Hanya Orang Jujur yang Mampu Hidup dalam Keserupaan dengan Manusia Sejati (Bagian Tiga)
Untuk percaya kepada Tuhan dan menempuh jalan hidup yang benar, setidak-tidaknya engkau harus hidup dengan martabat dan keserupaan dengan manusia, serta layak dipercaya oleh sesama manusia dan dianggap berharga. Selain itu, orang harus merasa bahwa karakter dan integritasmu memiliki substansi, bahwa engkau melaksanakan segala hal yang kaukatakan, dan memegang perkataanmu. Orang harus menilaimu seperti ini: Mereka harus berkata bahwa engkau pasti memegang perkataanmu, bahwa engkau pasti menepati janjimu, bahwa engkau pasti melakukan hal-hal yang dipercayakan kepadamu dengan taat dan sepenuh hati sehingga orang yang memercayakan tugas itu kepadamu sepenuhnya merasa puas. Bukankah itu adalah ciri orang yang memegang perkataannya? Tidakkah orang seperti itu hidup secara bermartabat? (Ya.) Ada orang-orang yang tidak pernah dipercaya oleh orang lain untuk melakukan apa pun. Bahkan ketika orang lain memercayakan berbagai hal kepada mereka, itu karena tidak ada orang lain yang lebih cocok, dan merekalah satu-satunya pilihan yang ada, dan harus ada orang lain lagi yang ditempatkan untuk mengawasi mereka. Orang macam apakah itu? Apakah orang semacam itu bermartabat? (Tidak.) Engkau harus menelaah dan memeriksa apa pun yang mereka katakan, mempertimbangkannya berkali-kali, memperhatikan nada bicara mereka, serta meminta penegasan dan kepastian dari orang-orang di sekitarmu. Ketika mereka membuat pernyataan atau berbicara tentang sesuatu, tingkat kredibilitas mereka mendekati nol. Hal-hal yang mereka bicarakan mungkin memang ada, tetapi mereka akan melebih-lebihkan atau mengurang-nguranginya, atau mungkin hal itu sama sekali tidak ada dan mereka hanya mengarangnya. Dan mengapa mereka mengarang berbagai hal? Karena mereka ingin menipu orang serta membuat diri mereka terlihat cerdas dan cakap di mata orang. Itulah tujuan mereka. Apakah orang lain menyukai orang-orang semacam itu? (Tidak.) Seberapa besar ketidaksukaan mereka? Orang membenci dan meremehkan orang-orang semacam itu, dan bahkan mungkin merasa bahwa akan lebih baik seandainya mereka tidak pernah bertemu dengan orang-orang itu. Ketika bersama dengan orang-orang itu, orang tidak memercayai apa pun yang mereka katakan atau menganggapnya serius. Mereka hanya berbasa-basi sebentar dan mengisi perjumpaan itu dengan berbicara santai tentang topik-topik sepele. Bahkan ketika orang-orang itu mengatakan yang sebenarnya, orang lain tidak memercayai mereka. Orang-orang semacam itu benar-benar tidak berharga dan rendah. Tidak ada orang yang menganggap mereka bernilai. Ketika perilaku orang telah mencapai titik serendah itu, apakah mereka masih bermartabat? (Tidak.) Tidak ada yang memercayakan apa pun kepada mereka; tidak ada yang percaya kepada mereka; tidak ada yang mencurahkan isi hatinya kepada mereka; tidak ada yang memercayai perkataan mereka; yang lain hanya mau mendengar, tetapi tidak lebih. Ketika orang-orang itu berkata, "Kali ini aku mengatakan yang sebenarnya," tidak ada yang memercayai atau memperhatikan mereka, sekalipun perkataan mereka itu benar. Ketika mereka berkata, "Bukankah tidak semua hal yang kukatakan itu salah?" orang menyahut, "Aku tidak mau repot-repot memeriksa apakah perkataanmu itu benar atau salah. Lelah sekali rasanya mendengarkan perkataanmu. Aku harus menelaah dan memeriksa motif serta maksudmu, dan itu sangat merepotkan. Waktu yang kuhabiskan untuk itu dapat digunakan untuk merenungkan cuplikan firman Tuhan atau untuk belajar menyanyikan lagu pujian, dan aku akan memperoleh manfaat yang nyata dari hal-hal itu. Tidak ada yang dapat kuperoleh dari berbicara denganmu. Tidak ada satu pun perkataanmu yang benar, dan aku tidak mau berurusan denganmu." Demikianlah mereka meninggalkan orang-orang semacam itu. Di zaman sekarang ini, engkau akan sering mendengar orang tidak percaya berkata, "Apakah engkau mau mendengar yang sebenarnya atau kebohongan?" Tidak ada yang mau mendengar kebohongan. Jadi, mereka yang selalu berkata bohong dan berbelit-belit adalah orang-orang yang derajatnya paling rendah; mereka ini tidak berharga. Tidak ada yang mau memperhatikan mereka; tidak ada yang mau bergaul dengan mereka, apalagi mencurahkan isi hatinya kepada mereka atau berteman dengan mereka. Apakah orang semacam itu memiliki karakter ataupun martabat? (Tidak.) Semua orang yang berjumpa dengan orang-orang semacam itu akan membenci mereka. Mereka benar-benar tidak tepercaya dalam perkataan, tindakan, karakter, dan integritas mereka. Orang-orang seperti itu tidak memiliki substansi sama sekali. Apakah orang akan menyukai dan menghormati mereka jika mereka berbakat dan berkarunia? (Tidak.) Jadi, apa yang orang butuhkan agar dapat hidup rukun dengan satu sama lain? Mereka membutuhkan karakter, integritas, dan martabat, serta harus menjadi orang yang dapat dijadikan tempat bagi orang lain untuk mencurahkan isi hatinya. Semua orang yang bermartabat memiliki sedikit kepribadian. Terkadang mereka tidak akur dengan orang lain, tetapi mereka jujur dan tidak ada kebohongan atau tipu daya pada diri mereka. Akhirnya, orang lain akan sangat menghormati mereka karena mereka mampu menerapkan kebenaran, bersikap jujur, memiliki martabat, integritas, dan karakter, tidak pernah memanfaatkan orang lain, menolong orang yang sedang mengalami kesulitan, memperlakukan orang dengan hati nurani dan nalar, serta tidak pernah menghakimi orang secara sembrono. Ketika menilai atau membahas orang lain, semua perkataan mereka akurat. Mereka mengatakan hal yang mereka ketahui dan tidak berceloteh tentang hal yang mereka tidak ketahui. Mereka tidak "membumbui" ujarannya, dan perkataan mereka dapat dijadikan bukti atau sumber informasi. Ketika berbicara dan bertindak, orang-orang yang berintegritas cukup praktis dan tepercaya. Tidak ada yang menganggap bahwa orang-orang yang tidak berintegritas itu bernilai; tidak ada yang memperhatikan perkataan dan perbuatan mereka atau menganggapnya penting; tidak ada yang memercayai mereka. Itu karena mereka terlalu banyak berbohong dan terlalu sedikit berkata jujur. Itu karena mereka tidak tulus ketika berinteraksi dengan orang lain atau melakukan apa pun untuk orang lain. Mereka mencoba untuk menipu dan membodohi semua orang, dan tidak ada yang menyukai mereka. Pernahkah engkau semua menemukan seseorang yang, menurutmu, tepercaya? Apakah, menurutmu, engkau semua layak dipercaya oleh orang lain? Dapatkah orang lain memercayaimu? Jika seseorang bertanya kepadamu tentang keadaan orang lain, engkau tidak boleh menilai dan menghakimi orang itu berdasarkan kehendakmu sendiri. Perkataanmu haruslah objektif, akurat, dan sesuai dengan fakta. Engkau harus berbicara tentang hal-hal yang engkau mengerti, dan janganlah berbicara tentang hal-hal yang kurang kaupahami. Engkau harus bersikap adil dan berimbang terhadap orang itu. Itu adalah cara yang bertanggung jawab dalam bertindak. Jika engkau baru mengamati permukaan dari suatu fenomena, dan yang hendak kaukatakan hanyalah pendapat pribadimu tentang orang itu, engkau tidak boleh asal menilai orang itu, dan engkau jelas tidak boleh menghakiminya. Engkau harus mengawali perkataanmu dengan keterangan seperti, "Ini hanyalah pendapat pribadiku," atau "Ini hanyalah perasaanku." Dengan cara itu, perkataanmu akan menjadi cukup objektif, dan setelah mendengar keteranganmu tadi, lawan bicaramu akan dapat merasakan kejujuran dalam kata-katamu serta sikapmu yang adil, dan mereka akan dapat memercayaimu. Apakah engkau semua yakin dapat melakukannya? (Tidak.) Itu membuktikan bahwa engkau semua tidak cukup jujur kepada satu sama lain serta kurang memiliki ketulusan dan sikap jujur dalam caramu berperilaku serta menangani berbagai urusan. Misalnya, seseorang berkata kepadamu, "Aku memercayaimu. Apa pendapatmu tentang orang itu?" Dan engkau menjawab, "Dia baik." Orang itu bertanya lagi, "Dapatkah engkau jelaskan dengan lebih terperinci?" Dan engkau berkata, "Perilakunya bagus. Dia rela membayar harga ketika melaksanakan tugasnya, dan dia mudah bergaul." Apakah ada bukti nyata dari tiga pernyataan tersebut? Apakah ketiganya cukup untuk membuktikan karakter seseorang? Tidak. Apakah engkau tepercaya? (Tidak.) Tidak ada di antara tiga pernyataan tadi yang menjelaskan secara terperinci. Ketiganya hanyalah pernyataan yang bersifat umum, kosong, dan serampangan. Jika engkau baru saja berjumpa dengan orang itu dan berkata bahwa dia adalah orang baik hanya dari penampilannya, itu wajar. Namun, seandainya engkau telah berhubungan dengannya selama beberapa waktu, engkau seharusnya telah mampu menemukan sejumlah masalah penting dalam dirinya. Orang ingin mendengar perkiraan dan pandanganmu tentang orang itu yang berasal dari lubuk hatimu, tetapi engkau malah mengatakan hal-hal yang tidak nyata, tidak kritis, dan tidak penting, sehingga orang tidak akan memercayaimu dan tidak akan mau lagi berinteraksi denganmu.
Ketika berinteraksi dengan saudara-saudari, engkau harus membuka hatimu kepada mereka dan mencurahkan isi hatimu kepada mereka agar dapat merasakan manfaatnya. Ketika melaksanakan tugasmu, membuka hati dan mencurahkan isi hati kepada orang lain menjadi lebih penting lagi karena hanya dengan begitulah engkau dapat bekerja dengan baik bersama-sama. Namun, jika seseorang tidak membuka hatinya kepadamu, jika dia bukanlah orang yang menerima kebenaran, dan jika dia justru adalah orang yang sangat licik, engkau tidak bijaksana jika membuka hatimu kepadanya karena itu mudah menimbulkan masalah bagi dirimu sendiri. Harus ada prinsip-prinsip yang mengatur caramu berinteraksi dengan saudara-saudarimu. Engkau cukup membuka diri dan mencurahkan isi hatimu kepada mereka yang benar-benar percaya kepada Tuhan dan mampu menerima kebenaran. Jika engkau membuka hatimu kepada orang jahat dan orang tidak percaya, berarti engkaulah yang bodoh, polos, dan kurang bijaksana. Engkau harus hanya membuka hatimu kepada saudara-saudari yang benar-benar percaya kepada Tuhan dan mampu menerima kebenaran. Orang-orang licik, orang-orang yang bingung, orang-orang jahat, dan para pengikut yang bukan orang percaya—mereka yang sama sekali tidak menerima kebenaran—bukanlah saudara-saudarimu. Apa pun yang terjadi kepadamu, janganlah membuka hatimu kepada mereka karena itu sama saja dengan membuka hatimu kepada setan, yang akhirnya mungkin akan menjerumuskanmu ke dalam rencana jahat dan jebakan mereka. Ada pemimpin dan pekerja palsu di antara para pemimpin dan pekerja, dan di antara orang percaya, ada pula orang percaya yang palsu dan para pengikut yang bukan orang percaya. Tidak satu pun di antara mereka adalah saudara-saudarimu, jadi apa pun yang terjadi kepadamu, janganlah memperlakukan mereka seperti saudara-saudarimu. Saudara-saudarimu hanyalah mereka yang baik hati dan mencintai kebenaran serta dapat menerima kebenaran dan menerapkannya. Jadi, ketika engkau berinteraksi dengan saudara-saudarimu yang "sesungguhnya", engkau harus membuka hatimu dan sepenuhnya terbuka kepada mereka. Hanya dengan begitulah engkau akan dapat mengasihi satu sama lain dan bekerja sama secara harmonis sambil melaksanakan tugas-tugasmu dengan baik. Terkadang, ketika dua orang berinteraksi, kepribadian mereka bertentangan, atau lingkungan keluarga, latar belakang, atau keadaan ekonomi mereka tidak sejalan. Namun, jika keduanya dapat membuka hati kepada satu sama lain, sepenuhnya terbuka tentang permasalahan mereka, berkomunikasi tanpa kebohongan atau kelicikan, serta mampu menunjukkan isi hati mereka kepada satu sama lain, dengan cara itu, mereka akan mampu menjadi teman sejati atau sahabat karib. Mungkin, ketika temanmu itu mengalami kesulitan, dia akan mencarimu dan bukan orang lain, dan dia hanya akan memercayaimu sebagai orang yang dapat membantunya. Sekalipun engkau memberinya teguran, dia tidak akan membantah karena dia tahu bahwa engkau adalah orang jujur yang tulus hati. Dia memercayaimu, jadi apa pun yang kaukatakan atau seperti apa pun perlakuanmu kepadanya, dia akan mampu memakluminya. Dapatkah engkau semua menjadi orang-orang seperti itu? Apakah engkau semua adalah orang-orang seperti itu? Jika tidak, berarti engkau bukanlah orang jujur. Ketika berinteraksi dengan orang lain, engkau harus membuat mereka merasakan hatimu yang jujur dan tulus terlebih dahulu. Ketika seseorang berbicara, bekerja sama, dan berhubungan dengan orang lain, jika dia berbicara dengan asal-asalan, muluk-muluk, penuh basa-basi, menjilat, tidak bertanggung jawab, dan mengada-ada, atau jika dia berbicara hanya untuk mendapat keuntungan dari orang lain, berarti kata-katanya tidak dapat dipercaya, dan dia sama sekali tidak tulus. Itulah caranya berinteraksi dengan orang lain, siapa pun "orang lain" itu. Orang semacam itu tidak berhati jujur. Dia bukanlah orang jujur. Katakanlah seseorang sedang berada dalam keadaan negatif, dan dia dengan tulus berkata kepadamu, "Katakan kepadaku, sebenarnya mengapa aku begitu negatif. Aku benar-benar tidak memahaminya!" Lalu, katakanlah engkau benar-benar memahami masalah itu di dalam hatimu, tetapi engkau tidak memberitahukan itu kepadanya, dan malah berkata, "Tidak, kau tidak negatif. Aku juga seperti itu." Perkataan itu mungkin sangat menghibur orang tersebut, tetapi sikapmu tidak tulus. Engkau bersikap asal-asalan terhadap dia. Supaya dia merasa lebih nyaman dan terhibur, engkau menahan diri agar tidak berkata jujur kepadanya. Engkau tidak menolong dia dengan sepenuh hati dan tidak menyampaikan masalahnya secara apa adanya agar dia dapat meninggalkan keadaan negatif itu. Engkau tidak melakukan apa yang semestinya dilakukan oleh orang jujur. Semuanya kaulakukan demi menghibur dia dan memastikan agar jangan sampai ada rasa tidak enak atau konflik di antara kalian. Engkau telah bersikap asal-asalan terhadapnya, dan itu tidak menunjukkan sikap seseorang yang jujur. Jadi, untuk menjadi orang jujur, apa yang harus kaulakukan ketika menghadapi keadaan semacam itu? Engkau perlu memberitahukan kepadanya hal-hal yang telah kaulihat dan temukan: "Aku akan memberitahumu hal-hal yang telah kulihat dan kualami. Kau putuskanlah sendiri apakah perkataanku ini benar atau salah. Jika salah, kau tidak perlu menerimanya. Jika benar, kuharap kau menerimanya. Jika aku mengatakan sesuatu yang sukar untuk kaudengar dan menyakitimu, kuharap kau dapat menerimanya dari Tuhan. Maksud dan tujuanku adalah untuk membantumu. Aku melihat masalahnya dengan jelas: Karena kau merasa telah dipermalukan serta tidak ada yang melayani egomu, dan kau berpikir bahwa semua orang meremehkanmu, bahwa kau sedang diserang, dan bahwa kau tidak pernah diperlakukan seburuk itu, kau tidak dapat menerimanya dan menjadi negatif. Bagaimana menurutmu? Betulkah itu yang terjadi?" Dan, ketika mendengar itu, orang tersebut merasa bahwa memang demikianlah adanya. Itulah isi hatimu yang sebenarnya, tetapi jika engkau bukan orang jujur, engkau tidak akan mengatakannya. Engkau akan berkata, "Aku sering bersikap negatif juga." Ketika lawan bicaramu itu mendengar bahwa semua orang bersikap negatif, dia berpikir bahwa bersikap negatif adalah hal yang normal, dan akhirnya dia tidak meninggalkan sikapnya yang negatif. Jika engkau adalah orang jujur, dan engkau menolongnya dengan sikap serta hati yang jujur, engkau dapat membantunya memahami kebenaran dan meninggalkan sikapnya yang negatif.
Berlatih bersikap jujur mencakup banyak aspek. Dengan kata lain, standar bersikap jujur tidak hanya dicapai melalui satu aspek; engkau harus memenuhi standar dalam banyak aspek sebelum bisa bersikap jujur. Ada orang-orang yang selalu berpikir bahwa mereka hanya perlu berusaha tidak berbohong agar dapat bersikap jujur. Benarkah pandangan ini? Apakah bersikap jujur semata-mata berarti tidak berbohong? Tidak—ini juga berkaitan dengan beberapa aspek lainnya. Pertama, apa pun yang kauhadapi, entah itu sesuatu yang telah kaulihat dengan mata kepalamu sendiri atau sesuatu yang telah orang lain katakan kepadamu, baik berinteraksi dengan orang lain maupun menyelesaikan masalah, baik tugas yang harus kaulaksanakan maupun sesuatu yang telah Tuhan percayakan kepadamu, engkau harus selalu melakukan pendekatan terhadap hal tersebut dengan hati yang jujur. Bagaimana seharusnya orang berlatih untuk melakukan pendekatan terhadap segala sesuatu dengan hati yang jujur? Katakanlah apa yang kaupikirkan dan bicaralah dengan jujur; jangan berbicara omong kosong, membual, atau mengucapkan kata-kata yang terdengar menyenangkan, jangan mengatakan hal-hal yang menyanjung atau munafik, tetapi ucapkanlah kata-kata yang ada di dalam hatimu. Inilah arti menjadi orang yang jujur. Mengungkapkan pemikiran dan pandangan sebenarnya yang ada di dalam hatimu—inilah yang seharusnya dilakukan oleh orang yang jujur. Jika engkau tidak pernah mengatakan apa yang kaupikirkan, dan kata-kata itu membusukkan hatimu, dan apa yang kaukatakan selalu bertentangan dengan apa yang kaupikirkan, itu bukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang jujur. Sebagai contoh, katakanlah engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan baik, dan ketika orang-orang menanyakan apa yang terjadi, engkau berkata, "Aku ingin melakukan tugasku dengan baik, tetapi karena berbagai alasan, aku tidak melakukannya." Sebenarnya, engkau tahu di dalam hatimu bahwa engkau tidak rajin, tetapi engkau tidak mengatakan yang sebenarnya. Engkau justru mencari segala macam alasan, pembenaran, dan dalih untuk menutupi fakta dan menghindari tanggung jawab. Itukah yang dilakukan orang jujur? (Tidak.) Dengan mengatakan hal-hal ini, engkau mengelabui orang dan menimbulkan kekacauan. Namun, pada dasarnya apa yang ada dalam dirimu, maksud yang ada dalam dirimu, adalah watak yang rusak. Jika engkau tak mampu mengungkapkan berbagai hal dan maksud yang ada dalam dirimu secara terbuka dan menganalisisnya, itu tidak dapat disucikan, dan itu bukan masalah kecil! Engkau harus berbicara dengan jujur: "Aku telah sedikit menunda-nunda dalam melakukan tugasku. Aku telah bersikap asal-asalan dan lalai. Ketika aku dalam suasana hati yang baik, aku dapat sedikit berusaha. Ketika aku dalam suasana hati yang buruk, aku mengendur dan tidak ingin berusaha, dan menginginkan kesenangan daging. Jadi, upayaku untuk melakukan tugasku tidak efektif. Situasi telah berbalik beberapa hari terakhir ini, dan aku berupaya mengerahkan segenap hatiku, meningkatkan efisiensiku, dan melaksanakan tugasku dengan baik." Seperti inilah berbicara dengan segenap hati. Cara lainnya bukanlah berbicara dengan segenap hati. Karena takut dipangkas, takut orang mengetahui masalahmu, dan takut orang meminta pertanggungjawabanmu, engkau mencari segala macam alasan, pembenaran, dan dalih untuk menutupi fakta, yaitu pertama-tama engkau membuat orang lain berhenti membicarakan situasi tersebut, kemudian mengalihkan tanggung jawab, untuk menghindari dirimu dipangkas. Inilah sumber kebohonganmu. Sebanyak apa pun pembohong berbicara, sebagian perkataan mereka tentu saja benar dan sesuai fakta. Namun, beberapa hal penting yang mereka katakan akan mengandung sedikit kepalsuan dan sedikit motif mereka. Jadi, sangat penting untuk memahami dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Walaupun demikian, ini tidak mudah dilakukan. Sebagian perkataan mereka akan dinodai dan dibumbui, sebagiannya lagi akan sesuai dengan fakta, dan sebagiannya lagi akan bertentangan dengan fakta; dengan bercampurnya fakta dan fiksi, akan sulit membedakan yang benar dari yang salah. Inilah tipe orang yang paling curang, dan paling sulit diidentifikasi. Jika mereka tak mampu menerima kebenaran atau melakukan penerapan dengan jujur, mereka pasti akan disingkirkan. Lantas, jalan mana yang harus orang pilih? Jalan mana merupakan jalan menerapkan kejujuran? Engkau semua harus belajar untuk mengatakan yang sebenarnya dan mampu bersekutu secara terbuka tentang keadaan dan masalahmu yang sebenarnya. Begitulah cara orang jujur melakukan penerapan, dan penerapan seperti itu benar adanya. Orang yang memiliki hati nurani dan nalar bersedia berjuang untuk menjadi jujur. Hanya orang jujurlah yang merasa benar-benar gembira dan damai, dan orang baru bisa menikmati kebahagiaan yang nyata dengan menerapkan kebenaran agar dapat tunduk kepada Tuhan.
Ada banyak masalah nyata yang muncul saat orang bersikap jujur. Terkadang mereka berbicara tanpa dipikir, mereka bersikap ceroboh lalu berbohong karena mereka dikuasai oleh motif atau tujuan yang salah, atau oleh kesombongan dan harga diri, dan akibatnya mereka harus terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Pada akhirnya, hati mereka merasa tidak tenang, tetapi mereka tidak dapat menarik kembali kebohongan itu. Mereka tidak memiliki keberanian untuk memperbaiki kesalahan mereka, untuk mengakui bahwa mereka telah berbohong, dan dengan demikian kesalahan mereka terus berlanjut. Setelah itu, mereka selalu merasa seolah ada batu yang membebani hati mereka, mereka selalu ingin mencari kesempatan untuk berterus terang, mengakui kesalahan mereka dan bertobat, tetapi mereka tidak pernah melakukannya. Pada akhirnya, mereka merenungkannya kembali dan berkata dalam hatinya, "Aku akan menebusnya saat melaksanakan tugasku di kemudian hari." Mereka selalu berkata akan menebusnya, tetapi mereka tidak pernah menebusnya. Hal ini tidak sesederhana hanya meminta maaf setelah berbohong—dapatkah engkau menebus kerugian dan akibat dari berbohong dan melakukan penipuan? Jika di tengah kebencian yang besar terhadap diri sendiri engkau mampu bertobat dan tidak pernah lagi melakukan hal semacam itu, maka engkau mungkin menerima toleransi dan belas kasihan Tuhan. Jika engkau mengucapkan kata-kata yang manis dan berkata bahwa engkau akan menebus kebohonganmu di kemudian hari, tetapi tidak benar-benar bertobat, dan kemudian terus berbohong dan menipu, itu berarti engkau sangat keras kepala dalam penolakanmu untuk bertobat, dan engkau pasti akan disingkirkan. Hal ini seharusnya disadari oleh orang yang memiliki hati nurani dan nalar. Setelah berbohong dan melakukan penipuan, tidak cukup sekadar berpikir untuk menebus kesalahan, yang terpenting adalah engkau harus benar-benar bertobat. Jika engkau ingin bersikap jujur, engkau harus membereskan masalah kebohongan dan penipuan. Engkau harus mengatakan yang sebenarnya dan melakukan hal-hal nyata. Terkadang, mengatakan yang sebenarnya akan membuatmu kehilangan muka dan dipangkas, tetapi engkau sudah menerapkan kebenaran, dan tunduk kepada Tuhan serta memuaskan-Nya dalam satu hal itu akan sepadan, dan itu akan membawa kelegaan bagimu. Bagaimanapun juga, engkau akhirnya akan mampu berlatih untuk bersikap jujur, engkau akhirnya akan bisa mengatakan apa yang ada di hatimu tanpa berusaha membela atau membenarkan dirimu, dan ini adalah pertumbuhan yang sebenarnya. Entah engkau dipangkas atau digantikan, hatimu akan merasa teguh karena engkau tidak berbohong. Engkau akan merasa bahwa karena engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan benar, maka sudah sepantasnya engkau dipangkas, dan engkau harus bertanggung jawab atas hal tersebut. Ini adalah kondisi mental yang positif. Namun, apa konsekuensinya jika engkau melakukan penipuan? Setelah engkau melakukan penipuan, apa yang kaurasakan di dalam hatimu? Gelisah; engkau akan selalu merasa bersalah dan ada kerusakan di hatimu. Engkau akan selalu merasa dituduh, "Mengapa aku bisa berbohong? Mengapa aku bisa kembali melakukan penipuan? Mengapa aku bersikap seperti ini?" Engkau akan merasa tidak percaya diri, rasanya engkau terlalu malu untuk menghadap Tuhan. Khususnya ketika orang diberkati oleh Tuhan, ketika mereka menerima anugerah, belas kasihan, dan toleransi Tuhan, mereka makin merasa bahwa menipu Tuhan adalah hal yang memalukan. Selain itu di dalam hatinya, mereka makin merasa bersalah dan makin sedikit merasakan damai dan sukacita. Masalah apa yang ditunjukkan hal ini? Bahwa menipu orang artinya memperlihatkan watak yang rusak, yaitu memberontak dan menentang Tuhan, dan itu akan membuatmu menderita. Ketika berbohong dan mengelabui orang, engkau mungkin merasa telah berbicara dengan sangat cerdik dan hati-hati, serta tidak menunjukkan sedikit pun jejak tipu dayamu. Namun, kemudian, engkau akan merasakan adanya teguran dan tuduhan yang mungkin mengikutimu seumur hidup. Jika engkau berbohong dan mengelabui orang secara sadar dan sengaja, lalu suatu saat engkau menyadari bahwa hal itu sangat serius, hal itu akan menusuk hatimu seperti pisau, dan engkau akan selalu mencari kesempatan untuk menebus kesalahan tersebut. Dan itulah yang semestinya kaulakukan, kecuali jika engkau tidak berhati nurani, tidak pernah hidup seturut hati nuranimu, dan tidak memiliki kemanusiaan, karakter, ataupun martabat. Jika engkau memiliki sedikit karakter, martabat, serta sedikit kesadaran akan hati nurani, ketika menyadari bahwa engkau berbohong dan mengelabui orang, engkau akan merasa bahwa perilakumu itu memalukan, nista, dan rendah. Engkau akan mencela dan membenci dirimu sendiri serta meninggalkan jalan kebohongan dan tipu daya. Golongan Iblis tidak memiliki hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal. Mereka tetap tidak sadar dan tidak terganggu dengan semua kebohongan yang mereka katakan, dan mereka bahkan memiliki landasan teoretis bagi kebohongan mereka, yaitu bahwa tidak ada hal besar yang dapat dicapai tanpa berbohong. Jadi, mereka bersikeras tak mau bertobat. Orang-orang yang berhati nurani dan bernalar itu berbeda. Orang-orang itu hanya baru mengalami perusakan Iblis, dan meskipun mereka memperlihatkan watak-watak rusak, mereka bukanlah orang-orang jahat. Mereka memiliki kesadaran akan hati nurani, memiliki kebutuhan akan kemanusiaan yang normal, serta naluri dan kebutuhan akan rasa cinta kepada hal-hal yang baik, adil, dan positif. Jadi, ketika merasa dituduh oleh hati nurani mereka, mereka mampu merenungkan diri mereka sendiri dan benar-benar bertobat. Iblis adalah makhluk yang teramat jahat. Ia tidak menyukai hal-hal positif, ia tidak menyukai hal-hal baik, dan dalam naturnya hanya ada hal-hal yang gelap serta jahat, dan tidak ada apa-apa kecuali hal-hal yang rusak dan berbahaya. Ia tidak mempunyai kemanusiaan, tidak memiliki kebutuhan akan kemanusiaan yang normal, dan tidak memiliki kesadaran akan hati nurani. Namun, manusia berbeda. Manusia diciptakan oleh Tuhan sehingga memiliki hati nurani dan nalar. Orang berhati nurani memiliki kesadaran dalam hatinya dan dapat merasakan tuduhan serta teguran dari hati nurani mereka ketika mencoba mengelabui Tuhan atau orang lain, dan tuduhan serta teguran itu menyiksa mereka. Ketika seseorang merasakan siksaan itu, dan ketika mereka merasakan tuduhan dan teguran itu, hati nurani mereka mulai memiliki kesadaran: Mereka menyadari bahwa orang seharusnya jujur dan menempuh jalan mengejar kebenaran. Ketika mereka merasakan kebutuhan tersebut, itu bagus. Saat ini, apakah engkau semua merasakan semacam teguran ketika berbohong dan mengelabui orang? (Ya.) Fakta bahwa engkau merasakan teguran itu membuktikan bahwa engkau semua memiliki cukup kesadaran akan hati nurani, dan engkau masih memiliki harapan. Itu adalah tingkat kesadaran dan perilaku minimum yang harus kaumiliki untuk memperoleh keselamatan. Jika hati nuranimu tidak merasakan teguran apa pun, itu adalah masalah. Itu berarti bahwa engkau tidak memiliki kemanusiaan. Saat ini, apakah engkau semua tahu bahwa engkau harus bertobat setelah berbohong dan mengelabui orang lain? Jika engkau bersikeras tidak mau bertobat, seperti apakah akibatnya nanti? Engkau tidak akan dapat diselamatkan. Engkau semua sekarang dapat melihat bahwa Tuhan akan menyelamatkan mereka yang memiliki hati nurani, nalar, kebutuhan akan kemanusiaan yang normal, kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, rasa cinta akan hal-hal yang positif dan baik, rasa benci akan kejahatan, serta kemampuan untuk menerima kebenaran. Orang-orang seperti itu dapat diselamatkan.
30 November 2017
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.