Kalau dia bilang itu terlalu mahal, aku bisa menurunkan harganya sedikit. Merasa bersalah, aku bahkan tak sanggup menatap matanya. Dia langsung memberikan uangnya, bahkan memuji keterampilanku. Dia puas dengan tatanan rambutnya dan bilang kalau bayarannya sepadan. Dia bilang akan merekomendasikanku kepada teman-teman dan keluarganya. Setelah dia pergi, aku sedikit merasa gelisah. Dia begitu memercayaiku, tetapi aku menipunya. Itu sungguh bejat. Namun kuingat lagi, "Hanya orang bodoh yang menolak uang." Lalu aku juga ingat utangku, maka kupendam saja perasaan bersalahku. Semenjak itu, caraku berbisnis berubah. Setiap melihat ada pelanggan kaya, aku menyambut mereka, penuh senyuman, dan kurekomendasikan beberapa layanan dan produk khusus.

Suatu kali ada pelanggan yang mau mencuci dan menata rambutnya, lalu kupikir, "Harga cuci rambut tak sampai 10 yuan. Aku harus cari cara untuk dapat uang lebih dari itu." Maka kukatakan kepadanya, "Rambutmu terlalu kering. Kalau tak segera dirawat, bisa mulai rontok, dan rambut adalah mahkota wanita. Kalau sampai rambutmu bermasalah, akan terlambat untuk menyesalinya." Dia memercayai semua perkataanku dan menghabiskan 300 yuan untuk serangkaian produk nutrisi rambut antirontok dan jadi pelanggan tetap untuk perawatan minyak panas. Aku sedikit merasa tidak enak setelah dia pergi. Aku memang mendapatkan uangnya, tetapi aku tak yakin seberapa efektif produk itu. Aku terlalu membesar-besarkannya, tetapi bagaimana nanti kalau gagal dan dia kembali untuk mengeluhkannya? Namun tak ada gunanya cemas. Aku sudah menjualnya, akhir cerita. Saat aku menggunting rambut pelanggan beberapa hari kemudian, dia bilang kulit kepalanya gatal dan berketombe. Kupikir, "Aku bisa merekomendasikan beberapa sampo yang kujual di sini jadi, aku bisa mendapat sedikit uang lebih." Kukatakan dengan bijak, "Ketombe dan kulit kepala gatal disebabkan oleh peradangan dan kalau semakin parah, rambutmu bisa rontok, dan itu bisa memengaruhi rasa percaya dirimu." Dia langsung bertanya apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya, jadi, tentu saja, kurekomendasikan sampo antiketombeku kepadanya dan menjanjikan itu akan berhasil. Dengan gembira dia membeli sampo itu. Kujual sampo itu seharga 68 yuan, padahal kubeli hanya seharga 25 yuan, dia pun terus berterima kasih. Aku menyadari betapa mudahnya mendapat uang dengan cara begitu. Pantas saja pemilik salon lain menjadi kaya. Kupikir aku juga bisa cepat kaya, dan tak perlu mengkhawatirkan soal tagihan rumah sakit ayahku. Dengan begini, kecemasan di hatiku lambat laun sirna dan aku jadi yakin kalau satu-satunya cara menghasilkan uang adalah dengan berbohong dan menipu.

Sepuluh tahun berlalu dengan cepat. Aku menghasilkan cukup banyak uang, semua utangku sudah kulunasi, aku bahkan membeli rumah dan mobil. Entah kenapa, meski hidupku kini lebih nyaman, aku sama sekali tidak merasa bahagia. Selalu ada perasaan hampa dan gelisah. Mereka bilang, "Saat manusia berbuat, Surga mengawasi," dan "Alang berjawab, tepuk berbalas." Aku takut kalau semua pelanggan yang sudah kutipu suatu hari datang untuk meminta pertanggungjawabanku, lalu reputasiku bisa hancur. Pikiran itu membuatku takut dan hidup dalam ketakutan. Itu sungguh melelahkan. Aku ingin sekali kembali berbisnis dengan jujur, tetapi aku tak bisa melakukannya. Aku bak pencuri yang mulai menikmati kejahatannya—ingin berhenti, tetapi tidak bisa.

Saat aku merasa menderita, terjebak dalam kubangan dosa, seorang teman membagikan injil Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Dia bilang, firman Tuhan adalah kebenaran serta bisa menyelesaikan semua kesulitan dan memulihkan penderitaan di dalam jiwa kita. Setelah itu, aku mulai ikut pertemuandan membaca firman Tuhan bersama yang lain, menyanyikan lagu-lagu pujian, dan aku merasa sangat damai. Perasaan seperti itu sungguh berharga. Aku menetapkan tekad untuk mengamalkan imanku dengan baik.

Suatu kali dalam pertemuan, saudara-saudari membacakan sebuah kutipan firman Tuhan. "Kejujuran berarti memberikan hatimu kepada Tuhan, bersungguh-sungguh kepada Tuhan dalam segala sesuatu, terbuka kepada-Nya dalam segala sesuatu, tidak pernah menyembunyikan yang sebenarnya, tidak berusaha menipu mereka yang di atas dan di bawahmu, dan tidak melakukan sesuatu semata-mata demi mengambil hati Tuhan. Singkatnya, jujur berarti kudus dalam tindakan dan perkataanmu, dan tidak menipu baik Tuhan maupun manusia. ... Jika engkau memiliki banyak rahasia yang enggan engkau bagikan, jika engkau sama sekali menolak menyingkapkan rahasiamu—kesulitan-kesulitanmu—di depan orang lain untuk mencari jalan terang, maka Aku katakan bahwa engkau adalah seseorang yang tidak akan memperoleh keselamatan dengan mudah, dan yang tidak akan dengan mudah keluar dari kegelapan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tiga Peringatan"). Firman ini sangat menyentuh bagiku. Aku sadar kalau Tuhan menyukai orang jujur dan membenci pendusta. Menjadi orang jujur adalah satu-satunya jalan untuk masuk kerajaan-Nya. Saudara-saudari begitu suci dan terbuka. Meski ada saat-saat ketika mereka berbohong demi menyelamatkan muka atau status mereka, tetapi mereka selalu bisa merenungkan diri dan bersikap terbuka dan jujur. Hidup mereka benar-benar merdeka dan terbebaskan. Aku bisa merasakan kalau gereja itu berbeda dengan dunia. Tuhan menyukai orang jujur, semakin jujur orang itu, Tuhan semakin menyukainya, tetapi semakin penuh kebohongan, maka Ia akan semakin membenci mereka. Hanya orang jujur yang bisa mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan sejati. Aku sungguh ingin menjadi orang jujur, orang yang disukai Tuhan. Namun aku teringat kalau aku adalah seorang pengusaha, dan di masyarakat materialistis di mana uang adalah segalanya, berbisnis dengan jujur tak hanya berarti kita tak bisa menghasilkan, tetapi juga akan dibodohi oleh orang lain. Tak mungkin aku bisa bertahan dalam lingkungan seperti itu dan ujung-ujungnya aku harus gulung tikar. Namun firman Tuhan menyatakan dengan tegas kalau Ia menyukai orang jujur, dan pendustatak bisa diselamatkan. Kalau aku tak menerapkan kebenaran seperti kehendak Tuhan, tetapi terus bertindak licik, berbohong, dan berbuat curang dalam bisnisku, bukankah itu menjijikkan bagi Tuhan? Aku berpikir berulang kali, akhirnya kuputuskan untuk bertindak sesuai firman Tuhan, dan menerapkan berkata benar dan menjadi orang jujur.

Suatu hari ketika aku memotong rambut seorang pelanggan, dia bertanya apakah rambutnya kering, jika ya, dia minta diberikan perawatan minyak juga. Kupikir, "Aku hanya dapat 10 yuan dari potong rambut, tetapi perawatan minyak bisa memberiku setidaknya 100 yuan. Pelangganku sendiri yang memintanya—aku tidak menyodorkan apa pun untuk mendapat tambahan uang. Nyatanya, aku melihat rambutnya dan sadar kalau rambutnya tidak kering, tetapi jika kukatakan yang sebenarnya, dia takkan mengambil perawatan itu. Saat merasa tersesat, aku teringat firman Tuhan ini: "Jujur berarti kudus dalam tindakan dan perkataanmu, dan tidak menipu baik Tuhan maupun manusia" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tiga Peringatan"). Fiman Tuhan memberiku peringatan di waktu yang tepat, orang jujur itu praktis dan realistis dalam perkataan dan perbuatannya. Mereka tidak berdusta di hadapan Tuhan maupun orang lain. Karena ingin menjadi orang jujur, aku harus bertindak sesuai dengan firman Tuhan dan mengatakan kebenarannya. Maka kuberi tahu pelangganku, "Rambutmu tidak kering. Tidak perlu buang-buang uang." Dia terkejut dan menjawab, "Tak kusangka kau begitu berintegritas. Tak banyak pengusaha sepertimu belakangan ini. Aku pasti akan menyuruh seluruh keluargaku kemari untuk ditata rambutnya." Aku sangat senang mendengarnya bilang begitu—Aku bersyukur kepada Tuhan berulang kali. Aku merasakan betapa indah dan nikmatnya menjadi orang jujur dan mengatakan kebenaran!

Pada hari-hari berikutnya, aku bertindak layaknya orang jujur sesuai dengan kehendak Tuhan. Tak lama kemudian, semua rasa takut dan kecemasan dalam hatiku menghilang dan aku tidak lagi cemas akan ada orang yang datang mengeluh. Setiap malam aku tidur dengan nyenyak. Kupikir aku bisa menerapkan kebenaran dan berkata jujur. Namun tak disangka, watak dan filosofi iblisku begitu dalam tertanam. Saat tergiur dengan untung besar, aku kembali ke cara lamaku.

Suatu hari, lima orang wanita datang. Mereka baru saja kembali dari perjalanan dan sopir taksi mereka merekomendasikan salonku, maka mereka langsung datang kemari. Salah satunya berkata, "Harga tidak masalah, pastikan saja kau bekerja dengan baik." Mendengar perkatannya, aku langsung berpikir, "Ini uang yang sudah pasti. Aku akan berbohong sekali ini saja dan Tuhan pasti akan memaafkanku." Maka, kunaikan harga mengeriting rambut dari 160 yuan menjadi 260 yuan dan mereka tidak komentar apa-apa. Dengan begitu aku mendapat untung 500 yuan. Aku sangat senang saat menerima uangnya, berpikir aku tak perlu mencemaskan soal uang sewa toko untuk bulan itu. Namun malam itu aku merasa sedih dan kecewa. Aku berbaring tak tenang di ranjang, tak bisa tidur.

Aku lalu berpikir bahwa aku sadar kalau menjadi orang jujur itu hal baik dan berkaitan dengan bagaimana kita membawa diri serta apakah kita bisa diselamatkan dan masuk ke kerajaan Tuhan. Lantas kenapa aku tidak bisa melakukannya? Apa alasanku sesungguhnya? Untuk mendapat jawaban, aku menonton video pembacaan firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berkata: "Dahulu orang-orang menjalankan bisnisnya dengan tidak menipu seorang pun; mereka menjual barang dengan harga yang sama kepada siapa pun pembelinya. Bukankah sedikit unsur hati nurani yang baik dan kemanusiaan disampaikan di sini? Ketika orang menjalankan bisnisnya seperti ini, yaitu dengan iktikad yang baik, dapat dilihat bahwa mereka masih memiliki hati nurani dan kemanusiaan pada saat itu. Namun, dengan meningkatnya tuntutan manusia untuk mendapatkan uang, orang tanpa sadar menjadi semakin mencintai uang, keuntungan, dan kesenangan. Singkatnya, orang mulai menganggap uang lebih penting daripada sebelumnya. Ketika orang memandang uang sebagai hal yang lebih penting, mereka tanpa sadar mulai menganggap reputasi, ketenaran, nama baik, dan integritas mereka kurang penting, bukan? Ketika engkau terlibat dalam bisnis, engkau melihat orang lain menggunakan berbagai cara untuk menipu orang dan menjadi kaya. Meskipun uang yang dihasilkan diperoleh secara tidak halal, semakin lama mereka menjadi semakin kaya. Meskipun mereka mungkin terlibat dalam bisnis yang sama denganmu, seluruh keluarga mereka lebih menikmati kehidupan daripadamu, dan engkau merasa tidak senang, lalu berkata pada dirimu sendiri, 'Mengapa aku tidak bisa melakukan itu? Mengapa aku tidak dapat menghasilkan sebanyak mereka? Aku harus memikirkan cara untuk mendapatkan lebih banyak uang, untuk membuat bisnisku berhasil.' Engkau kemudian melakukan yang terbaik untuk merenungkan bagaimana menghasilkan banyak uang. Menurut metode menghasilkan uang yang biasanya—menjual barang dengan harga yang sama kepada semua pelanggan—setiap keuntungan yang engkau peroleh dihasilkan tanpa perasaan bersalah. Namun, ini bukan cara untuk menjadi kaya dengan cepat. Didorong oleh keinginan untuk menghasilkan keuntungan, pemikiranmu mengalami perubahan secara bertahap. Selama perubahan ini, prinsip-prinsipmu dalam berperilaku juga mulai berubah. Ketika engkau pertama kalinya menipu seseorang, engkau memiliki keraguan, dan berkata, 'Hanya kali ini saja aku akan menipu orang. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku tidak bisa menipu orang. Ada konsekuensi serius terhadap kecurangan. Kecurangan akan mendatangkan banyak masalah bagiku!' Ketika pertama kali engkau menipu seseorang, hatimu merasa tidak tenteram; inilah fungsi hati nurani manusia—untuk membuatmu merasa tidak tenteram dan untuk menegurmu sehingga terasa tidak wajar jika engkau menipu seseorang. Namun, setelah engkau berhasil menipu seseorang, engkau melihat bahwa engkau sekarang memiliki lebih banyak uang daripada sebelumnya, dan engkau berpikir cara ini bisa sangat menguntungkan bagimu. Sekalipun ada sedikit perasaan sakit di hatimu, engkau tetap merasa ingin mengucapkan selamat kepada dirimu sendiri atas keberhasilanmu, dan engkau merasa agak senang dengan dirimu sendiri. Untuk pertama kalinya, engkau menyetujui perilakumu sendiri, cara-caramu yang menipu. Setelah itu, begitu manusia telah terkontaminasi dengan kecurangan ini, itu sama seperti seseorang yang terlibat dalam perjudian dan kemudian menjadi seorang penjudi. Dalam ketidaksadaranmu, engkau memberikan persetujuan untuk perilaku curangmu sendiri dan menerimanya. Tanpa sadar, engkau menganggap kecurangan sebagai perilaku komersial yang sah dan sarana paling berguna bagi kelangsungan hidup dan mata pencaharianmu; engkau berpikir dengan melakukan ini engkau bisa menjadi kaya dengan cepat. Ini adalah sebuah proses: pada awalnya, orang tidak bisa menerima tipe perilaku ini dan mereka memandang rendah perilaku dan praktik semacam ini. Lalu, mereka mulai melakukan eksperimen dengan berperilaku seperti ini, mencoba melakukannya dengan cara mereka sendiri, dan hati mereka mulai berubah secara bertahap. Perubahan macam apakah ini? Ini adalah persetujuan dan penerimaan terhadap tren ini, terhadap gagasan yang ditanamkan oleh tren sosial dalam dirimu ini. Tanpa disadari, jika engkau tidak menipu orang saat berbisnis dengan mereka, engkau merasa lebih buruk; jika engkau tidak menipu orang, engkau merasa seakan-akan telah kehilangan sesuatu. Tanpa kausadari, kecurangan ini menjadi jiwamu, tulang punggungmu, dan sejenis perilaku yang tak terpisahkan, yang merupakan prinsip dalam hidupmu. Setelah manusia menerima perilaku dan pemikiran ini, tidakkah ini telah menyebabkan perubahan dalam hatinya? Hatimu telah berubah, jadi, apakah integritasmu juga telah berubah? Apakah kemanusiaanmu telah berubah? Apakah hati nuranimu telah berubah? (Ya.) Ya, setiap bagian orang ini mengalami perubahan kualitatif, mulai dari hati mereka sampai pemikiran mereka, sedemikian rupa hingga mereka berubah dari dalam hingga ke luar. Perubahan ini menarikmu semakin jauh dari Tuhan, dan engkau menjadi semakin selaras dengan Iblis; semakin lama engkau menjadi semakin serupa dengan Iblis" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Firman Tuhan mencerminkan kenyataan. Seperti itulah aku ketika itu. Awalnya aku mengikuti nuraniku dan berbisnis dengan jujur. Namun saat ayahku masuk rumah sakit, didorong oleh teman dan kolegaku, aku mulai berbohong dan menipu demi mendapatkan uang lebih. Akhirnya aku tak bisa menahan diri. Aku ingin berhenti, tetapi tidak bisa. Aku menyadari kalau semua itu disebabkan oleh perusakan Iblis. Aku terpengaruh oleh lingkungan dan mengikuti filosofi Iblis seperti, 'Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri,' 'Uang adalah yang utama,' 'Uang bukan segalanya, tetapi tanpa uang, engkau tidak bisa melakukan apa pun,' dan 'Uang membuat dunia berputar' sebagai motoku. Aku mengikuti jalan kejahatan alih-alih mencari uang dengan terhormat. Aku menelantarkan standar perilaku utamaku demi keuntungan, belajar cara menyesuaikan perilakuku sesuai dengan hasil pengamatanku terhadap orang lain. Aku memutar otak dan menghalalkan segala cara untuk menipu pelanggan, aku menjadi semakin egois, licik, jahat, dan tamak. Aku kehilangan nurani, nalar, dan martabat yang seharusnya dimiliki seseorang. Meski aku menghasilkan uang dari berbohong dan menipu selama bertahun-tahun, berhasil melunasi utang-utangku dan hidup dengan nyaman, aku belum merasakan kebahagiaan sejati. Aku selalu merasa bersalah, selalu cemas kebohonganku akan terbongkar dan namaku akan rusak. Namun aku masih terjebak di dalamnya dan tak bisa melepaskan diri. Setelah menjadi orang percaya, bahkan setelah tahu Tuhan menyukai orang jujur dan bertekad dalam doa untuk menerapkan firman Tuhan, saat tergiur oleh uang yang banyak, aku tak bisa menahan diri untuk berbohong dan menipu. Aku menyadari betapa dalam Iblis telah merusakku. Akhirnya aku menyadari kalau filosofi Iblis dalam menjalani hidup adalah hal buruk yang menyesatkan dan membahayakan orang. Filosofi ini sangat merusakku sehingga aku semakin menjadi jahat dan bejat. Hidup berdasarkan gagasan ini dan berbisnis dengan tidak jujur bukanlah jalan hidup yang benar. Melakukan firman Tuhan, dan mengamalkan kebenaran sesuai kehendak Tuhan, sebagai orang jujur adalah satu-satunya jalan hidup yang benar!

Setelah itu aku membaca kutipan firman Tuhan ini: "Bagaimana orang bisa menjadi orang yang jujur? Bagaimana orang berlatih menjadi orang jujur? (Dengan tidak terlibat dalam kecurangan dan tidak tercemar ketika dia berbicara.) Itu benar, dan ada penjelasan lebih terperinci di dalamnya. Apa yang dimaksud dengan 'tidak tercemar'? Itu berarti tidak berbohong atau menyembunyikan maksud dan tujuan pribadi dalam perkataanmu. Jika engkau menyembunyikan kecurangan atau niat dan tujuan pribadi, kebohongan akan terlontar secara natural. Jika engkau tidak memiliki kecurangan atau niat atau tujuan pribadi di dalam hatimu, apa yang kaukatakan tidak akan dicemarkan, dan juga tidak akan mengandung kebohongan apa pun; ketika engkau berkata 'ya,' itu berarti 'ya,' dan ketika engkau berkata 'tidak,' itu berarti 'tidak.' Menyucikan hatimu terlebih dahulu adalah langkah paling penting. Begitu hatimu disucikan, masalah kecongkakan dan kebohonganmu yang licik semuanya akan terselesaikan. Untuk menjadi orang yang jujur, orang harus membersihkan hatinya dari kecemaran-kecemaran ini; setelah melakukan hal itu, akan mudah untuk menjadi orang yang jujur. Apakah rumit untuk menjadi seorang yang jujur? Tidak. Betapapun banyaknya keadaan atau watak yang rusak di dalam dirimu, ada satu kebenaran yang dapat menyelesaikan semua itu. Jangan berbohong, katakan apa adanya, lakukan penerapan sesuai dengan kebenaran, dan bersikaplah transparan dalam segala sesuatu yang kaulakukan; hiduplah sebagai seorang manusia di hadapan Tuhan, dan hiduplah dalam terang" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Jalan untuk Mengatasi Watak yang Rusak"). Aku menemukan jalan penerapan dari firman Tuhan. Pertama-tama kita harus meluruskan motif kita, tidak berkata bohong, dan tidak berniat untuk berdusta. Kita harus hidup dengan terbuka, layak mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan orang lain, serta semakin menjalani hidup yang menyerupai manusia. Tuhan menyukai dan memberkati orang jujur. Orang semacam itu tidak hidup dalam kegelapan atau penderitaan, dan mereka tidak memutar otak untuk mempertahankan kebohongan. Terlebih lagi, mereka tidak hidup dalam ketakutan kalau kebohongan mereka akan menghantui. Orang jujur tidak terkekang seperti itu, mereka bebas dan dalam damai. Setelah memahami makna sesungguhnya, aku bertekad menerapkan hidup sebagai orang jujur seperti kehendak Tuhan.

Keesokan siangnya, aku sedang memotong rambut pelanggan, ketika wanita yang pernah kusarankan perawatan penebalan rambut datang dengan berwajah masam. "Sepertinya dia akan membuat ulah," pikirku. "Bagaimana kalau dia bilang produkku tidak bagus dan pelanggan lain mendengarnya? Bisnisku bisa terpengaruh. Bagaimana caramenyuruhnya pergi dari sini?" Saat coba mencari cara untuk menghadapinya, aku teringat firman Tuhan: "Jangan berbohong, katakan apa adanya, lakukan penerapan sesuai dengan kebenaran, dan bersikaplah transparan dalam segala sesuatu yang kaulakukan; hiduplah sebagai seorang manusia di hadapan Tuhan, dan hiduplah dalam terang" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Jalan untuk Mengatasi Watak yang Rusak"). Aku sadar aku tak bolehberbohong atau menipu lagi dan apa pun yang akan dikatakan wanita itu, apa pun yang akan dipikirkan pelanggan lain tentang aku, entah aku masih bisa menghasilkan uang setelahnya atau tidak, aku harus jujur sesuai firman Tuhan dan mengatakan yang sebenarnya, lalu menerima keluhannya dengan baik. Saat aku masih memikirkan ini, aku mendengarnya berkata sambil marah, "Bukankah kau bilang penebal rambut ini bisa bantu menumbuhkan rambut? Tak ada satu helai rambut pun yang tumbuh. Kau menipuku, bukan?" Aku menjawabnya dengan tulus, "Beberapa pelanggan bilang kalau produk ini efektif, dan ada yang bilang sebaliknya. Aku belum mencobanya sendiri, jadi, aku tidak bisa menjawabnya. Kalau menurutmu produk ini tidak berhasil, maka jangan digunakan lagi dan aku akan kembalikan uangmu." Setelah mendengar jawabanku, amarahnya reda dan dia berkata sambil tersenyum, "Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Karena kau mau berkata jujur, tak perlu mengganti uangku. Namun meski rambutku tidak bertambah tebal dengan produk ini, tetapi jadi lebih lembut dan berkilau." Setelah dia pergi, aku merenungkan kembali kejadian tadi. Aku merasakan sendiri bahwa dengan berkata jujur dan menerapkan kebenaran tidaklah merugikan. Selain membuatku dipercaya dan dihormati orang lain, berkata jujur juga melegakan. Hal ini membuatku semakin yakin untuk menjadi orang jujur.

Pada suatu akhir pekan, kakak perempuanku datang ke salon untuk cuci rambut sementara saat itu ada pelanggan yang mau mewarnai rambutnya. Aku melihat rambutnya dan bilang, "Rambutmu dicat belum lama ini. Sebaiknya tunggu sebentar lagi, karena cat rambut mengandung bahan kimia yang buruk bagimu." Pelangganku dengan agak kaget menjawab, "Aku tak percaya ada orang yang berbisnis seperti ini. Pantas saja bisnismu lancar. Sifat yang baik menghasilkan bisnis yang sukses." Setelah dia pergi, kakakku memandangku dengan aneh dan bilang, "Kau ini sakit atau kenapa? Uang itu jelas-jelas sudah ada dalam genggaman, tetapi tidak kau ambil." Kujawab dengan tenang, "Perilaku memengaruhi bisnis kita. Bagaimana mungkin orang yang tidak baik mengelola bisnis yang baik? Kita bisa cepat kaya dengan cara yang tidak etis, tetapi tidak akan bertahan lama. Kini aku melakukan semuanya terang-terangan dan aku merasa lebih baik menghasilkan uang dengan nurani." Kakakku tersenyum dan bilang, "Dulu bukan begini caramu berbisnis. Kau benar-benar sudah berubah." Melihatnya takjub begitu, aku bersyukur kepada Tuhan beulang kali. Semua berkat firman Tuhan dan aku bisa merasakan kedamaian menjadi orang jujur dan mengatakan kebenaran.

Setelah itu, salonku selalu sibuk setiap akhir pekan dan hari libur, banyak orang datang karena tahu dari orang lain atau direkomendasikan teman. Dulu aku berpikir takkan bisa bertahan di bisnis tanpa berbohong sedikit dan orang-orang akan menertawaiku. Namun akhirnya aku menyadari betapa konyol dan tidak masuk akalpikiran itu. Mengikuti filosofi Iblis memberi kita keuntungan sementara dan hanya menyisakan kehampaan dan penderitaan. Ini adalah cara hidup yang tercela dan hina, tanpa ada keserupaan dengan manusia. Kini aku fokus untuk menerapkan kebenaran, berbicara jujur, dan hidup lurus. Selain mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan orang lain, secara pribadi, aku juga merasa damai. Ini cara yang indah untuk hidup! Perubahan kecil yang kujalani ini semua berkat firman Tuhan. Syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa!

Sebelumnya: 10. Hati yang Dibebaskan

Selanjutnya: 12. Hanya Kejujuran yang Membawa Keserupaan dengan Manusia

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

60. Tuhan Itu Teramat Benar

Oleh Saudara Zhang Lin, JepangPada bulan September 2012, aku bertanggung jawab atas pekerjaan gereja saat bertemu dengan pemimpinku, Yan...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini