Haruskah Kita Hidup Menurut Kebajikan Tradisional?

24 November 2022

Oleh Saudari Xiao Xiang, Prancis

Saat duduk di sekolah dasar, ada teks yang meninggalkan kesan mendalam pada diriku, yaitu kisah tentang Kong Rong yang memberikan pir. Kong Rong memberikan pir terbesar kepada kakak dan adik lelakinya, sedangkan dia mengambil pir terkecil, dan dipuji oleh ayahnya. Kisahnya ditulis dalam Trimeter Klasik. Saat itu, aku menganggap karakternya luar biasa, dan aku menyuruh diriku menjadi anak yang seperti itu. Jadi, sejak kecil, jika ada sesuatu yang sangat lezat atau menyenangkan, meski aku menginginkannya, aku meniru Kong Rong untuk memberikannya kepada kakak dan adik perempuanku, dan tak pernah merebutnya. Saudara-saudaraku menyukaiku karena itu, sedangkan para orang tua memujiku, dan menyuruh anak-anak lain belajar dariku. Karena hal itu, aku makin yakin bahwa itu adalah jenis kemanusiaan yang seharusnya dimiliki manusia. Setelah memercayai Tuhan, aku bergaul dengan saudara-saudari juga seperti ini. Dalam tugas dan hidupku, aku tak pernah merebut apa pun. Dalam segala hal, aku selalu mendahulukan orang lain. Jadi, aku diterima baik oleh saudara-saudariku, dan semua orang bilang aku mudah akrab, tak egois, dan pengertian terhadap orang lain. Aku sangat bangga karena berperilaku seperti itu, dan selalu menganggap kemanusiaanku baik. Lalu, setelah diungkap oleh beberapa lingkungan tertentu, akhirnya aku mulai memahami kekeliruan dalam sudut pandangku.

Pada bulan Januari tahun ini, karena kebutuhan penginjilan, perlu dicari banyak pekerja Injil dan penyiraman baru, jadi, aku diminta untuk terus mencari dan melatih staf penyiraman. Terkadang, saat menemukan saudara-saudari yang sesuai untuk tugas penyiraman, staf Injil lebih dahulu merekrut mereka. Ini membuatku sangat kecewa, tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya, karena kupikir semua orang akan menganggapku egois. Jadi, aku mencari sebuah cara. Aku sengaja mengirim pesan ke diaken penyiraman, memberi tahukan bahwa orang yang cocok untuk penyiraman direbut oleh pekerja Injil. Pesan itu membuat diaken penyiraman berprasangka buruk terhadap pekerja Injil dan menghilangkan kemungkinan kerja sama harmonis di antara mereka. Saat pemimpin yang lebih tinggi tahu, dia menanganiku dengan ekstrem dan mengungkap ucapanku menabur benih perselisihan dan mengganggu pekerjaan gereja. Dipangkas dan ditangani membuatku sedih, tapi aku tetap tak merenung atau mengenali diriku.

Lalu, suatu hari, aku dengar ada seorang saudari bernama Lyse dengan kualitas dan pemahaman yang baik, jadi dia sangat sesuai untuk pekerjaan penyiraman. Aku menemui pemimpin gereja memintanya memindahkan saudari itu menyirami pendatang baru. Tapi kemudian, dibutuhkan orang untuk mengajarkan Injil secepatnya, sehingga pemimpin gereja mengirim Lyse untuk menyebarkan Injil. Saat mendengar kabar itu, aku sakit hati, dan ingin membahasnya dengan pemimpin gereja, tapi kupikir, jika aku melakukannya, saudara-saudariku pasti menganggapku egois dan gemar merebut. Aku berkata kepada diriku sendiri, "Tidak, aku tak boleh melakukannya. Dengan begitu aku akan dianggap murah hati dan bernatur baik." Jadi, kutekan kebencianku, Dengan munafik kukatakan aku bahagia untuk Lyse, bahwa pekerjaan penyiraman dan Injil adalah pekerjaan rumah Tuhan. Setelah itu, aku dengar pemimpin gereja bilang, "Saudara Jerome memiliki kualitas baik dan dapat bersekutu tentang kebenaran guna memecahkan masalah." Aku ingin meminta saudara itu untuk menyirami pendatang baru, tapi tak disangka, pemimpin gereja bilang dia telah mengirim saudara itu menjadi pekerja Injil. Aku tak bisa terima lagi. Waktu itu, dia meminta Saudari Lyse mengajarkan Injil. Kenapa dia menugaskan orang berikutnya untuk pekerjaan Injil juga? Kami sangat butuh orang untuk pekerjaan penyiraman. Jadi, kusampaikan situasi itu kepada pemimpin gereja. Setelah mendengarkanku, dia berkata, "Karena lebih dibutuhkan untuk pekerjaan penyiraman, aku berikan Saudara Jerome untukmu." Tapi aku sadar karena pemimpin gereja sudah mengirimnya untuk pekerjaan Injil, dan jika aku bersikeras mengambilnya, aku khawatir mereka akan menyebutku egois dan bersikeras mengambil orang-orang yang cakap. Jadi, kubiarkan dia mengajarkan Injil. Ini akan membuktikan aku memiliki kemanusiaan yang baik, tak egois, dan dapat memikirkan orang lain. Di dalam grup, aku mengirim pesan bahwa Jerome akan menjadi pekerja Injil yang baik dan mengirim rangkaian emoji perayaan bahagia. Sebenarnya, semua itu pura-pura. Suasana hatiku buruk, dan penuh dengan keluhan. Bagaimana bisa pemimpin berpikir bahwa hanya pekerjaan Injil yang butuh personel cakap? Dia tak melihat kesulitan kami yang sebenarnya. Semakin dipikirkan, aku semakin sakit hati.

Beberapa hari kemudian, aku mengalami situasi lain. Pemimpin meminta kami melaporkan personel yang baru dibina. Aku melihat pekerja Injil membina lebih banyak orang daripada pekerja penyiraman, dan aku pun tak tahan lagi. Ketakpuasan dan sakit hati langsung memenuhi pikiranku. Aku tak menyangka mereka membina orang sebanyak itu. Aku bahkan membiarkan mereka mengambil Lyse dan Jerome. Itu sangat tak adil. Sekarang, jumlah pekerja Injil lebih banyak daripada pekerja penyiraman. Memikirkan banyaknya pendatang baru kelak dan betapa sedikitnya pekerja penyiraman, aku merasakan tekanan yang besar, serta prasangka terhadap pemimpinku. Aku merasa dia hanya memikirkan pekerjaan Injil, dan tak ada yang memikirkan pekerjaan penyiraman. Makin dipikirkan, aku makin sedih, dan tak bisa menahan tangis saat duduk. Menyaksikan diaken Injil dan pemimpin gereja berbicara mengenai pendatang baru di kelompok mereka dengan antusias, membuatku merasa terasing, dan aku sangat frustrasi hingga ingin keluar dari kelompok. Tengah hari itu, aku sangat sengsara hingga tak bisa makan. Aku berbaring di kasur sendirian dan menangis terisak-isak, dan aku merasa jika aku terus seperti ini, aku akan jatuh sakit. Saat seorang saudari yang kukenal melihat kondisiku, dia bilang aku tak bicara langsung dan menutupi diri agar orang lain menganggapku rendah hati dan menjadikanku panutan. Setelah diingatkan, akhirnya aku mulai merenungkan diri.

Dalam firman Tuhan, aku membaca, "Tahukah engkau semua siapa sebenarnya orang Farisi? Adakah orang Farisi di sekitarmu? Mengapa orang-orang ini disebut 'Orang Farisi'? Bagaimana orang Farisi digambarkan? Mereka adalah orang-orang yang munafik, sama sekali palsu dan berpura-pura dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Tindakan berpura-pura apa yang mereka lakukan? Mereka berpura-pura bersikap baik, ramah, dan positif. Seperti inikah diri mereka yang sebenarnya? Sama sekali tidak. Mengingat bahwa mereka adalah orang munafik, segala yang terwujud dan tersingkap pada diri mereka adalah palsu; semuanya kepura-puraan—itu bukan diri mereka yang sebenarnya. Di manakah diri mereka yang sebenarnya disembunyikan? Itu tersembunyi jauh di dalam hati mereka, tidak pernah terlihat oleh orang lain. Segala sesuatu yang tampak di luarnya adalah kepura-puraan, semua itu palsu, tetapi mereka hanya bisa mengelabui orang; mereka tidak bisa mengelabui Tuhan. ... Bagi orang lain, orang-orang semacam itu tampak sangat saleh dan rendah hati, tetapi sebenarnya palsu; mereka tampak toleran, sabar, dan penuh kasih, tetapi itu sebenarnya kepura-puraan; mereka berkata mereka mengasihi Tuhan, tetapi itu sebenarnya adalah kepura-puraan. Orang lain menganggap orang semacam itu kudus, tetapi sebenarnya palsu. Di manakah seseorang yang benar-benar kudus ditemukan? Kekudusan manusia semuanya palsu. Semua itu adalah kepura-puraan. Secara lahiriah, mereka tampak setia kepada Tuhan, tetapi sebenarnya mereka melakukannya agar dilihat orang lain. Ketika tak seorang pun yang melihat, mereka tidak sedikit pun setia, dan semua yang mereka lakukan asal-asalan. Secara lahiriah, mereka mengorbankan diri mereka bagi Tuhan dan telah meninggalkan keluarga dan karier mereka. Namun, apa yang sedang mereka lakukan secara diam-diam? Mereka sedang mengurus urusan mereka sendiri dan menjalankan bisnis mereka sendiri di dalam gereja, secara diam-diam mendapatkan keuntungan dari gereja dengan kedok bekerja untuk Tuhan .... Orang-orang ini adalah orang Farisi modern yang munafik" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Enam Indikator Pertumbuhan dalam Hidup"). "Jika yang kaukejar adalah kebenaran, dan yang kauterapkan adalah kebenaran, dan dasar ucapan dan tindakanmu adalah firman Tuhan, maka orang lain akan mendapatkan manfaat dan keuntungan dari ucapan dan tindakanmu yang berprinsip. Bukankah itu akan bermanfaat bagimu juga bagi pendengarmu? Jika hidup dikekang oleh pemikiran budaya tradisional, engkau berpura-pura sementara orang lain juga melakukan hal yang sama, dan engkau berbicara dengan penuh sopan santun sementara mereka berbicara dengan menjilat, masing-masing berpura-pura terhadap yang lain, maka tak seorang pun darimu melakukan hal yang baik. Engkau dan mereka saling menjilat dan berbicara sopan sepanjang hari, tanpa satu pun perkataan kebenaran, sehingga yang terwujud dalam hidup ini hanyalah perilaku baik seperti yang dianjurkan oleh budaya tradisional. Meskipun di luarnya perilaku seperti itu lazim, semua itu adalah kemunafikan, perilaku yang menipu dan mengelabui orang lain, perilaku yang menjerumuskan orang lain dan menipu mereka, tanpa adanya perkataan yang tulus. Jika engkau berteman dengan orang seperti itu, pada akhirnya engkau pasti akan terjerumus dan tertipu. Tidak ada dari perilaku baik mereka yang akan mendidik kerohanianmu. Yang diajarkan hanyalah kepalsuan dan tipu daya: engkau menipu mereka, mereka menipumu. Pada akhirnya, yang akan kaurasakan adalah terdegradasinya integritas dan martabatmu secara ekstrem, dan inilah yang benar-benar harus kautanggung. Engkau tetap harus menampilkan dirimu dengan penuh sopan santun, dengan kesopanan yang berbudaya, tanpa bertengkar dengan orang lain atau menuntut terlalu banyak dari mereka. Engkau tetap harus bersabar dan toleran, pura-pura bersikap acuh dan berwawasan luas dengan wajah penuh senyum berseri-seri. Berapa tahun latihan keras yang harus dilakukan untuk mencapai kondisi seperti itu? Jika engkau menuntut dirimu sendiri untuk hidup seperti ini di hadapan orang lain, bukankah hidupmu akan melelahkan? Berpura-pura memiliki begitu banyak kasih, padahal tahu betul bahwa engkau tidak seperti itu—kemunafikan seperti itu bukanlah hal yang mudah! Engkau akan merasa makin lelah karena bersikap seperti ini sebagai manusia; engkau akan lebih suka dilahirkan sebagai sapi atau kuda, babi atau anjing di kehidupanmu selanjutnya daripada menjadi manusia. Bersikap seperti itu terlalu palsu dan jahat bagimu" (Firman, Vol. 6, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Apa Arti Mengejar Kebenaran (3)"). Tuhan mengungkapkan bahwa orang yang hidup dengan kemunafikan berdasarkan konsep budaya tradisional, hanya akan membuatnya menderita, depresi, dan terasing. Itu membuat perasaanku bergejolak, karena konsep itu melukaiku sangat dalam. Khususnya saat aku membaca, "Berpura-pura memiliki begitu banyak kasih, padahal tahu betul bahwa engkau tidak seperti itu—kemunafikan seperti itu bukanlah hal yang mudah!" Aku merasa sangat malu. Kata-kata itu mendeskripsikanku. Jelas aku tak terlalu murah hati, tapi terpaksa berpura-pura murah hati, dan saat aku tak peduli dengan pekerjaan gereja, aku tetap berpura-pura peduli. Saat Lyse dan Jerome diminta untuk mengajarkan Injil, jelas aku tak bahagia, tapi aku memaksa diri untuk tersenyum, bahkan mengirim pesan aku bahagia mereka mengajarkan Injil. Aku sangat palsu dan menutupi diri, Firman Tuhan mengungkapkan bahwa orang Farisi adalah kaum munafik yang selalu menutupi diri mereka. Dari luar, mereka tampak memiliki kemanusiaan yang baik, toleran, rendah hati, dan saleh, tapi faktanya, mereka menggunakan metode itu untuk menipu dan menjerat orang, melindungi status dan posisi mereka. Esensi mereka adalah membenci kebenaran dan Tuhan, itu sebabnya Tuhan Yesus mengecam mereka sebagai ular dan menjatuhkan petaka atas mereka. Saat merenungi semua itu, aku merasa takut. Kemunafikanku sama dengan kaum Farisi. Soal penunjukan staf, aku menunjukkan bahwa aku tak mau berebut dengan orang lain, dan aku ingin menukarnya dengan penilaian baik dari orang lain. Aku katakan bahwa tindakanku demi kepentingan gereja, tapi sebenarnya aku memikirkan citra diriku sendiri. Aku khawatir pekerja Injil akan mengatakan aku egois, memiliki kemanusiaan yang buruk, dan tak memedulikan pekerjaan gereja, jadi aku harus menahan diri. Meski dari luar aku tampak murah hati dan dermawan, aku sangat menderita dan memendam kebencian besar, dan aku bahkan berprasangka terhadap pemimpin gereja dan diaken Injil. Tapi aku sembunyikan semua pemikiran itu di tempat yang tak terlihat, agar saudara-saudariku menganggapku memiliki kemanusiaan yang baik dan dapat menjunjung tinggi pekerjaan gereja. Aku merenungkan niatku dan hal yang terungkap, aku pun merasa jijik dengan perilakuku. Aku menipu dan memikat orang dengan kedok perbuatan baikku, aku membangun citra diriku sendiri, dan semua perkataan serta perbuatanku menjijikkan dan dibenci Tuhan.

Setelah itu, aku mendengarkan persekutuan Tuhan yang beberapa kali menganalisis budaya dan kebajikan tradisional, dan aku pun mulai merenung. Apa konsep budaya tradisional yang mengendalikanku hingga aku hidup penuh kemunafikan dan menderita? Aku membaca beberapa firman Tuhan. "Ada sebuah kisah dalam budaya tradisional tentang Kong Rong[a] yang memberikan buah pir yang lebih besar. Bagaimana menurutmu: apakah orang yang tidak bisa seperti Kong Rong bukanlah orang yang baik? Dahulu, orang berpikir bahwa siapa pun yang bisa seperti Kong Rong adalah orang yang berkarakter mulia dan berintegritas kuat, orang yang tidak egois—orang yang baik. Apakah Kong Rong dari kisah bersejarah ini merupakan panutan yang diikuti semua orang? Apakah karakter ini memiliki tempat tertentu di hati orang? (Ya.) Bukan namanya, tetapi pemikiran dan tindakannya, moralitas dan perilakunya, yang menempati tempat di hati orang-orang. Orang menghargai tindakan semacam itu dan menyetujuinya, dan mereka mengagumi kebajikan Kong Rong di dalam hati mereka" (Firman, Vol. 6, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Apa Arti Mengejar Kebenaran (10)"). "Kaum intelektual sangat dipengaruhi oleh budaya tradisional. Mereka tidak sekadar menerimanya—mereka menerima banyak pemikiran dan pandangan dari budaya tradisional itu jauh di lubuk hati mereka, di mana mereka memperlakukannya sebagai hal-hal yang positif. Mereka bahkan memperlakukan beberapa ungkapan terkenal sebagai motto mereka. Dengan melakukan hal-hal ini, mereka telah tersesat dalam hidup ini. Budaya tradisional diwujudkan dalam ajaran Konfusianisme, yang berisi serangkaian ideologi dan teori yang terutama mempromosikan moral dan budaya tradisional. Dari satu dinasti ke dinasti lainnya, ajaran-ajaran ini telah dijunjung tinggi oleh golongan penguasa, yang menganggap Konfusius dan Mencius sebagai orang-orang bijak. Ajaran Konfusianisme menganjurkan bahwa sebagai manusia, orang harus memastikan bahwa mereka menjunjung tinggi kebajikan, keadilan, kesopanan, kebijaksanaan, dan ketulusan, yang berarti orang harus belajar untuk terlebih dahulu tenang ketika sesuatu terjadi, bersikap sabar, mengatakan apa yang akan mereka katakan dengan baik, tidak dengan sikap bersaing atau berusaha keras, dan mereka harus belajar untuk bersikap sopan untuk mendapatkan rasa hormat dari orang lain—hanya orang seperti itulah yang patut diteladani dalam perilakunya. Orang seperti itu menempatkan diri mereka di atas orang biasa; bagi mereka, semua orang lainnya adalah orang yang harus dihadapi dengan kesabaran dan toleransi. 'Efek' dari pengetahuan ini sangat besar! Bukankah orang-orang seperti ini benar-benar tampak seperti orang munafik? Dengan memiliki cukup pengetahuan, orang menjadi munafik. Sebutan yang menggambarkan sekelompok akademisi yang terpelajar dan sopan ini adalah 'Orang-orang anggun dan terpelajar.' ... Mereka memulai terutama dengan mempelajari dan meniru sikap sopan yang telah diadopsi oleh orang-orang lembut tersebut. Bagaimana nada bicara mereka saat berbicara satu sama lain, saat mereka membahas sesuatu? Ekspresi wajah mereka sangat lembut, dan kata-kata mereka halus dan penuh polesan, mengungkapkan hanya pendapat mereka sendiri. Mereka tidak akan mengatakan bahwa pendapat orang lain salah, meskipun mereka tahu itu salah—tak seorang pun boleh melukai orang lain seperti itu. Dan perkataan mereka semuanya sangat lembut, bagaikan kapas yang menyentuh kapas lainnya: penuh basa-basi yang tidak menyakitkan, yang membuat orang yang mendengarnya merasa muak, gelisah dan marah. Orang-orang seperti itu penuh kepura-puraan. Mereka berpura-pura seperti ini bahkan untuk hal yang terkecil, mengemasnya dengan rapi, tanpa seorang pun tahu maksud mereka yang sebenarnya. Ketika berada di depan orang biasa, sikap macam apa yang ingin mereka perlihatkan? Citra macam apa yang ingin mereka tampilkan? Mereka berusaha membuat orang biasa menganggap mereka orang terhormat yang rendah hati. Orang terhormat adalah orang yang lebih baik daripada orang lain; mereka adalah orang-orang yang harus dikagumi. Orang menganggap pendapat mereka lebih baik daripada pendapat kebanyakan orang, dan mereka memahami berbagai hal dengan lebih baik, jadi mereka berkonsultasi dengan para intelektual semacam itu tentang semua urusan mereka. Hasil semacam inilah yang ingin dicapai para intelektual itu. Mereka semua ingin dianggap sebagai orang bijak" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, "Bab Sembilan: Mereka Melakukan Tugas Mereka Hanya untuk Membedakan Diri Mereka Sendiri dan Memuaskan Kepentingan dan Ambisi Mereka Sendiri; Mereka tidak Pernah Mempertimbangkan Kepentingan Rumah Tuhan, dan Bahkan Menjual Kepentingan Tersebut sebagai Ganti Kemuliaan Pribadi (Bagian Satu)"). Firman Tuhan menggambarkan masalahku dengan tepat. Kenapa aku bisa melihat perbuatan baik yang munafik tersebut sebagai hal positif yang perlu ditiru? Jawabannya karena aku terpengaruh oleh konsep budaya tradisional Kong Rong yang memberikan pir. Aku menghidupi konsep tersebut sejak kecil. Agar dianggap sebagai anak yang baik, aku memberikan banyak mainan dan camilan kesukaanku kepada saudari-saudariku. Saat besar, aku juga rendah hati dan menampilkan kemurahan hati dalam segala hal. Meski enggan melakukannya, kupikir hanya itu cara menunjukkan bahwa aku memiliki kemanusiaan yang baik dan tahu tata krama, dan bahwa itu satu-satunya cara mendapatkan hormat dari orang lain, jadi dengan berat hati aku bertahan. Setelah memercayai Tuhan, aku masih menerapkan gagasan tradisional tersebut sebagai kebenaran. Mengenai penunjukkan kedua staf itu, aku sangat menahan diri. Jelas pekerja penyiraman kurang, tapi aku berpura-pura mengabdi tanpa pamrih dan membiarkan kedua orang yang sesuai untuk tugas penyiraman, mengajarkan Injil. Ini membuatku tampak sangat mulia dan murah hati, tapi faktanya, aku sangat negatif hingga beberapa kali menangis diam-diam karena kekurangan staf. Aku berprasangka terhadap pemimpin gereja, dan akhirnya pekerjaan penyiraman terpengaruh. Apa gunanya "memberi" seperti ini? Demi citra diri yang baik, aku mengikuti sosok mulia seperti Kong Rong, dan tak peduli meski itu memengaruhi pekerjaan gereja. Aku benar-benar seorang munafik. Jika aku sungguh memikirkan pekerjaan gereja, aku akan mengevaluasi kebutuhan staf kami berdasarkan tuntutan pekerjaan penyiraman, tapi untuk melindungi citra diriku, aku tak mengikuti prinsip sama sekali. Meski pekerjaan penyiraman terpengaruh karena kekurangan staf, aku masih bersikeras untuk melepaskan orang. Aku menerima pujian dari orang lain dengan mengorbankan pekerjaan penyiraman tertunda. Tak heran Tuhan berkata orang seperti itu munafik. Aku sadar perilakuku sungguh salah.

Setelah itu, aku membaca beberapa firman Tuhan yang membuat perasaanku bergejolak. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Engkau harus tahu dengan jelas bahwa pernyataan tentang kebajikan macam apa pun bukanlah kebenaran, apalagi mewakili kebenaran. Semua itu bahkan bukan hal yang positif. Dapat dikatakan dengan pasti bahwa pernyataan tentang kebajikan ini adalah kekeliruan sesat yang digunakan Iblis untuk memperdaya orang. Semua itu terutama bukanlah kenyataan kebenaran yang harus dimiliki orang, juga bukan hal-hal positif yang harus dihidupi oleh manusia normal. Pernyataan tentang kebajikan ini merupakan kepalsuan, kepura-puraan, kekeliruan, dan tipu muslihat—semua itu adalah perilaku yang dibuat-buat, dan sama sekali tidak berasal dari hati nurani dan nalar manusia atau dari pemikiran normal mereka. Oleh karena itu, semua pernyataan budaya tradisional tentang kebajikan adalah kesesatan dan kekeliruan yang tak masuk akal dan konyol. Melalui beberapa persekutuan ini, pernyataan yang Iblis kemukakan tentang kebajikan pada hari ini telah seluruhnya dimusnahkan. Jika pernyataan itu bahkan bukan hal yang positif, mengapa orang-orang bisa menerimanya? Bagaimana orang bisa hidup berdasarkan gagasan dan pandangan ini? Alasannya adalah karena pernyataan tentang kebajikan ini sangat selaras dengan gagasan dan imajinasi orang. Semua itu membangkitkan kekaguman dan pernerimaan, sehingga orang menerima pernyataan tentang kebajikan ini dengan sepenuh hatinya, dan meskipun mereka tidak dapat menerapkannya, di dalam hatinya, mereka mendukung dan memujanya dengan penuh semangat. Jadi, Iblis menggunakan berbagai pernyataan tentang kebajikan untuk menipu orang, untuk mengendalikan hati dan perilaku mereka, karena di dalam hatinya, orang memuja dan memiliki keyakinan buta akan segala macam pernyataan tentang kebajikan, dan mereka semua ingin menggunakan pernyataan ini untuk berlagak memiliki martabat, kemuliaan, dan kebaikan yang lebih besar, sehingga mencapai tujuan mereka untuk dihormati dan dipuji. Segala macam pernyataan tentang kebajikan, secara singkat, meminta orang untuk memperlihatkan semacam perilaku atau kualitas manusia tertentu dalam hal kebajikan. Perilaku dan kualitas manusia ini tampaknya cukup mulia, dan semua itu dihormati, sehingga semua orang, di dalam hatinya, sangat menginginkannya. Namun, apa yang tidak mereka pertimbangkan adalah bahwa pernyataan tentang kebajikan ini sama sekali bukan prinsip perilaku yang harus diikuti oleh orang normal; sebaliknya, semua itu adalah berbagai perilaku munafik yang dapat memengaruhi seseorang. Semua itu adalah penyimpangan dari standar hati nurani dan nalar, penyimpangan dari kehendak manusia normal. Iblis menggunakan pernyataan palsu dan penuh kepura-puraan tentang kebajikan untuk menipu orang, untuk membuat mereka menyembah dirinya, dan dengan demikian, orang-orang munafik yang disebut orang bijak itu menyebabkan orang menganggap kemanusiaan normal dan kriteria perilaku manusia sebagai hal-hal yang biasa, sederhana, dan bahkan hina. Orang pun memandang rendah hal-hal itu dan menganggapnya tidak berharga. Ini karena pernyataan-pernyataan tentang kebajikan yang dikemukakan Iblis begitu menyenangkan mata dan begitu selaras dengan gagasan dan imajinasi manusia. Namun, faktanya, adalah bahwa semua pernyataan tentang kebajikan, apa pun itu, bukanlah merupakan prinsip yang harus orang ikuti dalam perilaku mereka atau dalam cara mereka menangani apa pun di dunia ini. Coba renungkan—bukankah benar demikian? Intinya, pernyataan tentang kebajikan hanyalah tuntutan agar orang-orang secara dangkal menjalani kehidupan yang lebih bermartabat dan mulia, memungkinkan mereka untuk membuat orang lain memuja atau memuji mereka, agar orang lain tidak meremehkan mereka. Esensi dari pernyataan ini menunjukkan bahwa semua itu hanyalah tuntutan agar orang memperlihatkan kebajikan melalui perilaku yang baik, sehingga menutupi dan menahan ambisi serta keinginan berlebihan dari manusia yang rusak, menutupi natur dan esensi manusia yang jahat dan mengerikan. Semua itu dimaksudkan untuk meningkatkan kepribadian seseorang melalui perilaku dan tindakan baik yang dangkal, untuk meningkatkan citra mereka di hati orang lain dan memperluas penilaian dunia tentang diri mereka. Poin-poin ini menunjukkan bahwa pernyataan kebajikan adalah tentang menutupi pikiran dan pandangan batin manusia, wajah mereka yang mengerikan, serta natur dan esensi mereka dengan menggunakan perilaku dan tindakan yang dangkal. Akan berhasilkah hal-hal ini ditutupi? Bukankah mencoba menutupinya malah membuat semua itu makin terlihat? Namun, Iblis tidak peduli akan hal itu. Tujuan Iblis adalah untuk menutupi wajah mengerikan dari manusia yang rusak, untuk menutupi yang sebenarnya tentang kerusakan manusia. Jadi, Iblis menyuruh orang-orang mengadopsi perwujudan perilaku kebajikan untuk menyamarkan diri mereka sendiri, yang berarti Iblis menggunakan aturan dan perilaku kebajikan untuk membuat kemasan penampilan manusia yang rapi, meningkatkan kualitas dan kepribadian orang sehingga mereka dapat membuat orang lain menghargai dan memuji mereka. Pada dasarnya, pernyataan tentang kebajikan ini menentukan apakah seseorang itu mulia atau hina berdasarkan perilaku mereka" (Firman, Vol. 6, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Apa Arti Mengejar Kebenaran (10)"). Hanya setelah membaca firman Tuhan aku mengerti selama ini aku memiliki sudut pandang yang keliru, yaitu memperlakukan kebajikan budaya tradisional sebagai standar untuk menentukan baik atau buruknya kemanusiaan seseorang. Aku salah mengira kebajikan sebagai kebenaran, berpikir orang yang bajik memiliki kemanusiaan yang baik. Sebenarnya, kebajikan bukan prinsip hidup yang harus diikuti orang. Itu adalah tindakan kemunafikan, dan esensinya itu adalah metode Iblis untuk menipu dan merusak manusia. Iblis menggunakan budaya tradisional untuk menanamkan standar moral untuk dihidupi manusia, agar manusia menggunakan kedok perbuatan baik untuk menutupi diri dan menyembunyikan kerusakan dalam diri mereka sebagai cara untuk dihargai orang lain, dan sebagai hasilnya, orang-orang menjadi semakin munafik dan curang. Aku sadar bahwa aku pun seperti itu. Aku menganggap kebajikan budaya tradisional sebagai patokan tindakanku. Meski tampaknya aku tak suka merebut, dan bisa akrab dengan orang lain, sebenarnya, aku memaksakan diri untuk berbuat baik agar orang-orang menyebutku baik, dan agar aku dapat menjaga citra diriku di hati mereka. Tapi kubilang aku memikirkan pekerjaan gereja. Aku sangat curang!

Setelah itu, aku membaca firman Tuhan, "Orang yang cerdas dan bijaksana harus segera menganalisis berbagai perilaku dan tuntutan yang muncul dari prinsip-prinsip budaya tradisional yang berupa kebajikan, keadilan, kesopanan, kebijaksanaan, dan ketulusan. Lihat mana di antaranya yang paling kauhargai, yang selalu kaupatuhi, yang selalu menjadi dasar dan pedoman yang kaugunakan untuk memandang orang dan peristiwa, untuk caramu bersikap dan bertindak. Kemudian, engkau harus membandingkan hal-hal yang kaupatuhi itu dengan firman dan tuntutan Tuhan, dan lihatlah apakah hal-hal dari budaya tradisional ini berlawanan dan bertentangan dengan kebenaran yang Tuhan ungkapkan. Jika engkau benar-benar menemukan masalah, engkau harus segera menganalisis di mana tepatnya budaya tradisional itu keliru dan tidak masuk akal. Setelah engkau memahami masalah-masalah ini dengan jelas, engkau akan tahu mana yang adalah kebenaran dan mana yang adalah kekeliruan. Engkau akan memiliki jalan penerapan, dan engkau akan memilih jalan yang harus kautempuh. Carilah kebenaran dengan cara ini, dan engkau akan dapat memperbaiki jalan-jalanmu" (Firman, Vol. 6, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Apa Arti Mengejar Kebenaran (5)"). Dari firman Tuhan, aku paham, jika kau tak ingin menghidupi konsep-konsep tradisional ini, pertama, kau harus memahami dan menganalisis semua itu, mencari tahu letak kesalahannya, kenapa tak masuk akal, bagaimana itu melanggar kebenaran, dan konsekuensi dari menghidupinya. Baru setelah memahaminya dengan baik, kau bisa melepaskannya dan menerima kebenaran. Aku mulai bertanya-tanya: Apakah kegiatan "memberi" dalam kisah Kong Rong yang memberikan pir sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran? Apakah "memberi" itu salah satu persyaratan dari Tuhan untuk kemanusiaan yang normal? Apakah orang yang bersabar dalam segalanya benar-benar orang baik? Kesabaranku yang tak beralasan, telah menyebabkan kekurangan staf serius dalam pekerjaan penyiraman. Untuk menampilkan kemurahan hati dan kesabaran dalam segala hal, aku mengatakan banyak kebohongan munafik. Karena dididik dengan konsep-konsep tradisional itu, alih-alih menjadi orang baik, aku justru menjadi orang munafik dan curang. Saat mendapatkan penghargaan dari orang lain, aku tak bahagia, aku justru menjadi makin depresi dan sengsara. Itu buah pahit mendewakan budaya tradisional untukku. Jika Tuhan tak mengungkapkan esensi budaya tradisional, aku tak akan sadar seumur hidup. Aku tak bisa berhenti berterima kasih kepada Tuhan karena mengungkapkan kebenaran dan menganalisis konsep-konsep tradisional, bisa menyadarkanku.

Setelah itu, aku berpikir, "Karena kebajikan Kong Rong yang membagikan pir hanyalah kedok perbuatan baik, dan tidak berarti dia memiliki kemanusiaan yang baik, lalu apa kemanusiaan yang benar-benar baik?" Dalam firman Tuhan, aku membaca, "Harus ada standar untuk memiliki kemanusiaan yang baik. Ini bukan masalah mengambil jalan yang biasa-biasa saja, bukan masalah berpegang pada prinsip-prinsip, berusaha keras untuk tidak menyinggung siapa pun, menyanjung semua orang ke mana pun engkau pergi, menjadi licin dan licik dengan siapa pun yang kaujumpai, dan membuat semua orang berbicara baik tentangmu. Ini bukanlah standarnya. Jadi, apa standarnya? Standarnya adalah orang memiliki prinsip dan memikul tanggung jawab dalam caranya memperlakukan Tuhan, kebenaran, pelaksanaan tugas dan berbagai jenis orang, peristiwa, dan segala hal. Ini jelas untuk dilihat semua orang; semua orang jelas tentang hal ini di dalam hati mereka. Selain itu, Tuhan menyelidiki hati orang dan mengetahui situasi mereka, masing-masing dan setiap orang; siapa pun mereka, tak seorang pun yang bisa membodohi Tuhan. Sebagian orang selalu membual bahwa mereka memiliki kemanusiaan yang baik, bahwa mereka tidak pernah menjelek-jelekkan orang lain, tidak pernah merugikan kepentingan orang lain, dan mereka mengaku tidak pernah mengingini milik orang lain. Ketika terjadi konflik kepentingan, mereka bahkan lebih memilih menderita kerugian daripada memanfaatkan orang lain, dan semua orang menganggap mereka orang yang baik. Namun, ketika melakukan tugas-tugas mereka di rumah Tuhan, mereka licik dan licin, selalu membuat rencana kotor bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak pernah memikirkan kepentingan rumah Tuhan, mereka tidak pernah menganggap mendesak apa yang Tuhan anggap mendesak atau memikirkan apa yang Tuhan pikirkan, dan mereka tidak pernah bisa menyingkirkan kepentingan diri mereka sendiri untuk melakukan tugas mereka. Mereka tidak pernah meninggalkan kepentingan diri mereka sendiri. Bahkan ketika mereka melihat para pelaku kejahatan melakukan kejahatan, mereka tidak menyingkapkannya; mereka sama sekali tidak memiliki prinsip. Kemanusiaan macam apa ini? Ini bukanlah kemanusiaan yang baik. Jangan peduli pada apa yang dikatakan orang semacam itu; engkau harus melihat kehidupan yang mereka jalani, apa yang mereka singkapkan, dan bagaimana sikap mereka ketika mereka melaksanakan tugas, seperti apa keadaan batin mereka dan apa yang mereka cintai. Jika cintanya akan ketenaran dan kekayaannya sendiri melebihi kesetiaannya kepada Tuhan, jika cintanya akan ketenaran dan kekayaannya sendiri melebihi kepentingan rumah Tuhan, atau jika cintanya akan ketenaran dan kekayaannya sendiri melebihi perhatian yang dia tunjukkan untuk Tuhan, maka apakah orang semacam itu memiliki kemanusiaan? Ini bukanlah seseorang yang memiliki kemanusiaan. Perilakunya dapat dilihat oleh orang lain dan Tuhan. Sangatlah sulit bagi orang semacam itu untuk mendapatkan kebenaran" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Dengan Menyerahkan Hatinya kepada Tuhan, Orang Dapat Memperoleh Kebenaran"). Dari firman Tuhan tersebut, aku paham bahwa seseorang dengan kemanusiaan yang benar-benar baik mencintai kebenaran dan hal-hal positif, bertanggung jawab dalam tugas, berpegang teguh pada prinsip kebenaran, dan menjunjung tinggi pekerjaan gereja. Orang-orang yang pura-pura tak menyinggung orang lain, sabar berlebihan dan tanpa prinsip, serta memilih menanggung kerugian sendiri daripada memanfaatkan orang lain, meski dari luar tampak berkarakter baik, dalam tugas mereka selalu ingin melindungi kepentingan pribadi, tak pernah menerapkan kebenaran, dan tak pernah memikirkan pekerjaan gereja. Orang-orang seperti itu tak memiliki kemanusiaan yang baik. Aku tak ingin menghidupi budaya tradisional dan menjadi orang baik yang palsu lagi. Aku ingin hidup seperti manusia yang mengikuti persyaratan Tuhan.

Saat membaca firman Tuhan, aku menemukan jalan penerapan. "Engkau harus mencari kebenaran untuk menyelesaikan setiap masalah yang timbul, apa pun masalahnya, dan sama sekali tidak menyamarkan dirimu atau mengenakan kedok di hadapan orang lain. Kekuranganmu, kelemahanmu, kesalahanmu, watakmu yang rusak—terbukalah sepenuhnya mengenai semua itu, dan bersekutulah tentang semuanya itu. Jangan menyembunyikannya di dalam hati. Belajar untuk membuka dirimu sendiri adalah langkah awal untuk masuk ke dalam hidup, dan inilah rintangan pertama, yang paling sulit untuk diatasi. Begitu engkau berhasil mengatasinya, masuk ke dalam kebenaran menjadi mudah. Apa yang ditunjukkan dari mengambil langkah ini? Ini menunjukkan bahwa engkau sedang membuka hatimu dan menunjukkan semua yang kaumiliki, baik atau buruk, positif atau negatif; menelanjangi dirimu agar dilihat oleh orang lain dan oleh Tuhan; tidak menyembunyikan apa pun dari Tuhan, tidak menutupi apa pun, tidak menyamarkan apa pun, bebas dari kecurangan dan tipu muslihat, dan juga bersikap terbuka serta jujur dengan orang lain. Dengan cara ini, engkau hidup dalam terang, dan bukan saja Tuhan akan memeriksamu, tetapi orang lain juga akan bisa melihat bahwa engkau bertindak dengan prinisp dan dengan suatu tingkat keterbukaan. Engkau tak perlu menggunakan cara apa pun untuk melindungi reputasi, citra, dan statusmu, engkau juga tak perlu menutupi atau menyamarkan kesalahanmu. Engkau tak perlu terlibat dalam upaya yang sia-sia ini. Jika engkau dapat melepaskan hal-hal ini, engkau akan sangat tenang, engkau akan hidup tanpa belenggu atau rasa sakit, dan akan sepenuhnya hidup dalam terang" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya Mereka yang Benar-Benar Tunduk kepada Tuhan Memiliki Hati yang Takut akan Dia"). Dari firman Tuhan itu, aku paham bahwa aku tak seharusnya menutupi diri untuk menampilkan citra diri palsu. Justru, aku harus menjadi orang yang jujur, sederhana, dan terbuka, dan aku harus membuka diri dan mengomunikasikan masalah yang kuhadapi, agar saudara-saudari dapat membantuku dengan lebih baik. Saat aku tak mengatakannya, sabar berlebihan dan menutupi diri, semua orang yakin tak ada kekurangan staf penyiraman dan mengira pekerjaan berjalan dengan baik, tapi faktanya, aku menderita, dan pekerjaan gereja dirugikan. Maka, aku secara sadar menerapkan firman Tuhan dan berkomunikasi dengan baik dengan saudara-saudari. Setelah itu, mereka sediakan beberapa personel untuk pekerjaan penyiraman. Hal ini membuatku sadar betapa mudah dan menyenangkan menerapkan sesuai firman Tuhan. Dengan menghidupi budaya tradisional, kita jadi makin rusak, makin palsu dan curang, dan makin sengsara. Hanya menerapkan kebenaran membuat kita bisa hidup serupa manusia, menjadi orang yang benar-benar baik, dan mengalami kedamaian dan sukacita sejati! Syukur kepada Tuhan!

Catatan kaki:

a. Kong Rong ditampilkan dalam cerita Tiongkok yang terkenal, yang secara tradisional digunakan untuk mendidik anak-anak tentang nilai-nilai kesopanan dan kasih persaudaraan. Kisahnya menceritakan bagaimana, ketika keluarganya menerima sekeranjang pir, Kong Rong yang berusia empat tahun menyerahkan pir yang lebih besar kepada kakak laki-lakinya dan mengambil yang terkecil untuk dirinya sendiri.

Sebelumnya: Di Persimpangan Jalan

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait