Apa Sebenarnya yang Orang Andalkan untuk Hidup?

Aspek kebenaran manakah yang paling ingin engkau semua dengar hari ini? Aku akan memberimu beberapa topik untuk dipilih, dan kita dapat mempersekutukan topik apa pun yang engkau semua inginkan. Inilah pertanyaan pertama: Bagaimana cara untuk mengenal dirimu sendiri? Apa cara untuk mengenal dirimu sendiri? Mengapa engkau harus mengenal dirimu sendiri? Pertanyaan kedua adalah: berdasarkan apakah orang-orang hidup selama bertahun-tahun percaya kepada Tuhan? Apakah engkau telah hidup berdasarkan firman Tuhan dan kebenaran, atau apakah engkau telah hidup berdasarkan watak dan falsafah Iblis? Perilaku apa yang menunjukkan bahwa engkau hidup berdasarkan firman Tuhan dan kebenaran? Jika engkau hidup berdasarkan watak dan falsafah Iblis, bagaimana kerusakanmu akan terwujud dan menyingkapkan dirinya sendiri? Pertanyaan ketiga adalah: Apa yang dimaksud dengan watak yang rusak? Sebelumnya kita telah membahas enam aspek dari watak yang rusak, jadi Aku akan membahas tentang keadaan mana yang merupakan perwujudan spesifik dari watak yang rusak ini. Sekarang ini tergantung pada engkau semua. Pertanyaan manakah yang paling engkau semua tidak mengerti, tetapi paling ingin kaupahami, dan yang kauanggap paling sulit untuk dipahami? (Kami memilih pertanyaan kedua.) Kalau begitu, kita akan bersekutu tentang topik ini. Renungkanlah sejenak. Berdasarkan apakah orang-orang hidup selama bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, dan hal-hal apa sajakah yang termasuk dalam topik ini? Inti kalimat ini adalah kata "apakah". Apa yang termasuk dalam lingkup kata "apakah" ini? Apa yang dapat engkau semua pahami darinya? Hal-hal yang menurut engkau semua paling penting yang harus diterapkan ketika percaya kepada Tuhan dan harus dimiliki oleh manusia, semua ini termasuk dalam lingkup kata "apakah". Apa pun yang kauhadapi dalam kehidupan sehari-harimu, apa pun yang mampu kaupahami dengan kualitas dan kemampuanmu untuk memahami, yang menurutmu positif, yang menurutmu dekat dan sesuai dengan kebenaran, yang menurutmu adalah kenyataan dari hal-hal positif, dan sesuai dengan maksud-maksud Tuhan, semua ini adalah hal-hal yang telah engkau semua jalani selama mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugasmu selama bertahun-tahun ini, sehingga kita dapat mengemukakannya dan mempersekutukannya. Hal-hal apa sajakah yang dapat engkau semua pikirkan? (Menurutku, dalam kepercayaanku kepada Tuhan, aku hanya harus menderita, membayar harga, dan mendapatkan hasil dalam tugasku agar dapat memperoleh keselamatan dari Tuhan.) Pandangan ini adalah sesuatu yang kauanggap positif. Lalu, apa perbedaan antara pandangan ini dengan pandangan Paulus? Bukankah esensinya sama? (Ya.) Esensinya sama. Bukankah esensi dari pandangan ini hanyalah imajinasi? (Ya.) Selama bertahun-tahun, engkau telah hidup berdasarkan imajinasi ini dan apa yang kauanggap benar. Engkau juga mengandalkannya untuk percaya kepada Tuhan, melaksanakan tugasmu, dan menjalani kehidupan bergereja. Ini adalah salah satu situasi. Pertama, engkau harus memastikan apakah pemikiran dan pandanganmu benar atau tidak, dan apakah hal itu memiliki dasar dalam firman Tuhan atau tidak. Jika menurutmu semua itu benar, bahwa semua itu ada dasarnya, dan bahwa apa yang kaulakukan adalah menerapkan kebenaran, tetapi sebenarnya engkau salah, maka itulah yang akan kita bahas dalam persekutuan kita hari ini.

Cara paling sederhana untuk mempersekutukan aspek kebenaran tentang berdasarkan apa sebenarnya orang-orang hidup adalah mengawalinya dengan sebuah topik yang dapat dipahami semua orang, yaitu kasus tentang Paulus, dan kemudian menghubungkannya dengan keadaan engkau semua. Mengapa membahas Paulus? Sebagian besar orang mengetahui kisah tentang Paulus. Apa sajakah kisah atau topik tentang Paulus yang terdapat dalam Alkitab? Misalnya, apa saja perkataan Paulus yang terkenal, atau apa saja karakter, kepribadian, dan bakatnya? Katakan kepada-Ku. (Paulus dididik oleh seorang ahli hukum Taurat bernama Gamaliel, yang memberikan reputasi baik baginya, setara dengan lulusan universitas bergengsi.) Dalam istilah modern, Paulus adalah mahasiswa teologi yang lulus dari sekolah teologi bergengsi. Ini adalah topik pertama tentang Paulus yang secara relatif merepresentasikan dirinya, yaitu mengenai latar belakang, tingkat pendidikan, dan status sosialnya. Sedangkan topik yang kedua, apa perkataan Paulus yang paling terkenal? ("Aku sudah melakukan pertandingan yang baik. Aku sudah menyelesaikan perlombaanku, aku sudah menjaga imanku: Mulai dari sekarang sudah tersedia bagiku mahkota kebenaran" (2 Timotius 4:7-8).) Inilah motivasinya dalam melakukan pelayanan. Dalam istilah modern, Paulus menderita dan membayar harga, bekerja, dan memberitakan Injil, tetapi motivasinya adalah untuk mendapatkan mahkota. Inilah topik yang kedua. Silakan lanjutkan. (Paulus berkata, "Bagiku hidup adalah kristus dan mati berarti untung" (Filipi 1:21).) Ini juga adalah salah satu perkataan klasik Paulus. Inilah topik yang ketiga. Kita baru saja menyebutkan tiga topik. Yang pertama, Paulus adalah murid dari seorang ahli hukum Taurat bernama Gamaliel, setara dengan lulusan seminari zaman sekarang. Dia tentunya lebih berpengetahuan tentang Alkitab daripada orang biasa. Paulus memiliki pengetahuan tentang Perjanjian Lama karena dia adalah lulusan dari sekolah seperti itu. Itulah latar belakang pendidikan yang Paulus miliki. Bagaimana hal ini memengaruhi khotbah dan pembekalannya kepada gereja-gereja di masa depan? Hal ini mungkin telah memberikan beberapa manfaat, tetapi apakah itu menyebabkan kerugian? (Ya.) Apakah pemelajaran teologi sesuai dengan kebenaran? (Tidak.) Pemelajaran teologi adalah teori yang palsu dan kosong. Itu tidak praktis. Apa topik yang kedua? (Paulus berkata, "Aku sudah melakukan pertandingan yang baik. Aku sudah menyelesaikan perlombaanku, aku sudah menjaga imanku: Mulai dari sekarang sudah tersedia bagiku mahkota kebenaran.") Paulus hidup berdasarkan kata-kata ini; dia digerakkan olehnya. Lalu, dapatkah kita mengatakan bahwa semua itu adalah maksud dan tujuan Paulus dalam penderitaannya dan dalam membayar harga? (Ya.) Sederhananya, niatnya adalah untuk memperoleh upah, yang berarti bahwa dia telah menyelesaikan perlombaannya, membayar harganya, dan melakukan pertandingan yang baik untuk ditukar dengan mahkota kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa pengejaran Paulus selama bertahun-tahun adalah untuk memperoleh upah dan mahkota kebenaran. Jika bukan ini niat dan tujuannya, akankan dia mampu melewati penderitaan sebanyak itu dan membayar harga semahal itu? Akankah Paulus mampu mengerjakan yang dikerjakannya dan membayar harga yang dibayarnya dengan kualitas moral, ambisi, dan keinginannya? (Tidak.) Seandainya Tuhan Yesus terlebih dahulu berkata kepadanya, "Saat Aku bekerja di bumi, engkau menganiaya Aku. Orang-orang sepertimu dihukum dan dikutuk. Apa pun yang kaulakukan tidak dapat menebus kesalahanmu; seperti apa pun kau bertobat, Aku tidak akan menyelamatkanmu", sikap seperti apa yang akan Paulus miliki? (Dia akan meninggalkan Tuhan dan berhenti percaya.) Bukan hanya tidak akan percaya kepada Tuhan, dia juga akan menyangkal Tuhan, menyangkal bahwa Tuhan Yesus adalah Kristus, dan menyangkal keberadaan Tuhan di surga. Jadi, berdasarkan apa Paulus hidup? Dia tidak mengasihi Tuhan dengan sungguh-sungguh, dan dia bukan seseorang yang tunduk kepada-Nya, jadi mengapa dia mampu bertahan melewati begitu banyak kesengsaraan dalam memberitakan Injil? Dapat dikatakan bahwa pendukung utamanya adalah hasratnya akan berkat; inilah yang memberinya kekuatan. Selain itu, ketika Paulus melihat cahaya Tuhan yang menyilaukan di jalan menuju Damsyik, Dia menjadi buta. Dia bersujud ke tanah, seluruh tubuhnya gemetaran. Dia merasakan kebesaran Tuhan dan kemegahan-Nya, serta takut Tuhan akan membunuhnya, sehingga dia tidak berani menolak amanat Tuhan. Dia harus terus memberitakan Injil, sebesar apa pun kesukarannya. Dia tidak berani bersikap santai. Ini hanyalah sebagian kecil. Bagian yang terbesar adalah hasratnya yang sangat besar untuk diberkati. Akankah dia melakukan apa yang dia lakukan tanpa hasrat untuk diberkati, tanpa secercah harapan untuk diberkati? Tentu saja tidak. Topik yang ketiga adalah Paulus bersaksi bahwa baginya, hidupnya itu adalah kristus. Pertama, mari kita lihat pekerjaan yang Paulus lakukan. Paulus memiliki banyak pengetahuan agama; dia memiliki gelar dari latar belakang pendidikan yang terkemuka dan cukup bergengsi. Dapat dikatakan dia lebih berpengetahuan daripada orang biasa. Jadi, apa yang dia andalkan untuk melaksanakan pekerjaannya? (Karunia dan bakatnya, serta pengetahuannya akan Alkitab.) Dari luar, dia mungkin telah memberitakan Injil dan bersaksi tentang Tuhan Yesus, tetapi dia hanya bersaksi tentang nama Tuhan Yesus; dia tidak benar-benar bersaksi bahwa Tuhan Yesus adalah perwujudan Tuhan dan pekerjaan-Nya, yaitu bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan itu sendiri. Jadi, Paulus sebenarnya bersaksi tentang siapa? (Dia bersaksi tentang dirinya sendiri. Dia berkata, "Bagiku hidup adalah kristus dan mati berarti untung.") Apa sebenarnya maksud perkataannya ini? Maksudnya adalah bahwa Tuhan Yesus bukanlah Kristus dan Tuhan, tetapi dia adalah Tuhan. Paulus mampu pergi berkeliling dan berkhotbah dengan cara seperti ini karena niat dan ambisinya. Apa ambisinya? Untuk membuat semua orang, baik mereka yang dia khotbahkan maupun mereka yang mendengar tentang dirinya, menganggap bahwa hidupnya sebagai kristus dan tuhan. Di satu sisi, dia hidup berdasarkan keinginannya. Di sisi lain, pekerjaan Paulus didasarkan pada pengetahuan Alkitabnya. Semua khotbah dan perkataannya memperlihatkan bahwa dia memiliki pengetahuan tentang Alkitab. Dia tidak berbicara tentang pekerjaan dan pencerahan Roh Kudus, atau kenyataan kebenaran. Topik-topik ini tidak dapat ditemukan dalam surat-suratnya dan dia tentu saja tidak memiliki jenis pengalaman seperti ini. Tak satu pun pekerjaan Paulus yang bersaksi tentang firman yang diucapkan Tuhan Yesus. Contohnya, ajaran Tuhan Yesus tentang bagaimana seharusnya orang-orang menerapkan pengakuan dosa dan pertobatan, atau banyaknya firman ajaran yang diucapkan Tuhan Yesus kepada orang-orang, Paulus tidak pernah mengkhotbahkan itu. Tak satu pun dari pekerjaan yang Paulus lakukan ada hubungannya dengan firman Tuhan Yesus, dan semua yang dia khotbahkan adalah hal-hal dari pemelajaran teologi dan teori yang telah dia pelajari. Terdiri dari apakah pemelajaran teologi dan teori tersebut? Gagasan manusia, imajinasi, falsafah, kesimpulan, pengalaman dan pelajaran yang orang rangkum, dan lain-lain. Singkatnya, semua hal tersebut dihasilkan dari pemikiran manusia dan mencerminkan pemikiran dan pandangan manusia; tak satu pun darinya yang adalah kebenaran, apalagi sesuai dengan kebenaran. Semuanya bertentangan dengan kebenaran.

Setelah mendengar contoh tentang Paulus, bandingkanlah dirimu dengan dia. Mengenai topik yang sedang kita bahas hari ini, "Berdasarkan apakah orang-orang hidup selama bertahun-tahun percaya kepada Tuhan", apakah engkau semua diingatkan akan keadaan dan perilakumu sendiri? (Itu mengingatkanku akan fakta bahwa aku yakin jika aku tidak pernah berkeluarga, tidak pernah mengkhianati amanat Tuhan, tidak mengeluh terhadap Tuhan ketika ujian besar datang kepadaku, pada akhirnya, Tuhan tidak akan membiarkanku mati.) Itu adalah hidup berdasarkan angan-angan, yang agak mendekati topik persekutuan hari ini dan melibatkan keadaan nyata. Ini adalah pandangan tentang pengejaran praktis dalam kehidupan nyata. Ada yang lain? (Aku memiliki pandangan: aku merasa bahwa asalkan aku mengikuti Tuhan hingga akhir dalam imanku, aku pasti akan diberkati dan memperoleh kesudahan dan tempat tujuan yang baik.) Banyak orang yang memiliki pandangan seperti itu, bukan? Pada dasarnya, ini adalah pandangan yang dapat disetujui oleh semua orang. Adakah yang memiliki pandangan berbeda? Mari kita dengarkan. Aku akan menunjukkan sesuatu kepada engkau semua: ada orang-orang yang percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, dan berdasarkan pengalaman pribadi mereka, imajinasi, atau semacam pengalaman dan beberapa contoh yang mereka peroleh dari membaca buku-buku rohani, mereka merangkum beberapa pendekatan yang berkaitan dengan penerapan, seperti bagaimana orang-orang yang percaya kepada Tuhan harus bertindak agar dapat menjadi rohani, bagaimana mereka harus bertindak agar dapat menerapkan kebenaran, dan sebagainya. Mereka mengira apa yang mereka lakukan adalah menerapkan kebenaran, dan bahwa dengan melakukan hal-hal ini, mereka dapat memenuhi maksud Tuhan. Contohnya, ketika ada orang-orang menderita sakit, mereka harus mencari maksud Tuhan dan kebenaran. Ini adalah salah satu hal paling mendasar yang harus diketahui oleh orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Namun, bagaimana cara mereka menerapkannya? Mereka berkata, "Penyakit ini diatur oleh Tuhan, dan aku harus hidup oleh iman, jadi aku tidak akan minum obat, disuntik, atau berobat ke rumah sakit. Apa pendapatmu tentang imanku? Kuat, bukan?" Apakah orang semacam ini beriman? (Ya.) Engkau semua setuju dengan pandangan ini, dan ini juga merupakan caramu menerapkannya. Engkau menganggap bahwa jika engkau sakit, tidak disuntik, minum obat, atau berobat ke dokter sama saja dengan menerapkan kebenaran untuk memenuhi maksud Tuhan. Jadi, atas dasar apa engkau semua berkata bahwa ini adalah menerapkan kebenaran? Apakah benar melakukan penerapan seperti ini? Apa dasarnya? Pernahkah engkau melihatnya diverifikasi? Engkau semua tidak yakin. Karena engkau semua tidak tahu apakah ini sesuai dengan kebenaran atau tidak, mengapa bersikeras melakukan penerapan dengan cara ini? Jika engkau sakit, engkau hanya terus berdoa kepada Tuhan, tidak disuntik, tidak minum obat, tidak berobat ke dokter, serta hanya dalam hati bersandar dan berdoa kepada Tuhan, memohon agar Tuhan menyingkirkan penyakit ini atau menyerahkan dirimu pada belas kasihan-Nya, apakah menerapkan cara ini benar? (Tidak.) Apakah engkau semua baru menganggapnya salah sekarang, atau apakah sebelumnya engkau telah menyadari bahwa itu salah? (Dulu, ketika aku sakit, aku merasa bahwa berobat ke dokter atau minum obat adalah metode eksternal, dan ini merupakan ungkapan orang yang tidak beriman, jadi aku mengandalkan doa atau metode lain untuk menangani masalah tersebut.) Apakah ini menyiratkan bahwa jika Tuhan memberimu penyakit, dan engkau mengobatinya, itu artinya engkau mengkhianati Tuhan dan tidak tunduk pada pengaturan Tuhan untukmu? (Itulah sudut pandangku.) Jadi, apakah menurutmu pandangan ini benar atau salah? Atau apakah engkau masih bingung, dan tidak tahu apakah itu benar atau salah, dan menganggap bahwa, lagi pula, begitulah cara engkau selalu bertindak, dan tidak ada orang lain yang berkata bahwa itu salah, dan engkau tidak merasa bersalah karenanya, jadi engkau terus menerapkannya dengan cara itu? (Aku selalu menerapkannya dengan cara ini, dan aku tidak merasakan apa pun di hatiku.) Lalu dengan melakukannya, apakah engkau semua merasa sedikit bingung? Mari kita kesampingkan apakah engkau benar atau salah, tetapi setidaknya ada satu hal yang bisa kita yakini, yaitu penerapan seperti ini tidak sesuai dengan kebenaran. Karena, jika itu memang sesuai dengan kebenaran, setidaknya engkau akan mengetahui prinsip-prinsip kebenaran mana yang sedang kauikuti dan termasuk di lingkup prinsip manakah penerapan tersebut dilakukan. Namun, jika kita melihatnya sekarang, kita memahami bahwa orang-orang bertindak seperti ini berdasarkan imajinasi mereka sendiri. Ini adalah pengekangan yang mereka lakukan pada diri mereka sendiri. Selain itu, orang-orang menetapkan ini sebagai standar bagi diri mereka sendiri berdasarkan imajinasi mereka sendiri, menganggap bahwa mereka harus melakukan ini ketika mereka sakit, tetapi mereka tidak tahu apa sebenarnya yang Tuhan tuntut atau maksudkan. Mereka hanya bertindak berdasarkan cara yang mereka imajinasikan dan tentukan sendiri, tanpa mengetahui apa akibat yang akan terjadi dari bertindak dengan cara itu. Berdasarkan apa orang-orang hidup ketika mereka berada dalam keadaan ini? (Berdasarkan imajinasi mereka sendiri.) Apakah ada gagasan dalam imajinasi tersebut? Apa gagasan mereka? (Bahwa mereka dapat memperoleh perkenanan Tuhan dengan menerapkan cara ini.) Ini adalah gagasan. Apakah ini pemahaman yang benar tentang hal ini? (Tidak.) Ada definisi dan akibat di sini: jika engkau hidup berdasarkan gagasan dan imajinasi seperti itu, itu artinya engkau tidak sedang menerapkan kebenaran.

Sekarang, engkau semua sudah cukup banyak merenungkan topik tentang "Apa Sebenarnya yang Orang Andalkan untuk Hidup", dan engkau tahu apa kira-kira yang akan dipersekutukan dalam topik ini. Jadi, mari kita membahas beberapa macam keadaan. Dengarkan baik-baik dan renungkanlah saat engkau semua mendengarkan. Apa tujuan dari perenungan ini? Untuk membandingkan keadaan-keadaan yang Kubahas dengan keadaan-keadaanmu sendiri, untuk memahaminya, dan untuk mengetahui bahwa engkau memiliki keadaan-keadaan dan masalah-masalah seperti itu, serta kemudian mencari kebenaran untuk menyelesaikannya, berjuang untuk hidup berdasarkan kebenaran dan bukan hidup berdasarkan berbagai hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran. "Apa Sebenarnya yang Orang Andalkan untuk Hidup" adalah topik yang menyentuh banyak hal, jadi mari kita mulai dengan karunia. Ada orang-orang yang dapat berbicara dengan jelas dan fasih. Mereka berbicara dan berinteraksi dengan orang-orang yang fasih dan pandai berbicara, serta berpikir cepat. Dalam setiap situasi, mereka tahu persis apa yang harus dikatakan. Di rumah Tuhan, mereka juga melaksanakan tugas mereka dengan kepandaian berbicara dan berpikir cepat mereka. Perkataan mereka yang tidak benar dan manis mengubah masalah biasa menjadi bukan masalah. Mereka tampaknya mampu menyelesaikan banyak masalah. Dengan pikiran mereka yang cerdas, ditambah dengan pengalaman mereka di tengah masyarakat dan wawasan mereka, mereka dapat melihat apa yang sedang terjadi dengan hal-hal biasa yang terjadi pada mereka; yang diperlukan hanyalah beberapa kata dari mereka untuk menyelesaikan masalah. Orang lain mengagumi mereka, berpikir, "Mereka mampu menangani segala sesuatu dengan begitu mudah. Mengapa aku tidak?" Mereka juga merasa sangat bangga akan diri mereka sendiri, dan berpikir, "Lihat, Tuhan memberiku kefasihan dan lidah yang pandai berbicara, pikiran yang cerdas, wawasan, dan kemampuan untuk bereaksi dengan cepat, jadi tidak ada yang tidak mampu kutangani!" Dan di sinilah masalahnya muncul. Seseorang yang fasih berbicara dan berpikir cepat mungkin menggunakan bakat dan kemampuannya untuk melaksanakan beberapa tugas, dan dalam melaksanakan tugasnya, dia menyelesaikan beberapa masalah atau melakukan beberapa hal untuk rumah Tuhan, tetapi jika engkau memeriksa semua yang dia lakukan secara terperinci, engkau hanya akan bertanya-tanya mengenai apakah semua yang dia lakukan sesuai dengan kebenaran atau tidak, apakah itu sesuai dengan prinsip kebenaran atau tidak, dan apakah memenuhi maksud Tuhan atau tidak. Orang-orang semacam ini sering kali tidak memahami kebenaran atau bagaimana bertindak berdasarkan kebenaran, tetapi mereka tetap melaksanakan tugas mereka. Namun, sebaik apa pun mereka melaksanakan tugas mereka, apa yang mereka andalkan? Apakah yang menjadi sumber pelaksanaan tugas mereka? Sumbernya adalah pemikiran, wawasan, dan kepandaian berbicara mereka. Adakah orang yang seperti ini di antara engkau semua? (Ya.) Apakah orang yang hidup berdasarkan pikiran, kecerdasan yang tinggi, atau lidah yang fasih berbicara mengetahui apakah yang mereka lakukan sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran atau tidak? (Tidak.) Apakah engkau semua memiliki prinsip ketika bertindak? Atau, dengan kata lain, ketika engkau semua bertindak, apakah engkau melakukannya berdasarkan falsafah Iblis, dengan akalmu sendiri, dengan kecerdasan dan hikmatmu sendiri, atau apakah engkau melakukannya berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran? Jika engkau semua selalu bertindak berdasarkan falsafah Iblis, berdasarkan kesukaan dan gagasanmu sendiri, itu berarti tidak ada prinsip-prinsip apa pun dalam tindakanmu. Namun, jika engkau mampu mencari kebenaran, dan bertindak berdasarkan firman Tuhan, berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran, itulah yang dimaksud dengan bertindak berdasarkan prinsip. Apakah ada sesuatu dalam caramu berbicara dan bertindak saat ini yang bertentangan dengan kebenaran? Apakah engkau melanggar prinsip-prinsip? Ketika engkau melanggar prinsip-prinsip, apakah engkau semua mengetahuinya? (Kadang-kadang.) Apa yang kaulakukan pada saat itu? (Kami berdoa kepada Tuhan, menguatkan tekad kami untuk bertobat, dan berjanji kepada Tuhan bahwa kami tidak akan pernah lagi bertindak seperti itu.) Dan jika hal yang sama terjadi lagi padamu, apakah engkau akan bertindak seperti itu lagi, dan kembali menguatkan tekadmu? (Ya.) Engkau selalu kembali menguatkan tekadmu setiap kali sesuatu terjadi padamu. Namun, setelah tekadmu menjadi kuat, apakah engkau benar-benar menerapkan kebenaran? Apakah engkau benar-benar bertindak dengan prinsip? Apakah itu jelas bagimu? Banyak orang tidak mencari kebenaran ketika sesuatu terjadi pada mereka, tetapi hidup berdasarkan kecerdasan dan karunia mereka. Apakah memiliki kecerdasan dan menjadi pembicara yang fasih adalah satu-satunya karunia yang ada? Apa lagi perwujudan lain dari hidup berdasarkan karunia? Contohnya, ada orang-orang yang sangat suka menyanyi, dan mereka dapat menyanyikan sebuah lagu setelah mendengarkannya dua atau tiga kali. Oleh karena itu, mereka memiliki tugas dalam bidang ini, dan mereka menganggap bahwa tugas ini diberikan kepada mereka oleh Tuhan. Perasaan ini benar dan akurat. Selama bertahun-tahun, mereka mempelajari banyak lagu pujian, dan makin sering mereka bernyanyi, makin baik pula kemampuan bernyanyi mereka. Namun, ada masalah yang tidak mereka sadari. Apa itu? Kemampuan bernyanyi mereka menjadi makin baik, dan mereka menganggap karunia ini sebagai hidup mereka. Bukankah ini salah? Mereka hidup berdasarkan karunia mereka setiap hari, dan ketika mereka menyanyikan lagu pujian setiap hari, mereka menganggap bahwa mereka telah memperoleh hidup, tetapi bukankah ini hanya khayalan? Sekalipun engkau tergerak oleh nyanyiannya, orang lain menikmatinya dan mendapat manfaat darinya, dapatkah ini membuktikan engkau telah memperoleh hidup? Sulit untuk dikatakan. Itu tergantung pada seberapa banyak engkau memahami kebenaran, apakah engkau mampu menerapkan kebenaran atau tidak, apakah engkau memiliki prinsip dalam tindakan dan tugasmu atau tidak, dan apakah engkau memiliki kesaksian pengalaman yang nyata atau tidak. Hanya dari aspek-aspek inilah engkau dapat menilai apakah seseorang memiliki kenyataan kebenaran atau tidak. Jika mereka memiliki kenyataan kebenaran, merekalah orang-orang yang memiliki hidup, terutama mereka yang mampu takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, serta mereka yang benar-benar mampu mengasihi dan tunduk kepada Tuhan. Jika seseorang memiliki karunia dan bakat, dan dia juga mendapatkan hasil yang baik dalam tugasnya, tetapi dia tidak mengejar kebenaran dan dia hanya hidup berdasarkan karunianya, memamerkan kemampuannya, serta tidak pernah menaati siapa pun, dapatkah orang tersebut memiliki hidup? Yang menjadi kunci dari apakah seseorang memiliki hidup atau tidak adalah apakah dia memiliki kenyataan kebenaran atau tidak. Bagaimana seseorang yang memiliki bakat dan karunia mampu memperoleh kebenaran? Bagaimana dia mampu hidup tanpa mengandalkan karunia? Bagaimana dia mampu melepaskan diri dari kehidupan seperti ini? Dia harus mencari kebenaran. Pertama, dia harus mengetahui dengan jelas perbedaan antara apa arti karunia dan apa arti kehidupan. Ketika seseorang berkarunia atau memiliki bakat, itu berarti mereka secara bawaan lebih baik dalam sesuatu atau unggul dalam hal tertentu dibandingkan dengan orang lain. Contohnya, engkau mungkin bereaksi sedikit lebih cepat daripada orang lain, memahami segala sesuatu sedikit lebih cepat daripada orang lain, menguasai keterampilan profesional tertentu, atau engkau mungkin seorang pembicara yang fasih, dan sebagainya. Ini adalah karunia dan bakat yang mungkin dimiliki seseorang. Jika engkau memiliki bakat dan kelebihan tertentu, caramu memahami dan menanganinya sangatlah penting. Jika engkau menganggap bahwa dirimu tidak tergantikan karena tidak ada orang lain yang memiliki bakat dan karunia sepertimu, dan menganggap bahwa engkau sedang menerapkan kebenaran jika engkau menggunakan bakat dan karuniamu untuk melaksanakan tugasmu, apakah pandangan ini benar atau salah? (Salah.) Mengapa kaukatakan itu salah? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan bakat dan karunia? Bagaimana engkau harus memahaminya, menggunakannya, dan menanganinya? Sebenarnya, apa pun karunia atau bakat yang kaumiliki, itu bukan berarti bahwa engkau memiliki kebenaran dan hidup. Jika orang memiliki karunia dan bakat tertentu, itu berarti mereka cocok untuk melaksanakan tugas yang menggunakan karunia dan bakat tersebut, tetapi itu bukan berarti bahwa mereka sedang menerapkan kebenaran, juga bukan berarti bahwa mereka sedang melakukan segala sesuatu berdasarkan prinsip-prinsip. Contohnya, jika engkau dilahirkan dengan bakat menyanyi, apakah kemampuanmu dalam bernyanyi merepresentasikan dirimu sedang menerapkan kebenaran? Apakah itu berarti engkau bernyanyi berdasarkan prinsip? Tidak. Contohnya, katakanlah engkau memiliki bakat alami dalam kesusasteraan dan pandai dalam tulis-menulis. Jika engkau tidak memahami kebenaran, apakah tulisanmu dapat sesuai dengan kebenaran? Apakah itu berarti bahwa engkau memiliki kesaksian pengalaman? (Tidak.) Oleh karena itu, karunia dan bakat berbeda dengan kebenaran serta tidak dapat dibandingkan. Apa pun karunia yang kaumiliki, jika engkau tidak mengejar kebenaran, engkau tidak akan melaksanakan tugasmu dengan baik. Ada orang-orang yang sering memamerkan karunia mereka dan biasanya merasa bahwa mereka lebih baik daripada orang lain, sehingga mereka memandang rendah orang lain dan enggan bekerja sama dengan orang lain ketika melaksanakan tugas mereka. Mereka selalu ingin memegang kendali, dan sebagai akibatnya, mereka sering melanggar prinsip-prinsip ketika melaksanakan tugas mereka, dan efisiensi kerja mereka juga sangat rendah. Karunia-karunia tersebut membuat mereka menjadi congkak dan merasa diri benar, membuat mereka memandang rendah orang lain, dan membuat mereka selalu merasa bahwa mereka lebih baik daripada orang lain dan tak seorang pun yang sebaik mereka, sehingga mereka menjadi sombong. Bukankah orang-orang ini telah dirusak oleh karunia mereka? Ya, memang demikian. Orang-orang yang berkarunia dan memiliki bakat kemungkinan besar adalah orang yang congkak dan merasa diri benar. Jika mereka tidak mengejar kebenaran dan selalu hidup berdasarkan karunia mereka, itu adalah hal yang sangat berbahaya. Apa pun tugas yang orang laksanakan di rumah Tuhan, bakat seperti apa pun yang mereka miliki, jika mereka tidak mengejar kebenaran, mereka pasti akan gagal memenuhi tugas mereka. Apa pun karunia dan bakat yang dimiliki seseorang, dia harus melaksanakan tugas di bidang tersebut dengan baik. Jika dia juga mampu memahami kebenaran dan melakukan segala sesuatunya berdasarkan prinsip, maka karunia dan bakat mereka dapat berperan dalam pelaksanaan tugas tersebut. Mereka yang tidak menerima kebenaran, dan tidak mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta hanya mengandalkan karunia mereka untuk melakukan segala sesuatu tidak akan memperoleh hasil apa pun dari pelaksanaan tugas mereka, dan berisiko disingkirkan. Contohnya: ada orang-orang yang berbakat dalam tulis-menulis, tetapi tidak memahami kebenaran, dan sama sekali tidak ada kenyataan kebenaran dalam hal-hal yang mereka tulis. Bagaimana hal itu dapat mendidik kerohanian orang lain? Hasil tulisannya memiliki dampak yang lebih kecil daripada kesaksian seseorang yang tidak berpendidikan, tetapi memahami kebenaran. Banyak orang hidup dalam karunia dan menganggap bahwa mereka adalah orang yang berguna di rumah Tuhan. Namun Katakan kepada-Ku, jika mereka tidak pernah berusaha mengejar kebenaran, apakah mereka masih berharga? Jika seseorang memiliki karunia dan bakat tetapi tidak memiliki prinsip-prinsip kebenaran, mampukah mereka melaksanakan tugas mereka dengan baik? Siapa pun yang benar-benar melihat masalah ini dan memahaminya akan mengetahui bagaimana karunia dan bakat harus diperlakukan. Apa yang harus kaulakukan, jika keadaanmu adalah keadaan yang selalu menyombongkan bakatmu dan menganggap bahwa engkau memiliki kenyataan kebenaran, bahwa engkau lebih baik daripada orang lain sembari memandang rendah mereka di dalam hatimu? Engkau harus mencari kebenaran; engkau harus memahami yang sebenarnya tentang esensi menyombongkan karunia. Bukankah menyombongkan karunia adalah puncak dari kebodohan dan ketidaktahuan? Jika seseorang fasih berbicara, apakah itu berarti dia memiliki kenyataan kebenaran? Apakah memiliki karunia berarti seseorang memiliki kebenaran dan hidup? Jika seseorang memamerkan karunianya, meskipun sama sekali tidak memiliki kenyataan, bukankah itu tidak tahu malu? Jika dia mengetahui yang sebenarnya mengenai hal-hal ini, dia tidak akan menyombongkan karunianya. Inilah pertanyaan lainnya: apa tantangan terbesar yang dihadapi orang-orang yang cukup berkarunia dan berbakat ini? Apakah engkau semua memiliki pengalaman tentang hal semacam itu? (Tantangan terbesar mereka adalah mereka selalu menganggap bahwa mereka lebih baik daripada orang lain, bahwa mereka cakap dalam segala hal. Mereka begitu congkak dan sombong; mereka memandang rendah semua orang. Tidak mudah bagi orang-orang seperti itu untuk menerima dan menerapkan kebenaran.) Itu di satu sisi. Apa lagi? (Sulit bagi mereka untuk melepaskan karunia dan bakat mereka. Mereka selalu menganggap bahwa mereka mampu menyelesaikan banyak masalah dengan menggunakan karunia dan bakat mereka. Mereka hanya tidak tahu memahami bagaimana memandang hal-hal berdasarkan kebenaran.) (Orang-orang yang berkarunia selalu menganggap bahwa mereka mampu menangani segala sesuatunya sendiri, jadi ketika sesuatu terjadi pada mereka, sulit bagi mereka untuk mengandalkan Tuhan, dan mereka enggan mencari kebenaran.) Apa yang engkau semua katakan adalah fakta, dan hanya fakta. Orang-orang yang berkarunia dan memiliki bakat menganggap diri mereka sangat pandai, bahwa mereka memahami semuanya, tetapi mereka tidak tahu bahwa karunia dan bakat tidaklah merepresentasikan kebenaran, bahwa hal-hal ini tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Ketika orang-orang mengandalkan karunia dan imajinasi mereka dalam bertindak, pemikiran dan pendapat mereka sering kali bertentangan dengan kebenaran, tetapi mereka tak mampu melihatnya, mereka tetap berpikir, "Lihat betapa pandainya diriku; aku telah membuat pilihan yang sedemikian cerdasnya! Keputusan yang sedemikian bijaksananya! Tak seorang pun dari antaramu mampu menandingi diriku." Mereka selamanya hidup dalam keadaan narsis dan terlalu tinggi menghargai dirinya. Sulit bagi mereka untuk menenangkan hati dan merenungkan apa yang Tuhan minta dari mereka, apa arti kebenaran, dan apa arti prinsip-prinsip kebenaran. Sulit bagi mereka untuk memahami kebenaran, dan meskipun mereka melaksanakan tugas, mereka tak mampu menerapkan kebenaran, dan selain itu, sangatlah sulit bagi mereka untuk masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Singkatnya, jika seseorang tidak mampu mengejar kebenaran dan menerima kebenaran, apa pun karunia atau bakat yang dia miliki, dia tidak akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Itu pasti.

Karunia dan bakat dapat dianggap sebagai hal yang sama. Apa sajakah bakat-bakat tersebut? Ada orang-orang yang sangat mahir dengan jenis teknologi tertentu. Sebagai contoh, ada pria-pria yang suka mengutak-atik gawai, dan ada orang-orang yang cukup ahli dengan alat-alat elektronik, yang sangat ahli dalam menggunakan bahasa pemrograman komputer atau program perangkat lunak. Mereka mampu menguasai hal-hal ini dan mengingatnya dengan sangat cepat. Dengan kata lain, kemampuan mereka untuk memahami dan mengingat hal-hal ini sungguh luar biasa. Inilah bakat. Ada orang-orang yang pandai belajar bahasa. Apa pun bahasa yang mereka pelajari, mereka belajar dengan sangat cepat, dan daya ingat mereka melebihi orang biasa. Ada orang-orang yang pandai bernyanyi, menari, atau berkesenian, ada yang pandai merias wajah dan berakting, ada yang bisa menjadi sutradara, dan sebagainya. Apa pun jenis bakatnya, selama seseorang menggeluti suatu jenis pekerjaan, hal ini akan menyentuh topik "Apa Sebenarnya yang Orang Andalkan untuk Hidup". Mengapa kita perlu menganalisis karunia dan bakat manusia? Karena manusia menikmati hidup berdasarkan karunia dan bakat mereka, dan orang-orang menganggapnya sebagai modal, sebagai sumber penghidupan mereka, sebagai kehidupan, dan sebagai nilai, tujuan pengejaran, dan makna penting dalam hidup mereka. Orang-orang merasa bahwa wajar jika mereka mengandalkan hal-hal ini untuk hidup, dan memandangnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hampir semua orang saat ini hidup berdasarkan karunia dan bakat mereka. Berdasarkan karunia macam apa engkau semua hidup? (Kurasa aku memiliki karunia bahasa. Jadi aku memberitakan Injil dengan karunia tersebut. Ketika aku berbicara dengan seseorang yang sedang menyelidiki jalan yang benar, aku dapat mengakrabkan diri dengan mereka, dan mereka ingin mendengar apa yang kukatakan.) Jadi, apakah memiliki karunia ini bagus atau tidak? (Sekarang setelah aku mendengar persekutuan Tuhan, menurutku karunia ini akan menghalangi pencarianku akan prinsip-prinsip kebenaran.) Engkau berkata bahwa memiliki karunia bahasa tidak baik, dan engkau tidak ingin lagi menggunakan karunia ini, benarkah demikian? (Tidak.) Kalau begitu, apa yang kaumaksudkan? Engkau semua sekarang harus memahami apa yang menjadi fokus diskusi hari ini, masalahmu yang mana yang akan diselesaikan, apa yang salah dengan hidup berdasarkan karunia-karunia ini, dan apa yang benar tentangnya. Engkau harus memahami hal-hal ini dengan jelas. Jika engkau tidak memahami hal-hal ini, dan jika, pada akhirnya, setelah banyak bicara, engkau merasa bahwa hal-hal yang benar adalah salah, dan hal yang salah juga salah, dan bahwa semua yang kaulakukan adalah salah, dapatkah engkau menyelesaikan masalah hidup berdasarkan karuniamu? (Tidak. Dengan mengandalkan karuniaku dalam berbahasa untuk memberitakan Injil, kurasa niatku bukanlah untuk melaksanakan tugasku dengan baik demi memuaskan Tuhan, melainkan untuk pamer, mengagumi diriku sendiri, dan merasa bangga akan diriku sendiri.) Engkau baru saja mengungkapkan alasan mengapa hidup berdasarkan karuniamu adalah salah. Engkau menganggap karunia ini adalah modalmu, perwujudan dari harga dirimu. Pemikiran dan sumbernya salah. Bagaimana engkau bisa menyelesaikan masalah ini? (Aku harus tahu bahwa karuniaku hanyalah sarana untuk melaksanakan tugasku. Tujuan menggunakan karuniaku adalah untuk melaksanakan tugasku dengan baik dan menyelesaikan amanat Tuhan.) Setelah berpikir seperti ini, akankah engkau secara tiba-tiba mampu menerapkan kebenaran? (Tidak.) Jadi, bagaimana engkau mampu menerapkan kebenaran dan tidak hidup berdasarkan karunia-karunia ini? Jika saat engkau melaksanakan tugasmu, engkau menggunakan karuniamu untuk memamerkan keterampilan dan kemampuan pribadimu, itu artinya engkau sedang hidup berdasarkan karuniamu. Namun, jika engkau menggunakan karunia dan pengetahuanmu untuk melaksanakan tugasmu dengan baik dan menunjukkan kesetiaanmu, maka engkau akan mampu memenuhi maksud Tuhan dan mencapai hasil yang Tuhan tuntut, dan jika engkau merenungkan bagaimana cara berbicara dan apa yang harus dikatakan agar engkau dapat memberi kesaksian tentang Tuhan dengan lebih baik, dan bertindak lebih baik dalam membantu orang untuk memahami dan menjadi jelas tentang pekerjaan apa yang Tuhan lakukan, dan akhirnya membantu orang untuk menerima pekerjaan Tuhan, itu artinya engkau sedang menerapkan kebenaran. Apakah ada perbedaan di sini? (Ya.) Pernahkah engkau semua terbawa suasana saat memamerkan karunia, bakat, atau kemampuanmu, dan lupa bahwa engkau sedang melaksanakan tugasmu, dan justru memamerkannya di depan orang lain, sama seperti orang tidak percaya? Pernahkah hal ini terjadi kepadamu? (Ya.) Jadi, dalam situasi ini, seperti apakah keadaan di dalam diri seseorang? Ini adalah keadaan yang memanjakan diri, di mana mereka tidak memiliki hati yang takut akan Tuhan, pengendalian diri, atau rasa bersalah, di mana tidak ada tujuan atau prinsip dalam pikiran mereka ketika mereka melakukan segala sesuatu, dan di mana mereka telah kehilangan martabat dan kesopanan dasar yang seharusnya dimiliki oleh seorang Kristen. Apa yang terjadi? Yang terjadi adalah itu menjadi ajang di mana mereka memamerkan keterampilan dan mempromosikan kepribadian mereka. Ketika melaksanakan tugasmu, apakah engkau sering mengalami keadaan di mana engkau hanya peduli tentang memperlihatkan karunia dan bakatmu, dan di mana engkau tidak mencari kebenaran? Ketika engkau berada dalam keadaan seperti itu, dapatkah engkau menyadarinya sendiri? Mampukah engkau membalikkan arahmu? Jika engkau dapat menyadari hal ini dan membalikkan arahmu, engkau akan mampu menerapkan kebenaran. Namun, jika engkau selalu seperti ini, dan mengalami keadaan ini berkali-kali, dalam jangka waktu yang lama, itu berarti engkau adalah orang yang hidup sepenuhnya berdasarkan karunia dan sama sekali tidak menerapkan kebenaran. Menurutmu, dari manakah pengendalian dirimu itu berasal? Ditentukan oleh apakah kekuatan pengendalian dirimu? Itu ditentukan oleh seberapa besar engkau mencintai kebenaran dan seberapa besar engkau membenci hal-hal yang jahat atau negatif. Jika engkau telah memahami kebenaran, engkau tidak akan ingin melakukan kejahatan, dan jika engkau membenci hal-hal yang negatif, engkau juga tidak akan ingin melakukan kejahatan, dan dengan begitu saja, rasa pengendalian diri pun muncul. Orang-orang yang tidak mencintai kebenaran tidak mungkin membenci hal-hal yang jahat. Itulah sebabnya mereka tidak memiliki rasa pengendalian diri, dan tanpa itu, mereka cenderung menyerah pada hal tak bermoral, tanpa pengendalian diri. Mereka bertindak semaunya dan ceroboh, dan mereka tidak peduli sedikit pun tentang sebanyak apa pun kejahatan yang mereka lakukan.

Ada keadaan lain yang dialami oleh orang-orang yang hidup dengan mengandalkan karunia mereka. Apa pun bakat, karunia, atau keterampilan yang orang miliki, jika mereka hanya melakukan banyak hal dan bekerja keras, serta tidak pernah mencari kebenaran, atau berusaha memahami maksud Tuhan, seolah-olah konsep menerapkan kebenaran tidak ada dalam pikiran mereka, dan satu-satunya dorongan mereka adalah menyelesaikan pekerjaan dan menyelesaikan tugas, bukankah ini hidup sepenuhnya berdasarkan karunia dan bakat mereka, dan berdasarkan kemampuan dan keterampilan mereka sendiri? Dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, mereka hanya ingin bekerja keras agar mereka dapat memperoleh berkat, dan menukar karunia dan keterampilan mereka dengan berkat Tuhan. Kebanyakan orang berada dalam keadaan seperti ini. Kebanyakan orang memiliki sudut pandang ini terutama ketika rumah Tuhan menugaskan mereka suatu pekerjaan rutin, semua yang mereka lakukan hanyalah bekerja keras. Dengan kata lain, mereka ingin mengandalkan kerja keras untuk mencapai tujuan mereka. Terkadang, dengan berbicara atau melihat sesuatu; terkadang dengan bekerja memakai tangan mereka atau menyibukkan diri. Mereka mengira dengan melakukannya, mereka telah berkontribusi banyak. Inilah yang dimaksud hidup dengan mengandalkan karunia. Mengapa kita berkata bahwa hidup berdasarkan karunia dan bakatmu adalah bekerja keras dan bukan melaksanakan tugasmu, apalagi menerapkan kebenaran? Ada sebuah perbedaan. Sebagai contoh, katakanlah rumah Tuhan memberimu sebuah tugas, dan setelah engkau menerimanya, engkau memikirkan cara untuk menyelesaikan tugas tersebut sesegera mungkin, agar engkau dapat melaporkannya kepada pemimpinmu dan menerima pujian mereka. Engkau bahkan mungkin memiliki sikap yang cukup teliti dan menetapkan rencana langkah demi langkah, tetapi engkau hanya berfokus untuk menyelesaikan tugas dan melaksanakannya agar orang lain dapat melihatnya. Atau, engkau mungkin menetapkan standar bagi dirimu sendiri saat melaksanakannya, memikirkan cara melaksanakan tugas dengan cara yang memuaskan dan membuatmu bahagia, serta memenuhi standar kesempurnaan yang kaucari. Seperti apa pun engkau menetapkan standar, jika apa yang kaulakukan tidak ada kaitannya dengan kebenaran, jika hal itu tidak dilakukan setelah mencari kebenaran, dan memahami serta menegaskan tuntutan Tuhan, dan jika hal itu justru dilakukan secara membabi buta dan dengan pikiran yang bingung, itu artinya bekerja keras. Ini artinya melakukan segala sesuatu dengan mengandalkan pikiran, karunia, kemampuan, dan keterampilanmu sendiri sambil memiliki pola pikir angan-angan. Apa akibat dari melakukan sesuatu seperti ini? Mungkin engkau menyelesaikan tugas tersebut, dan tak ada seorang pun yang menunjukkan masalah apa pun. Engkau sangat senang, tetapi ketika melaksanakan tugas, pertama, engkau tidak memahami maksud Tuhan. Kedua, engkau tidak melakukannya dengan segenap hati, pikiran, dan kekuatanmu; hatimu tidak mencari kebenaran. Jika engkau telah mencari prinsip-prinsip kebenaran dan mencari maksud Tuhan, maka pelaksanaan tugasmu akan memenuhi standar. Engkau juga akan mampu masuk ke dalam kenyataan kebenaran, dan akan mampu memahami secara akurat bahwa apa yang telah kaulakukan sesuai dengan maksud Tuhan. Namun, jika engkau tidak melakukannya dengan segenap hatimu, dan melaksanakan tugas dengan cara yang bingung, meskipun pekerjaan dan tugas akan diselesaikan, engkau tidak akan tahu di dalam hatimu seberapa baik engkau melakukannya, engkau tidak akan memiliki standar apa pun, dan engkau tidak akan tahu apakah tugas itu dilakukan sesuai dengan maksud Tuhan atau kebenaran. Jika demikian, itu berarti engkau tidak sedang melaksanakan tugasmu, tetapi engkau berjerih payah.

Setiap orang yang percaya kepada Tuhan harus memahami maksud-Nya. Hanya mereka yang melaksanakan tugas mereka dengan baik yang dapat memuaskan Tuhan, dan hanya dengan menyelesaikan amanat Tuhan, barulah pelaksanaan tugas seseorang dapat memuaskan. Ada standar untuk penyelesaian amanat Tuhan. Tuhan Yesus berkata: "Hendaklah engkau mengasihi Tuhanmu, dengan seluruh hatimu, dan dengan seluruh jiwamu, dan dengan seluruh pikiranmu, dan dengan seluruh kekuatanmu." "Mengasihi Tuhan" merupakan salah satu aspek dari apa yang Tuhan tuntut dari manusia. Di manakah tuntutan ini seharusnya diwujudkan? Dalam hal itu, engkau harus menyelesaikan amanat Tuhan. Istilah praktisnya, ini berarti melaksanakan tugasmu dengan baik sebagai manusia. Jadi, apa standar untuk melaksanakan tugasmu dengan baik? Sudah merupakan tuntutan Tuhan agar engkau melaksanakan tugasmu dengan baik sebagai makhluk ciptaan dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatanmu. Ini seharusnya mudah dimengerti. Agar dapat memenuhi tuntutan Tuhan, engkau terutama harus melaksanakan tugasmu dengan segenap hatimu. Jika engkau mampu melaksanakannya dengan segenap hatimu, maka akan mudah bagimu untuk bertindak dengan segenap jiwamu, dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap kekuatanmu. Jika engkau melaksanakan tugasmu hanya dengan mengandalkan imajinasi dari pikiranmu, dan mengandalkan karuniamu, dapatkah engkau memenuhi tuntutan Tuhan? Tentu saja tidak. Jadi, apa standar yang harus dipenuhi agar dapat memenuhi amanat Tuhan, serta melaksanakan tugasmu dengan setia dan baik? Yaitu melaksanakan tugasmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap pikiranmu, dan segenap kekuatanmu. Jika engkau berusaha melaksanakan tugasmu dengan baik tanpa hati yang mengasihi Tuhan, itu tidak akan berhasil. Jika hatimu yang mengasihi Tuhan tumbuh makin kuat dan tulus, maka engkau akan dengan sendirinya mampu melaksanakan tugasmu dengan baik dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap pikiranmu, dan segenap kekuatanmu. Segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap pikiranmu, segenap kekuatanmu, yang terakhir adalah "segenap kekuatanmu"; "segenap hatimu" adalah yang pertama. Jika engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan segenap hati, bagaimana mungkin engkau melaksanakannya dengan segenap kekuatanmu? Itu sebabnya hanya berusaha melaksanakan tugasmu dengan segenap kekuatanmu tidak akan membuahkan hasil apa pun, ataupun memenuhi prinsip-prinsipnya. Apa hal terpenting yang Tuhan tuntut? (Dengan segenap hati.) Apa pun tugas atau hal yang Tuhan percayakan kepadamu, jika engkau hanya bekerja keras, menyibukkan diri, dan mengerahkan upaya, dapatkah engkau sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran? Dapatkah engkau bertindak berdasarkan maksud Tuhan? (Tidak.) Jadi, bagaimana engkau bisa sesuai dengan maksud Tuhan? (Dengan segenap hati kami.) Ucapan "dengan segenap hati" mudah diucapkan, dan orang-orang sering mengucapkannya, jadi bagaimana engkau bisa melakukannya dengan segenap hatimu? Ada orang-orang yang berkata, "Ini adalah ketika engkau melakukan segala sesuatu dengan sedikit upaya lagi dan kesungguhan, lebih banyak berpikir, tidak membiarkan hal lain memenuhi pikiranmu, dan fokuslah pada bagaimana melaksanakan tugas yang ada, bukan?" Apakah sesederhana itu? (Tidak.) Jadi, mari kita membahas beberapa prinsip penerapan yang mendasar. Berdasarkan prinsip-prinsip yang biasanya engkau semua terapkan atau patuhi, apa yang harus kaulakukan terlebih dahulu untuk melakukan segala sesuatu dengan segenap hatimu? Engkau harus menggunakan segenap pikiranmu, menggunakan tenagamu, serta melakukan segala sesuatu dengan segenap hati, dan bukan dengan asal-asalan. Jika seseorang tidak mampu melakukan segala sesuatu dengan segenap hatinya, itu berarti dia telah kehilangan hatinya, yang sama seperti kehilangan jiwanya. Pemikiran mereka akan mengembara ketika mereka berbicara, mereka tidak akan pernah melakukan segala sesuatu dengan segenap hati, dan apa pun yang mereka lakukan, pikiran mereka akan pasif. Akibatnya, mereka tidak akan mampu menangani segala sesuatu dengan baik. Jika engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan segenap hatimu dan mengerahkan segenap hatimu untuk melaksanakannya, engkau akan melaksanakan tugasmu dengan buruk. Sekalipun engkau melaksanakan tugasmu selama beberapa tahun, engkau tidak akan mampu melaksanakannya dengan memadai. Engkau tidak akan mampu melakukan apa pun dengan baik jika engkau tidak melakukannya dengan segenap hati. Ada orang-orang yang bukan pekerja yang rajin, mereka selalu tidak stabil dan berubah-ubah, mereka memiliki cita-cita yang terlalu tinggi, dan mereka tidak tahu di mana hati mereka berada. Apakah orang-orang semacam itu memiliki hati? Bagaimana engkau semua dapat mengetahui apakah seseorang memiliki hati atau tidak? Jika seseorang yang percaya kepada Tuhan jarang membaca firman Tuhan, apakah dia memiliki hati? Jika dia tidak pernah berdoa kepada Tuhan, apa pun yang terjadi, apakah dia memiliki hati? Jika dia tidak pernah mencari kebenaran, apa pun kesulitan yang dia hadapi, apakah dia memiliki hati? Ada orang-orang yang melaksanakan tugas mereka selama bertahun-tahun tanpa mendapatkan hasil yang jelas, apakah mereka memiliki hati? (Tidak.) Dapatkah orang yang tidak memiliki hati melaksanakan tugas mereka dengan baik? Bagaimana orang dapat melaksanakan tugas mereka dengan segenap hati? Pertama-tama, engkau harus memikirkan tanggung jawab. "Ini adalah tanggung jawabku, aku harus memikulnya. Aku tidak bisa melarikan diri sekarang saat aku sangat dibutuhkan. Aku harus melaksanakan tugasku dengan baik dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan." Ini berarti engkau memiliki dasar teoretis. Namun, apakah dengan hanya memiliki dasar teoretis berarti engkau melaksanakan tugasmu dengan segenap hatimu? (Tidak.) Engkau masih jauh dari memenuhi tuntutan Tuhan untuk masuk ke dalam kenyataan kebenaran dan melaksanakan tugasmu dengan segenap hatimu. Jadi, apa yang dimaksud dengan melaksanakan tugasmu dengan segenap hatimu? Bagaimana orang dapat mulai melaksanakan tugas mereka dengan segenap hati mereka? Pertama-tama, engkau harus berpikir, "Untuk siapa aku melaksanakan tugas ini? Apakah aku melaksanakannya untuk Tuhan, atau gereja, atau seseorang?" Hal ini harus diketahui dengan jelas. Selain itu: "Siapa yang memercayakan tugas ini kepadaku? Apakah Tuhan, atau pemimpin atau gereja?" Hal ini juga perlu diperjelas. Ini mungkin tampak seperti hal kecil, tetapi kebenaran harus tetap dicari untuk menyelesaikannya. Katakan kepada-Ku, apakah pemimpin atau pekerja, atau gereja tertentu, yang menugaskanmu? (Tidak.) Itu bagus, asalkan hatimu yakin akan hal itu. Engkau harus menegaskan bahwa Tuhanlah yang memberimu tugas. Mungkin kelihatannya tugas itu diberikan kepadamu oleh seorang pemimpin gereja, tetapi sebenarnya, semua itu berasal dari pengaturan Tuhan. Mungkin ada kalanya hal itu jelas berasal dari kehendak manusia, tetapi meskipun begitu, engkau harus terlebih dahulu menerimanya dari Tuhan. Itulah cara yang tepat untuk mengalaminya. Jika engkau menerimanya dari Tuhan, dan dengan sengaja tunduk pada pengaturan-Nya, dan mengambil langkah untuk menerima amanat-Nya, jika engkau menjalaninya seperti itu, engkau akan memiliki bimbingan dan pekerjaan Tuhan. Jika engkau terus-menerus meyakini bahwa segala sesuatu dilakukan oleh manusia dan berasal dari manusia, jika engkau mengalami hal-hal seperti ini, engkau tidak akan memperoleh berkat Tuhan atau pekerjaan-Nya, karena engkau terlalu licik untuk itu, sangat tidak memiliki pemahaman rohani. Engkau tidak memiliki pola pikir yang benar. Jika engkau memperlakukan segala sesuatu dengan gagasan dan imajinasi manusia, engkau tidak akan memiliki pekerjaan Roh Kudus, karena Tuhanlah yang mengendalikan segala hal. Siapa pun yang diatur oleh rumah Tuhan untuk melaksanakan tugas apa pun, itu berasal dari kedaulatan dan pengaturan Tuhan, serta ada kebaikan Tuhan di dalamnya. Engkau harus memahami hal ini terlebih dahulu. Sangat penting untuk memahaminya dengan jelas; memahami doktrin saja tidak cukup. Engkau harus yakin dalam hatimu, "Tugas ini dipercayakan kepadaku oleh Tuhan. Aku melaksanakan tugasku untuk Tuhan, bukan untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain. Ini adalah tugasku sebagai makhluk ciptaan, dan ini dipercayakan kepadaku oleh Tuhan." Karena tugas ini dipercayakan kepadamu oleh Tuhan, bagaimana Tuhan memercayakannya kepadamu? Apakah ini berkaitan dengan melakukan segala sesuatu dengan segenap hatimu? Apakah perlu untuk mencari kebenaran? Engkau harus mencari kebenaran, tuntutan, standar, dan prinsip-prinsip dari tugas yang dipercayakan Tuhan kepadamu, dan apa yang firman Tuhan katakan. Jika firman-Nya disampaikan dengan cukup jelas, maka inilah waktunya bagimu untuk merenungkan bagaimana cara menerapkannya dan mewujudkannya. Engkau juga harus bersekutu dengan orang-orang yang memahami kebenaran, dan kemudian bertindak berdasarkan tuntutan Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan melakukannya dengan segenap hatimu. Selain itu, misalkan sebelum engkau melaksanakan tugasmu, engkau mencari maksud Tuhan, mulai memahami kebenaran, dan mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi ketika tiba waktunya untuk bertindak, ada perbedaan dan pertentangan di antara pemikiranmu dan prinsip-prinsip kebenaran. Jika hal ini terjadi, apa yang harus kaulakukan? Engkau harus berpegang pada prinsip melaksanakan tugasmu dengan segenap hatimu, dan mengerahkan segenap hatimu untuk tunduk kepada Tuhan dan memuaskan-Nya, tanpa ketidakmurnian pribadi apa pun, dan tentu saja tidak bertindak sesuai kehendakmu sendiri. Ada orang-orang yang berkata, "Aku tidak peduli dengan hal-hal itu. Bagaimanapun juga, tugas ini dipercayakan kepadaku, jadi akulah yang harus menjadi penentu keputusan. Aku memiliki hak untuk bertindak atas inisiatifku sendiri, aku akan melakukan apa yang menurutku harus dilakukan. Aku masih melaksanakan tugasku dengan segenap hatiku, jadi kesalahan apa yang bisa temukan?" Dan kemudian, mereka berupaya lebih keras untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan. Meskipun pekerjaan tersebut pada akhirnya diselesaikan, apakah metode penerapan dan keadaan ini benar? Apakah ini yang dimaksud dengan melaksanakan tugas mereka dengan segenap hati? (Tidak.) Apa masalahnya di sini? Ini adalah kecongkakan, bertindak sekehendak hati, serta bertindak semaunya dan sembrono. Apakah ini yang dimaksud dengan melaksanakan tugas mereka? (Tidak.) Ini adalah mengurus urusan mereka sendiri, bukan melaksanakan tugas mereka. Mereka hanya melakukan apa yang memuaskan dan apa yang mereka sukai berdasarkan kehendak mereka sendiri, ini bukan melaksanakan tugas mereka dengan segenap hati.

Aku baru saja membahas tentang bakat dan karunia secara khusus. Apakah bakat dan karunia ini termasuk pengetahuan? Apakah ada perbedaan antara pengetahuan dan bakat? Bakat mengacu pada keterampilan. Ini bisa berupa bidang di mana seseorang lebih menonjol daripada orang lain, bagian dari kualitasnya yang lebih menonjol, yang paling mahir mereka lakukan, atau keterampilan yang di mana mereka relatif kompeten dan berpengalaman. Semua ini disebut bakat dan karunia. Apa arti pengetahuan? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengetahuan? Jika seorang cendekiawan telah belajar selama bertahun-tahun, membaca banyak karya-karya klasik, telah mempelajari suatu profesi atau bidang ilmu tertentu secara mendalam, telah memperoleh hasil, dan memiliki keahlian yang spesifik dan mendalam, apakah ini ada hubungannya dengan bakat dan karunia? Dapatkah pengetahuan dimasukkan dalam kategori bakat? (Tidak.) Jika seseorang menggunakan bakat untuk melakukan pekerjaannya, mungkin dia adalah orang kasar dan berasal dari pedesaan, tidak berpendidikan tinggi, belum pernah membaca buku-buku terkenal apa pun, atau bahkan tidak mampu memahami Alkitab, tetapi mereka mungkin masih memiliki sedikit kualitas, dan dapat berbicara dengan fasih. Apakah ini sebuah bakat? (Ya.) Orang ini memiliki bakat seperti itu. Apakah ini berarti mereka memiliki pengetahuan? (Tidak.) Jadi, apa yang dimaksud dengan pengetahuan? Bagaimana mendefinisikannya? Sebagai contoh, jika seseorang pernah menempuh pendidikan, apakah dia memiliki pengetahuan tentang profesi tersebut? Hal-hal seperti bagaimana mengajar orang, bagaimana cara menyampaikan pengetahuan kepada orang lain, pengetahuan apa yang harus disampaikan, dan sebagainya? Mereka memiliki pengetahuan di bidang ini, lalu apakah mereka seorang intelektual di bidang ini? Dapatkah mereka disebut sebagai orang berbakat yang memiliki pengetahuan di bidang ini? (Ya.) Mari kita gunakan ini sebagai contoh, jika seseorang adalah seorang intelektual yang bergelut dalam pendidikan, apa yang biasanya akan dilakukan orang seperti itu ketika mereka bekerja atau memimpin gereja? Apa tindakan yang biasa mereka lakukan? Apakah mereka berbicara kepada semua orang seperti seorang guru berbicara kepada seorang murid? Nada bicara yang mereka gunakan tidaklah penting, yang penting adalah apa yang mereka tanamkan dalam diri orang lain dan ajarkan kepada orang lain. Mereka telah hidup berdasarkan pengetahuan ini selama bertahun-tahun, dan pengetahuan ini pada dasarnya telah menjadi bagian dari kehidupan mereka, sampai-sampai dalam setiap aspek perilaku atau kehidupan mereka, engkau dapat melihat bahwa mereka memiliki pengetahuan tersebut dan menjalankan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Ini sangat normal untuk dilihat. Lalu, apa yang sering diandalkan oleh orang-orang seperti ini untuk melakukan pekerjaan mereka? Mereka mengandalkan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Misalnya, mereka mendengar seseorang berkata, "Aku tidak bisa membaca firman Tuhan. Aku memegangnya di tanganku, tetapi aku tidak tahu cara membacanya. Bagaimana aku akan bisa mengetahui apa yang dimaksud dengan kebenaran, jika aku tidak bisa membaca firman Tuhan? Bagaimana aku bisa memahami maksud-Nya, jika aku tidak bisa membaca firman-Nya?" Mereka berkata, "Aku tahu caranya, aku memiliki pengetahuan, jadi aku dapat membantumu. Bab ini terbagi menjadi empat paragraf. Biasanya, jika artikelnya berbentuk narasi, ada enam unsur: waktu, tempat, tokoh, penyebab peristiwa, proses pengembangan, dan kesimpulan. Waktu saat bab firman Tuhan ini diterbitkan adalah pada akhir Oktober 2011. Ini adalah unsur pertama. Mengenai tokoh-tokohnya, bab firman Tuhan ini menyebutkan 'Aku', jadi orang pertama adalah Tuhan, dan kemudian Tuhan menyebutkan 'engkau semua', yang merujuk pada kami. Kemudian firman Tuhan menganalisis keadaan beberapa orang; beberapa keadaan adalah keadaan yang memberontak dan congkak, yang mengacu pada orang-orang yang congkak dan memberontak, yang tidak melakukan pekerjaan nyata, yang melakukan kejahatan dan orang jahat. Hal yang terjadi adalah orang-orang melakukan hal-hal yang jahat. Ada juga beberapa hal lain yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda." Apa pendapatmu tentang metode kerja ini? Adalah hal yang baik bahwa mereka dengan penuh kasih membantu orang lain, tetapi apa dasar dari tindakan mereka? (Pengetahuan.) Mengapa Aku memberikan contoh ini? Untuk membantu orang memahami dengan lebih jelas apa itu pengetahuan. Ada orang-orang yang tidak tahu cara membaca firman Tuhan, tetapi mereka menerima pendidikan dan mungkin berprestasi baik dalam mata pelajaran humaniora di sekolah, sehingga mereka mungkin membuka halaman firman Tuhan, membaca, dan berkata, "Bagian firman Tuhan ini diungkapkan dengan begitu baik! Pada bagian pertama, Tuhan berbicara dengan terus terang, dan pada bagian kedua, nada bicaranya menunjukkan sedikit kemegahan dan murka. Pada bagian ketiga, semuanya disingkapkan secara spesifik dan jelas. Beginilah seharusnya firman Tuhan. Bagian keempat, ringkasan umum, memberikan jalan penerapan kepada orang-orang. Firman Tuhan itu sempurna!" Apakah kesimpulan dan ringkasan firman Tuhan mereka berasal dari pengetahuan? (Ya.) Meskipun contoh ini mungkin tidak terlalu tepat, apa yang Aku ingin agar engkau semua pahami dengan mengatakan ini? Aku ingin engkau semua melihat dengan jelas keburukan dari menggunakan pengetahuan untuk memperlakukan firman Tuhan. Itu menjijikkan. Orang-orang semacam itu mengandalkan pengetahuan untuk membaca firman Tuhan, jadi dapatkah mereka mengandalkan kebenaran untuk melakukan segala sesuatu? (Tidak.) Tentu saja tidak.

Apa ciri orang yang hidup berdasarkan pengetahuan dalam melakukan sesuatu? Pertama-tama, apa kelebihan yang mereka pikir mereka miliki? Pengetahuan dan pengajaran mereka, fakta bahwa mereka adalah seorang intelektual, dan fakta bahwa mereka pernah bekerja di industri berbasis pengetahuan. Kaum intelektual memiliki gaya, ciri, dan pola intelektual ketika mereka melakukan segala sesuatu, sehingga mau tidak mau mereka memberikan semacam kesan intelektual pada hal-hal yang mereka lakukan, yang membuat orang lain mengagumi mereka. Begitulah cara kaum intelektual melakukan segala sesuatu; mereka selalu berfokus pada kesan intelektual itu. Betapapun lemah dan lembutnya penampilan luar mereka, hal-hal di dalam diri mereka tentu saja tidak lemah atau lembut, dan mereka selalu memiliki pandangan mereka sendiri tentang segala sesuatu. Dalam segala hal, mereka selalu ingin pamer, menggunakan kecerdasan mereka, menganalisis dan menangani segala sesuatu berdasarkan pandangan, sikap, dan pola pikir pengetahuan. Kebenaran adalah sesuatu yang asing bagi mereka, dan itu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk mereka terima. Oleh karena itu, sikap pertama orang semacam itu terhadap kebenaran adalah menganalisisnya. Apa dasar analisis mereka? Pengetahuan. Aku akan memberimu sebuah contoh. Apakah orang yang pernah belajar penyutradaraan memiliki pengetahuan tentang penyutradaraan? Entah engkau pernah mempelajari penyutradaraan secara sistematis melalui buku-buku, atau mempelajarinya secara praktis dan melakukan pekerjaan semacam itu atau tidak, singkatnya, engkau telah menguasai pengetahuan di bidang ini. Entah engkau telah mempelajari penyutradaraan secara mendalam atau hanya secara dangkal, jika engkau menggeluti pekerjaan penyutradaraan di dunia orang-orang tidak percaya, pengetahuan yang kauperoleh di bidang ini atau pengalamanmu dalam penyutradaraan akan sangat berguna dan berharga. Namun, apakah dengan memiliki pengetahuan seperti ini berarti engkau pasti mampu mengerjakan pekerjaan pembuatan film rumah Tuhan dengan baik? Dapatkah pengetahuan yang telah kauperoleh benar-benar membantumu menggunakan film untuk bersaksi tentang Tuhan? Belum tentu. Jika engkau terus menekankan pada apa yang diajarkan buku-buku teks dan aturan serta tuntutan dari pengetahuan industri, dapatkah engkau melaksanakan tugasmu dengan baik? (Tidak.) Bukankah ada pertentangan atau konflik di sini? Ketika prinsip-prinsip kebenaran bertentangan dengan aspek pengetahuan ini, bagaimana engkau menyelesaikannya? Apakah engkau menerima pengetahuanmu sebagai penuntunmu, atau sebagai prinsip-prinsip kebenaran? Dapatkah engkau semua menjamin bahwa setiap pengambilan gambar, setiap adegan, dan setiap bagian yang kaurekam tidak dicemari dengan pengetahuan, atau bahwa itu mengandung sangat sedikit pencemaran dari pengetahuanmu, dan bahwa itu sepenuhnya sesuai dengan standar dan prinsip-prinsip yang dituntut oleh rumah Tuhan? Jika hal ini tidak memungkinkan, maka tak ada satu pun dari pengetahuan yang kauperoleh akan berguna di rumah Tuhan. Renungkanlah, apa gunanya pengetahuan? Pengetahuan apa yang berguna? Pengetahuan macam apa yang bertentangan dengan kebenaran? Apa yang diberikan oleh pengetahuan kepada manusia? Ketika manusia memperoleh lebih banyak pengetahuan, apakah mereka menjadi lebih saleh dan memiliki hati yang lebih takut akan Tuhan, atau apakah mereka menjadi lebih congkak dan merasa diri benar? Setelah memperoleh pengetahuan lebih, manusia menjadi rumit, dogmatis, congkak. Ada hal lain yang fatal yang mungkin tidak mereka sadari: Ketika mereka telah memperoleh banyak pengetahuan, manusia menjadi kacau di dalam dirinya, dan tidak memiliki prinsip, dan makin banyak pengetahuan yang mereka peroleh, makin kacau pula mereka. Dalam pengetahuan, dapatkah ditemukan jawaban atas pertanyaan mengapa manusia hidup dan nilai serta makna keberadaan manusia? Dapatkah kesimpulan ditemukan tentang dari mana manusia berasal dan ke mana mereka pergi? Dapatkah pengetahuan memberitahumu bahwa engkau berasal dari Tuhan dan diciptakan oleh Tuhan? (Tidak.) Jadi, apa tepatnya yang tercakup dalam studi pengetahuan atau yang ditanamkan dalam diri orang-orang oleh pengetahuan? Atau hal-hal apa yang sebenarnya ditanamkan oleh pengetahuan di dalam mereka? Hal-hal materiel, hal-hal yang bersifat ateis, hal-hal yang dapat dilihat oleh manusia dan yang dapat dikenali oleh pikiran, banyak di antaranya muncul dari imajinasi manusia dan sama sekali tidak praktis. Pengetahuan juga menanamkan falsafah, ideologi, teori, hukum alam, dan sebagainya ke dalam diri manusia, tetapi ada banyak hal yang tidak dapat dijelaskan. Misalnya, bagaimana kilat dan guntur terbentuk, atau mengapa musim berubah. Dapatkah pengetahuan memberimu jawaban yang benar? Mengapa iklim saat ini berubah dan menjadi tidak normal? Dapatkah pengetahuan menjelaskan hal ini dengan jelas? Dapatkah pengetahuan menyelesaikan masalah ini? (Tidak.) Pengetahuan tidak dapat memberitahumu tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan sumber segala sesuatu, jadi pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah itu. Ada juga orang yang bertanya, "Mengapa seseorang bisa hidup kembali setelah mati?" Sudahkah pengetahuan memberimu jawaban untuk pertanyaan ini? (Tidak.) Jadi, apa yang diberitahukan pengetahuan itu kepadamu? Pengetahuan itu memberi tahu manusia tentang banyak kebiasaan dan aturan. Contohnya, gagasan bahwa orang-orang harus membesarkan anak mereka dan menunjukkan rasa hormat kepada orang tua mereka adalah semacam pengetahuan tentang kehidupan manusia. Dari mana asalnya pengetahuan ini? Itu diajarkan oleh budaya tradisional. Lalu, apa yang diberikan oleh semua pengetahuan ini kepada manusia? Apa inti dari pengetahuan? Di dunia ini, ada banyak orang yang telah membaca buku-buku klasik, memperoleh pendidikan tinggi, berpengetahuan luas, atau yang telah menguasai bidang pengetahuan khusus. Jadi, dalam perjalanan hidup, apakah orang-orang semacam itu memiliki arah dan tujuan yang benar? Apakah mereka memiliki dasar dan prinsip untuk perilaku mereka? Selain itu, apakah mereka tahu cara menyembah Tuhan? (Tidak.) Dan lebih lanjut, apakah mereka memahami setiap unsur kebenaran? (Tidak.) Jadi, apakah pengetahuan itu? Apa yang diberikan pengetahuan kepada manusia? Orang-orang mungkin memiliki sedikit pengalaman tentang hal ini. Dahulu, ketika orang-orang tidak memiliki pengetahuan, hubungan antara mereka masih sederhana. Apakah sekarang masih sederhana setelah orang memperoleh pengetahuan? Pengetahuan membuat manusia makin rumit dan tidak lagi murni. Pengetahuan membuat manusia makin tidak memiliki kemanusiaan yang normal dan tidak memiliki tujuan hidup. Makin banyak pengetahuan yang manusia peroleh, makin jauh mereka dari Tuhan. Makin banyak mereka memperoleh pengetahuan, makin mereka menolak kebenaran dan firman Tuhan. Makin banyak pengetahuan yang orang miliki, makin orang menjadi ekstrem, keras kepala, dan tidak masuk akal. Dan apa akibatnya? Makin lama dunia menjadi makin gelap dan makin jahat.

Kita baru saja membahas bagaimana konflik atau pertentangan antara penerapan pengetahuan dan prinsip-prinsip kebenaran harus diselesaikan ketika mereka muncul. Apa yang engkau semua lakukan setiap kali berada dalam situasi seperti ini? Beberapa di antaramu akan menawarkan doktrin: "Apa sulitnya melakukan penerapan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran? Apa yang tidak bisa dilepaskan?" Namun, ketika sesuatu terjadi padamu, engkau terus melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, mengikuti kehendakmu sendiri, serta gagasan dan imajinasimu, dan meskipun ada kalanya ketika engkau ingin menerapkan kebenaran dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsipnya, engkau sama sekali tidak mampu melakukannya, apa pun yang terjadi. Semua orang tahu bahwa, secara doktrin, bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran adalah hal yang benar; mereka tahu bahwa pengetahuan pasti tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, dan ketika keduanya bertentangan atau berlawanan, mereka harus mulai dengan melakukan penerapan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran dan melepaskan pengetahuan mereka. Namun, apakah kenyataannya sesederhana itu? (Tidak.) Tidak, tidak sesederhana itu. Jadi, kesulitan apa yang ada ketika melakukan penerapan? Bagaimana seharusnya seseorang melakukan penerapan agar mampu bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran? Ini adalah masalah-masalah nyata, bukan? Bagaimana cara mengatasinya? Yang terutama dan terpenting, orang harus tunduk. Namun, manusia memiliki watak yang rusak, dan terkadang, mereka tidak mampu membuat diri mereka tunduk. Mereka berkata, "'Kita bisa menuntun kuda ke air, tetapi kita tidak bisa membuatnya minum'—berusaha membuatku tunduk adalah salah satu contohnya, bukan? Apa salahnya bertindak berdasarkan kekuatan pengetahuanku? Jika kau bersikeras agar aku bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran, aku tidak mau tunduk." Apa yang kaulakukan pada saat-saat seperti ini, jika watak yang memberontak siap untuk menimbulkan masalah? (Berdoa.) Terkadang, doa tidak dapat menyelesaikan masalah. Sikap dan pola pikirmu mungkin sedikit lebih baik setelah berdoa, dan engkau mungkin mengubah sebagian dari keadaanmu, tetapi jika engkau tidak memahami atau kurang jelas tentang prinsip-prinsip kebenaran yang relevan, ketundukanmu mungkin hanya menjadi sekadar formalitas belaka. Pada saat-saat seperti ini, engkau perlu memahami kebenaran, mencari kebenaran yang relevan, dan berusaha untuk dapat mengetahui manfaat apa yang diterima pekerjaan rumah Tuhan dari tindakanmu, dari kesaksian tentang Dia, dan dari penyebarluasan firman-Nya. Engkau harus memiliki hati yang jernih mengenai hal-hal ini. Apa pun tugasmu, apa pun yang kaulakukan, engkau harus mulai dengan memikirkan pekerjaan dan kepentingan rumah Tuhan, menyebarluaskan firman Tuhan, atau apa yang ingin kaucapai dalam pelaksanaan tugasmu. Itu menjadi prioritas pertama. Tidak pernah ada ruang untuk ambiguitas mengenai hal ini, ataupun untuk kompromi. Jika engkau berkompromi pada saat-saat seperti ini, itu berarti engkau tidak sedang melaksanakan tugasmu dengan sungguh-sungguh, dan engkau tidak sedang menerapkan kebenaran, dan yang lebih buruk lagi, dapat dikatakan bahwa engkau sedang mengurus urusanmu sendiri. Engkau sedang melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri dan bukannya melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Jika orang ingin menyelesaikan amanat Tuhan dan melaksanakan tugas manusia dengan baik, kebenaran yang harus mereka pahami dan terapkan terlebih dahulu adalah bahwa mereka harus memenuhi maksud Tuhan. Engkau harus memiliki visi ini. Melaksanakan tugas bukanlah tentang melaksanakan sesuatu untuk dirimu sendiri atau mengurus urusanmu sendiri, apalagi bersaksi tentang dirimu sendiri dan mempromosikan dirimu sendiri, juga bukan tentang ketenaran, keuntungan, dan statusmu. Itu bukanlah tujuanmu. Sebaliknya, ini adalah tentang melaksanakan tugasmu dengan baik dan memberi kesaksian tentang Tuhan; ini tentang memikul tanggung jawabmu dan memuaskan Tuhan; ini adalah tentang hidup dalam hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal, hidup dengan keserupaan dengan manusia, hidup di hadapan Tuhan. Dengan pola pikir yang benar seperti ini, orang dapat dengan mudah melewati rintangan hidup berdasarkan pengetahuannya. Sekalipun masih ada beberapa tantangan, tantangan tersebut akan perlahan-lahan berubah selama proses ini, dan keadaan akan berubah menjadi lebih baik. Jadi, seperti apa pengalamanmu saat ini? Apakah menjadi makin baik, atau malah stagnan? Jika engkau semua selalu bertindak berdasarkan pengetahuan dan otakmu, dan tidak pernah mencari prinsip-prinsip kebenaran, akankah engkau mampu bertumbuh dalam hidup? Sudahkah engkau semua sampai pada kesimpulan tentang hal itu? Tampaknya engkau semua masih cukup bingung tentang masalah jalan masuk kehidupan dan tidak memiliki prinsip-prinsip spesifik untuk itu, artinya engkau tidak memiliki pengalaman yang lebih dalam dan lebih sejati tentang prinsip-prinsip dan jalan untuk menerapkan kebenaran. Ada orang-orang yang selalu bertindak berdasarkan pengetahuan mereka, apa pun yang terjadi pada mereka. Mereka hanya mematuhi beberapa prinsip kebenaran dalam hal-hal besar dengan hal-hal sederhana, membiarkan pengetahuan mereka menjadi hal utama, sementara prinsip-prinsip kebenaran menjadi pelengkapnya. Mereka melakukan penerapan dengan cara yang dimediasi dan dikompromikan; mereka tidak secara tegas menuntut ketundukan penuh atau tindakan yang benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Apakah ini benar atau salah? Apa bahayanya melakukan penerapan seperti ini? Bukankah hal ini bisa saja menyimpang dari jalurnya, serta menentang Tuhan dan menyinggung watak-Nya? Inilah hal yang paling harus dipahami oleh orang-orang. Apakah sekarang jelas bagimu, apa perbedaan antara melaksanakan tugas di rumah Tuhan dengan mendapatkan pekerjaan dan menjalani kehidupan di dunia dengan asal-asalan? Apakah engkau memiliki kesadaran yang jelas akan hal itu di dalam hatimu? Engkau semua harus memikirkan masalah ini dan sering merenungkannya. Apa perbedaan terbesar di antara keduanya? Tahukah engkau? (Melaksanakan tugas di rumah Tuhan adalah tentang memperoleh kebenaran dan membawa perubahan pada watak kita yang rusak; mendapatkan pekerjaan di dunia adalah tentang kehidupan daging.) Hampir benar, tetapi ada satu hal yang tidak kausebutkan: melaksanakan tugas di rumah Tuhan berarti hidup berdasarkan kebenaran. Apa makna penting hidup berdasarkan kebenaran? Bagi manusia, makna pentingnya adalah bahwa watak mereka bisa berubah, dan pada akhirnya mereka dapat diselamatkan; bagi Tuhan, Dia bisa mendapatkanmu, sebagai makhluk ciptaan, dan mengakui bahwa engkau adalah ciptaan-Nya. Jadi, berdasarkan apakah orang hidup ketika mereka mendapatkan pekerjaan di dunia ini? (Berdasarkan falsafah Iblis.) Berdasarkan falsafah Iblis, secara umum, ini berarti mereka hidup berdasarkan watak rusak Iblis. Sama halnya ketika engkau mencari ketenaran, keuntungan, dan status, atau kekayaan, atau untuk menjalani hari-harimu dan bertahan hidup, engkau hidup berdasarkan watak yang rusak. Ketika engkau mendapatkan pekerjaan di dunia ini, engkau harus memeras otak untuk berusaha menghasilkan uang. Untuk menaiki tangga menuju ketenaran, keuntungan, dan status, engkau harus bergantung sepenuhnya pada hal-hal seperti persaingan, pertengkaran, perjuangan, kekejaman, kedengkian, dan pembunuhan, itulah satu-satunya cara untuk tetap teguh. Untuk melaksanakan tugas di rumah Tuhan, engkau harus hidup berdasarkan firman Tuhan, dan engkau harus memahami kebenaran. Hal-hal negatif dari Iblis bukan saja tidak berguna, tetapi hal-hal itu juga harus dibuang. Tidak ada satu pun milik setan yang dapat dipertahankan. Jika seseorang hidup berdasarkan hal-hal yang jahat, dia harus dihakimi dan dihajar; jika seseorang hidup berdasarkan hal-hal Iblis dan tidak mau bertobat, dia harus disingkirkan dan ditinggalkan. Itulah perbedaan terbesar antara melaksanakan tugas di rumah Tuhan dan mendapatkan pekerjaan di dunia.

Ketika orang-orang hidup berdasarkan pengetahuan mereka, keadaan seperti apa yang mereka jalani? Apa yang paling dalam mereka alami? Segera setelah engkau mempelajari sesuatu di bidang tertentu, engkau merasa bahwa engkau cakap, bahwa engkau hebat, dan sebagai akibatnya, engkau dibelenggu oleh pengetahuanmu. Engkau telah memperlakukan pengetahuan sebagai hidupmu, dan ketika sesuatu terjadi padamu, pengetahuanmu itulah yang muncul, yang mengendalikanmu melakukan ini dan itu. Engkau ingin membuangnya, tetapi engkau tidak mampu, karena itu sudah terpatri di dalam hatimu, dan tidak ada hal lain yang dapat menggantikannya. Inilah yang dimaksud dengan "kesan yang pertama adalah kesan yang terakhir". Ada pengetahuan tertentu yang sebaiknya tidak dipelajari sama sekali. Mempelajarinya adalah sebuah beban dan masalah. Pengetahuan mencakup banyak bidang: pendidikan, hukum, sastra, matematika, kedokteran, biologi, dan sebagainya, yang semuanya berasal dari pengalaman langsung orang. Ini adalah bentuk-bentuk pengetahuan praktis; orang-orang tidak bisa hidup tanpanya, dan mereka harus mempelajarinya. Namun, ada bentuk-bentuk pengetahuan yang beracun bagi manusia, itu adalah racun Iblis, semuanya berasal dari Iblis. Contohnya, ilmu-ilmu sosial, yang ajarannya mencakup hal-hal seperti ateisme, materialisme, dan evolusionisme, serta Konfusianisme, komunisme, dan takhayul feodal: semua ini adalah bentuk negatif dari pengetahuan yang berasal dari Iblis, dan tujuan utamanya adalah untuk merasuki, merusak, dan memutarbalikkan pemikiran manusia, mengikat dan mengendalikan pemikiran manusia, hingga pada akhirnya merusak, merugikan, dan menghancurkan manusia. Sebagai contoh, mewariskan nama keluarga, bakti anak, dan membawa kehormatan bagi keluarga, serta rumus yang berbunyi, "Membina diri sendiri, mengurus keluarga, memerintah negara, membawa perdamaian bagi semua orang", semua ini adalah ajaran dari budaya tradisional. Dan selain semua ini, ada berbagai teori teologis, Buddha, Taoisme, dan agama modern di tengah masyarakat sipil. Semua ini juga termasuk dalam lingkup pengetahuan. Sebagai contoh, ada orang-orang yang pernah melayani sebagai pendeta atau pengkhotbah, atau mereka pernah belajar teologi. Apa gunanya memperoleh pengetahuan seperti itu? Apakah itu berkat atau kutukan? (Kutukan.) Bagaimana hal itu bisa menjadi sebuah kutukan? Jika orang-orang semacam itu tidak berbicara, maka biarlah, tetapi ketika mereka berbicara, doktrin agamawi yang keluar. Mereka selalu berusaha untuk mengkhotbahkan doktrin rohani; mereka menanamkan cara-cara hidup orang Farisi yang munafik dalam diri orang-orang, daripada membiarkan mereka memahami kebenaran. Pengetahuan teologis berfokus pada teori teologis. Apa ciri yang paling menonjol dari teori teologis? Itu menanamkan hal-hal dalam diri orang-orang yang mereka anggap rohani, dan setelah orang-orang menerima hal-hal rohani yang palsu tersebut, itulah kesan pertama dan terakhir mereka. Sekalipun engkau telah mendengarkan firman yang Tuhan ungkapkan, engkau tidak akan mampu memahaminya pada saat itu, dan engkau akan dibatasi oleh pengetahuan dan teori-teori orang Farisi. Ini adalah hal yang sangat berbahaya. Bukankah akan sulit bagi orang semacam itu untuk menerima kebenaran? Singkatnya, jika engkau hidup berdasarkan doktrin dan pengetahuan, dan jika engkau melaksanakan tugasmu dan bertindak dengan mengandalkan karunia-karuniamu, engkau mungkin mampu melakukan beberapa hal baik, seperti yang terlihat oleh orang lain. Namun, ketika engkau hidup dalam keadaan seperti itu, apakah engkau mengetahuinya? Dapatkah engkau menyadari bahwa engkau sedang hidup berdasarkan pengetahuanmu? Dapatkah engkau merasakan apa akibat yang dapat ditimbulkan oleh hidup berdasarkan pengetahuan? Pada akhirnya, bukankah hatimu akan merasa hampa dan merasa bahwa hidup seperti itu tidak ada artinya? Dan mengapa demikian? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab. Di situlah kita akan membahas masalah pengetahuan.

Kita baru saja membahas masalah pengetahuan dan karunia. Ada satu masalah lagi: banyak orang dari sejak percaya kepada Tuhan hingga saat ini tidak pernah mengetahui apa yang dimaksud dengan kebenaran, atau bagaimana mereka harus menerapkan dan mengejarnya. Selama ini, mereka telah hidup berdasarkan suatu keyakinan atau gagasan dan imajinasi manusia. Sederhananya, mereka hidup berdasarkan hal-hal yang mereka yakini benar. Mereka secara obsesif mematuhi hal-hal ini, dan bahkan menganggapnya sebagai kebenaran. Mereka menganggap bahwa selama mereka terus melakukan penerapan hingga akhir, mereka akan menjadi pemenang, dan mereka akan terus bertahan hidup sampai seterusnya. Mereka percaya kepada Tuhan berdasarkan gagasan kebajikan seperti itu. Mereka mampu menderita, dan meninggalkan keluarga serta karier mereka, dan melepaskan hal-hal yang mereka sukai, dan mereka merangkumnya dalam beberapa aturan, yang mereka terapkan seolah-olah itu adalah kebenaran. Sebagai contoh, ketika mereka melihat seseorang sedang mengalami kesulitan, atau keluarga seseorang sedang mengalami masa sulit, mereka akan mengulurkan tangan untuk membantu mereka. Mereka menanyakan keadaannya, merawatnya, dan menjaganya. Jika ada pekerjaan kasar atau pekerjaan yang harus segera diselesaikan, mereka akan secara proaktif melakukannya. Pekerjaan kasar dan harus segera diselesaikan tidak mengganggu mereka. Mereka tidak pilih-pilih. Mereka tidak berdebat dengan orang lain ketika menanganinya, dan mereka berupaya sebaik mungkin untuk hidup secara harmonis dengan siapa pun. Mereka tidak bertengkar dengan orang lain, dan mereka belajar bersikap baik dan toleran terhadap orang lain, sedemikian rupa sehingga setiap orang yang menghabiskan waktu bersama mereka akan berkata bahwa mereka adalah orang yang baik dan orang percaya sejati. Jika menyangkut Tuhan, mereka melakukan apa pun yang Dia perintahkan dan pergi ke mana pun yang Dia perintahkan. Mereka tidak menentang. Berdasarkan apa mereka hidup? (Semangat.) Ini bukan sekadar bentuk semangat yang sederhana, mereka hidup berdasarkan keyakinan yang mereka yakini benar. Orang-orang semacam itu tidak akan memahami kebenaran bahkan setelah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, mereka juga tidak tahu apa arti menerapkan kebenaran, atau apa arti tunduk kepada Tuhan, atau apa arti memuaskan Tuhan, atau apa arti mencari kebenaran, atau apa arti prinsip-prinsip kebenaran. Mereka tidak akan mengetahui hal-hal ini. Mereka bahkan tidak akan tahu apa itu orang yang jujur atau bagaimana menjadi orang yang jujur. Mereka percaya, "Yang harus kulakukan adalah hidup seperti ini dan terus mengikuti. Apa pun khotbah yang disampaikan rumah Tuhan, aku akan berteguh pada caraku melakukan segala sesuatu; seperti apa pun Tuhan memperlakukanku, aku tidak akan melepaskan kepercayaanku kepada-Nya atau meninggalkan-Nya. Aku mampu melaksanakan tugas apa pun yang diminta." Mereka meyakini bahwa mereka dapat diselamatkan dengan melakukan penerapan seperti ini. Namun sayang sekali, meskipun tidak memiliki masalah besar apa pun dengan sikap mereka, mereka tidak memahami kebenaran, bahkan setelah mendengarkan khotbah selama bertahun-tahun. Mereka tidak memahami kebenaran tentang ketundukan atau mengetahui bagaimana cara menerapkannya, mereka tidak memahami kebenaran tentang menjadi orang yang jujur, atau kebenaran tentang melaksanakan tugas dengan setia, atau apa arti bersikap asal-asalan. Mereka tidak tahu apakah mereka berbohong atau adalah orang yang suka menipu. Bukankah orang-orang semacam itu patut dikasihani? (Ya.) Berdasarkan apa mereka hidup? Dapatkah dikatakan bahwa mereka hidup dengan hati mereka yang murni dan polos? Mengapa dapat dikatakan demikian? Karena, sebagaimana yang mereka yakini, "Hatiku terbuka untuk dilihat semua orang. Ini tidak jelas bagi orang-orang; mereka tidak dapat melihatnya, tetapi Surga mengetahuinya." Seperti itulah "tulusnya" hati mereka: tak seorang pun dapat memahaminya, dan itu di luar jangkauan semua orang. Mengapa menyebut ini hati yang murni dan polos? Karena mereka memiliki suasana hati tertentu, suatu perasaan, dan mereka menggunakan perasaan pribadi atau angan-angan mereka untuk menafsirkan apa yang harus dilakukan orang yang percaya kepada Tuhan dan apa arti tugas. Mereka juga menggunakan perasaan seperti itu untuk menyusun tuntutan Tuhan. Mereka percaya, "Tuhan sebenarnya tidak menuntut agar manusia melakukan apa pun, atau menuntut mereka memiliki banyak keterampilan atau memahami banyak kebenaran. Sudah cukup bagi seseorang untuk memiliki hati yang murni dan polos. Sangat mudah untuk percaya kepada Tuhan, yang harus kaulakukan hanyalah terus bertindak dengan kekuatan hati yang murni dan polos". Namun, kebohongan, penentangan, pemberontakan, gagasan, atau pengkhianatan mereka tidak berhenti. Apa pun yang dia lakukan, dia tidak merasa bahwa hal itu penting, tetapi berpikir, "Aku memiliki hati yang mengasihi Tuhan. Tak seorang pun dapat merusak hubunganku dengan Tuhan, tak seorang pun dapat menyurutkan kasihku kepada Tuhan, dan tak seorang pun dapat memengaruhi kesetiaanku kepada Tuhan." Mentalitas macam apa ini? Mentalitas yang tidak masuk akal, bukan? Itu tidak masuk akal dan patut disayangkan. Ada keadaan dalam jiwa orang seperti itu, kering, miskin, dan menyedihkan. Mengapa "kering"? Karena ketika mereka dihadapkan pada sesuatu yang sederhana, misalnya, mereka telah berbohong, mereka tidak mengetahuinya atau menyadarinya. Mereka tidak merasa bersalah; mereka tidak memiliki perasaan apa pun. Mereka mengikuti Tuhan sampai sekarang tanpa standar pengukuran yang ketat dalam apa pun yang mereka lakukan. Mereka tidak tahu orang macam apa mereka, atau apakah mereka orang yang suka menipu, atau apakah mereka benar-benar mampu menjadi orang yang jujur, atau apakah mereka mampu tunduk pada tuntutan Tuhan atau tidak. Mereka tidak mengetahui satu pun dari hal-hal ini. Mereka sungguh menyedihkan, dan semangat mereka kering. Mengapa dikatakan semangat mereka kering? Karena mereka tidak tahu apa yang Tuhan tuntut dari mereka, atau mengapa mereka percaya kepada Tuhan, atau mereka harus berusaha menjadi orang seperti apa. Mereka tidak mengetahui tindakan apa yang tidak bernalar, atau tindakan apa yang melanggar prinsip-prinsip kebenaran. Mereka tidak tahu sikap apa yang harus diambil terhadap orang jahat dan sikap apa yang harus diambil terhadap orang baik; mereka tidak tahu dengan siapa mereka harus berinteraksi atau dengan siapa mereka harus mendekat. Ketika mereka menjadi negatif, mereka bahkan tidak tahu keadaan apa yang telah mereka alami. Itulah yang dimaksud dengan semangat yang kering. Apakah engkau semua seperti ini? (Ya.) Aku tidak suka mendengar jawabanmu, tetapi keadaan seperti itulah yang engkau semua miliki. Engkau selalu bersikap emosional, dan tak seorang pun tahu kapan itu akan berubah.

Apa yang dimaksud dengan bersikap emosional? Kita akan melihat sebuah contoh. Ada orang-orang yang merasa dirinya sangat mengasihi Tuhan. Secara khusus, dia merasa sangat terhormat dan sekaligus diberkati karena telah dilahirkan pada akhir zaman, karena telah menerima tahap pekerjaan Tuhan ini, dan karena mampu mendengar firman-Nya dengan telinga mereka sendiri dan mengalami pekerjaan-Nya secara langsung. Akibatnya, dia berpikir bahwa dia harus menemukan cara untuk mengungkapkan hatinya yang murni dan polos. Dan bagaimana dia melakukannya? Emosinya muncul ke permukaan, semangatnya siap meledak, dia menjadi sedikit tidak rasional, dan emosinya makin tidak normal. Dan perilakunya yang buruk muncul dari situ. Kembali ke Tiongkok daratan, dia berada dalam lingkungan yang buruk karena kepercayaannya kepada Tuhan, dan dia menjalani kehidupan yang penuh penindasan. Dia bersemangat pada waktu itu, dan ingin berseru, "Tuhan Yang Mahakuasa, aku mengasihi-Mu!" Namun, tidak ada tempat untuk melakukan hal tersebut, dia tidak dapat melakukannya karena takut ditangkap. Sekarang dia berada di luar negeri dan bebas untuk percaya; akhirnya dia memiliki tempat untuk melampiaskan hatinya yang murni dan polos. Dia harus mengungkapkan betapa dia mengasihi Tuhan. Jadi, dia pergi ke jalan dan mencari tempat yang tidak banyak orang di sekitarnya, di mana dia akan berseru sesuka hatinya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, dia merasa seakan-akan tidak memiliki kepercayaan diri untuk melanjutkan. Dia melihat pemandangan di sekitarnya dan dia tidak bisa berseru. Apa yang ada dalam pikirannya? "Ini tidak akan berhasil. Tidaklah cukup hanya memiliki hati yang murni dan polos. Aku belum memiliki hati yang mengasihi Tuhan. Pantas saja aku tidak bisa menyerukan apa pun." Jadi, dengan sedih dan kesakitan, dia pulang ke rumah dan berdoa sambil menangis kepada Tuhan, "Ya Tuhan, aku tidak berani berseru 'Aku mengasihi-Mu' ketika aku berada dalam lingkungan yang tidak memungkinkan. Sekarang, aku berada dalam lingkungan yang memungkinkan, tetapi aku tetap tidak memiliki kepercayaan diri. Aku tak bisa berseru. Tampaknya tingkat pertumbuhan dan kepercayaan diriku terlalu rendah. Aku tidak memiliki kehidupan." Sejak saat itu, dia berdoa mengenai masalah ini, dan membuat persiapan, dan berupaya keras untuk masalah ini. Dia sering membaca firman Tuhan dan tersentuh hingga meneteskan air mata karenanya, dan emosi serta semangatnya muncul dan menumpuk di dalam hatinya. Hal ini berlangsung hingga suatu hari, dia merasa emosinya sudah cukup penuh sehingga dia dapat pergi ke lapangan umum yang berkapasitas beberapa ribu orang dan berseru, "Aku mengasihi-Mu, Tuhan Yang Mahakuasa" di depan orang banyak. Namun, ketika dia pergi ke lapangan tersebut dan melihat semua orang di sana, dia tidak bisa berseru. Mungkin dia tetap belum menyerukannya sampai sekarang. Namun, entah dia menyerukan atau tidak, apa artinya? Apakah berseru seperti itu berarti menerapkan kebenaran? Apakah itu kesaksian bagi Tuhan? (Tidak.) Jadi, mengapa dia ingin berseru seperti itu? Dia meyakini bahwa seruannya akan lebih kuat dan lebih efektif daripada metode lain dalam menyebarluaskan firman Tuhan dan memberi kesaksian tentang Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan menjadi orang yang memiliki hati yang murni dan polos. Apakah itu hal yang baik atau buruk bagi seseorang untuk memiliki emosi seperti itu? Apakah itu normal atau tidak normal? Dapatkah ini digolongkan dalam lingkup kemanusiaan yang normal? (Tidak.) Mengapa tidak? Apa tujuan Tuhan membuat manusia melaksanakan tugas dan membuat mereka memahami serta menerapkan kebenaran? Apakah untuk meningkatkan emosi orang untuk mengasihi Dia atau melaksanakan tugas mereka? (Tidak.) Apakah engkau semua terkadang memiliki emosi seperti itu, atau mungkin sering? (Ya.) Ketika engkau memilikinya, apakah engkau merasa emosi-emosi tersebut muncul secara tiba-tiba dan tidak normal, atau bahwa mereka sulit untuk ditahan? Engkau harus mengendalikannya, betapapun sulitnya untuk menahannya. Bagaimanapun juga, semua ini hanyalah emosi, bukan pencapaian yang diperoleh setelah orang-orang memahami dan menerapkan kebenaran, atau setelah mereka mengikuti jalan Tuhan. Semua itu adalah keadaan yang tidak normal. Dapatkah keadaan yang tidak normal ini digolongkan ke dalam sikap keras kepala yang radikal? Itu tergantung pada situasi dan tingkatnya. Ada tingkatan yang berbeda-beda; ada yang dapat digolongkan ke dalam sikap keras kepala yang radikal, dan ada yang sampai ke tingkat yang tidak masuk akal. Adalah hal yang normal jika seseorang memperlihatkan sedikit suasana hati ini sewaktu-waktu. Lalu, perwujudan seperti apa yang tidak normal? Melakukan sesuatu karena emosi yang tidak dapat dikendalikan. Ketika seseorang menjalani kesehariannya dan berusaha keras demi hal itu, membaca firman Tuhan dan memberitakan Injil demi hal itu juga, dan melakukan setiap dan semua tugas demi hal itu. Ketika segala sesuatu berkisar pada hal itu, dan itu menjadi nilai dan makna penting dari keberadaan dan kehidupan mereka, itu adalah masalah. Tujuan dan arah orang tersebut menjadi menyimpang. Orang-orang yang hidup dengan hati yang murni dan polos memiliki perilaku yang buruk. Ada sesuatu yang keras kepala dalam dirinya, dan dia memiliki emosi yang tidak normal. Jika seseorang hidup berdasarkan hal-hal ini dan sering kali hidup dalam keadaan seperti itu, dapatkah dia memahami kebenaran? (Tidak.) Jika dia tidak mampu memahami kebenaran, bagaimana mentalitasnya ketika mendengarkan khotbah? Apa niat yang dimilikinya ketika membaca firman Tuhan? Dapatkah seseorang yang selalu percaya kepada Tuhan dengan hati yang murni dan polos serta ritual keagamaan memahami dan memperoleh kebenaran? (Tidak.) Mengapa tidak? Semua yang dia lakukan tidak didasarkan pada kebenaran, tetapi pada teori agamawi serta gagasan dan khayalan. Ini juga bukan tentang mengejar dan menerapkan kebenaran. Dia sama sekali tidak peduli tentang apa sebenarnya kebenaran itu atau apa yang firman Tuhan katakan. Dia tidak memedulikan hal itu, seolah-olah yang dia butuhkan untuk percaya kepada Tuhan hanyalah hati yang murni dan polos, seolah-olah yang perlu dia lakukan hanyalah menangani berbagai hal dan mengerahkan upaya di gereja. Sesederhana itulah baginya. Dia tidak mengerti apa artinya memahami dan menerapkan kebenaran, atau apa yang harus dikejar agar dapat diselamatkan. Terkadang dia mungkin memikirkan hal-hal ini, tetapi dia sama sekali tidak mampu memahaminya. Sepanjang waktu, dia berpikir, "Selama aku memiliki semangat, mencapai tingkat emosi yang tinggi, dan mampu bertahan hingga akhir, aku mungkin dapat diselamatkan," dan akibatnya, terbawa oleh emosinya yang meningkat, dia hanya melakukan hal-hal yang bodoh, hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Pada akhirnya, dia disingkapkan dan disingkirkan. Tampaknya emosi yang meningkat bukanlah hal yang baik.

Ada keadaan lain yang cukup mengerikan jika hidup berdasarkan hati yang murni dan polos, yaitu ada orang-orang yang selalu mengandalkan semangat untuk percaya kepada Tuhan. Api di dalam hatinya tidak pernah padam; dia menganggap bahwa yang dia perlukan untuk percaya kepada Tuhan hanyalah hati yang murni dan polos. Dia berpikir, "Aku tidak perlu memahami kebenaran, aku tidak perlu memeriksa diriku sendiri, dan aku tidak perlu datang ke hadapan Tuhan untuk mengakui dosa-dosaku dan bertobat, dan tentu saja, aku tidak perlu menerima penghakiman, hajaran, pemangkasan, atau kecaman dan kritik dari siapa pun. Aku tidak membutuhkan hal-hal itu. Yang kubutuhkan hanyalah hati yang murni dan polos." Inilah prinsip kepercayaannya kepada Tuhan. Dia berpikir, "Aku tidak harus menerima penghakiman dan hajaran. Cukup bagiku untuk merasa bangga akan diriku sendiri. Aku percaya Tuhan pasti senang dengan perbuatanku itu. Jika aku bahagia, maka Tuhan pun bahagia, itu saja yang penting. Aku akan diselamatkan jika aku percaya kepada Tuhan dengan cara seperti itu." Bukankah ini cara berpikir yang sangat naif? Dahulu engkau semua berada dalam keadaan seperti itu, bukan? (Ya.) Jika engkau semua hidup sampai akhir dalam keadaan seperti itu, tidak mampu melakukan reformasi apa pun, maka dapat dikatakan bahwa engkau semua tidak memahami kebenaran sedikit pun. Kebenaran tidak ada hubungannya dengan engkau semua. Engkau semua tidak mengetahui tujuan atau makna penting penyelamatan manusia oleh Tuhan, dan engkau tidak memahami apa arti kepercayaan kepada Tuhan. Apa perbedaan antara iman kepada Tuhan dan kepercayaan pada agama? Semua orang menaruh kepercayaan pada agama karena orang itu tidak punya mata pencaharian sehingga mereka mungkin mengalami kesulitan dalam keluarga. Jika tidak, alasan lainnya adalah karena mereka ingin menemukan sesuatu untuk dijadikan sandaran, untuk menemukan perbekalan rohani. Kepercayaan pada agama sering kali tidak lebih dari sekadar membuat orang-orang menjadi baik, membantu orang lain, bersikap baik kepada orang lain, melakukan lebih banyak perbuatan baik untuk mengumpulkan kebajikan, tidak melakukan pembunuhan atau pembakaran, tidak melanggar hukum atau melakukan kejahatan, tidak melakukan hal-hal buruk, tidak memukul orang atau memaki mereka, tidak mencuri atau merampok, dan tidak curang atau menipu. Inilah gagasan "kepercayaan pada agama" yang ada di benak setiap orang. Seberapa banyak gagasan kepercayaan pada agama yang ada di dalam hatimu semua saat ini? Apakah hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan pada agama sesuai dengan kebenaran? Berasal dari manakah sebenarnya kepercayaan itu? Tahukah engkau? Jika engkau percaya kepada Tuhan dengan hati yang memiliki kepercayaan pada agama, apa akibatnya? Apakah ini cara yang benar untuk percaya kepada Tuhan? Apakah ada perbedaan antara keadaan percaya pada agama dan keadaan beriman kepada Tuhan? Apa perbedaan antara kepercayaan pada agama dan iman kepada Tuhan? Ketika engkau baru mulai percaya kepada Tuhan, engkau mungkin merasa bahwa kepercayaan pada agama dan beriman kepada Tuhan adalah hal yang sama. Namun hari ini, setelah percaya kepada Tuhan selama beberapa tahun, menurutmu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kepercayaan kepada Tuhan? Apakah ada perbedaan dengan kepercayaan pada agama? Kepercayaan pada agama berarti mengikuti beberapa ritual tertentu untuk membawa kebahagiaan dan kenyamanan kepada jiwa seseorang. Ini tidak terkait dengan pertanyaan tentang jalan apa yang ditempuh orang-orang, dengan cara apa orang hidup, atau bagaimana mereka menjalani hidup mereka. Tidak ada perubahan di dalam batinmu; engkau tetaplah dirimu sendiri, serta esensi naturmu tetap sama. Engkau belum menerima kebenaran yang berasal dari Tuhan dan menjadikannya hidupmu, tetapi hanya melakukan beberapa perbuatan baik atau mengikuti ritual dan aturan. Engkau hanya terlibat dalam beberapa aktivitas yang berkaitan dengan kepercayaan pada agama—hanya ini, itu saja. Jadi, apa yang dimaksud dengan iman kepada Tuhan? Itu berarti perubahan dalam cara hidupmu, artinya telah terjadi perubahan dalam nilai keberadaan dan tujuan hidupmu. Engkau awalnya hidup untuk hal-hal seperti menghormati leluhurmu, ingin lebih baik daripada orang lain, memiliki kehidupan yang baik, dan berjuang untuk mendapatkan ketenaran dan kekayaan. Sekarang, engkau telah meninggalkan hal-hal tersebut. Engkau tidak lagi mengikut Iblis, tetapi engkau ingin meninggalkannya, meninggalkan kecenderungan yang jahat ini. Engkau mengikut Tuhan, yang kauterima adalah kebenaran dan jalan yang kautempuh adalah pengejaran akan kebenaran. Arah hidupmu telah berubah total. Setelah percaya kepada Tuhan, engkau memperlakukan kehidupan secara berbeda, memiliki cara hidup yang berbeda, mengikut Sang Pencipta, menerima dan tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Sang Pencipta, menerima penyelamatan Sang Pencipta, dan pada akhirnya menjadi makhluk ciptaan sejati. Bukankah ini mengubah cara hidupmu? Ini sama sekali berkebalikan dari pengejaran, cara hidupmu yang sebelumnya, dan motivasi serta makna penting di balik semua yang kaulakukan—semuanya sama sekali bertentangan, bahkan tidak memiliki natur dan ciri yang sama secara keseluruhan. Kita akan mengakhiri pembahasan tentang perbedaan antara iman kepada Tuhan dan percaya pada agama. Dapatkah engkau semua melihat dalam dirimu sendiri keadaan memiliki "hati yang murni dan polos" yang telah kita bahas? (Ya.) Jadi, apakah engkau semua sering hidup berdasarkan hati yang murni dan polos, atau apakah engkau hanya mengalami keadaan seperti itu sesekali saja? Jika terjadi sesekali, itu membuktikan bahwa engkau telah menyingkirkan keadaan tersebut dan mulai mengejar kebenaran, bahwa engkau sudah mulai keluar dari keadaan tersebut; jika engkau masih sering hidup dengan hati yang murni dan polos, dan tidak tahu bagaimana cara hidup berdasarkan firman Tuhan, berdasarkan kebenaran, atau bagaimana melepaskan diri dari kekangan hati yang murni dan polos, dan keluar dari keadaan itu, itu membuktikan bahwa engkau tidak hidup di hadapan Tuhan, bahwa engkau belum mengetahui apa itu kebenaran atau bagaimana mencari kebenaran. Apakah itu perbedaan yang besar? (Ya.) Jika engkau terus hidup seperti itu, tanpa memahami kebenaran sedikit pun, engkau berada dalam bahaya. Cepat atau lambat, engkau akan harus disingkirkan. Mengenai bagaimana hati yang murni dan polos itu muncul, engkau semua harus mencari kebenaran, menelaah keadaannya, dan mengubah keadaannya. Mengapa orang memiliki hati yang murni dan polos; apa akibat yang akan timbul dari mengandalkan semangat untuk percaya kepada Tuhan; apakah engkau dapat memperoleh kebenaran dengan percaya kepada Tuhan seperti itu atau tidak; apakah hal ini akan meningkatkan imanmu kepada Tuhan atau tidak, engkau harus memahami dengan jelas pertanyaan-pertanyaan ini di dalam hatimu. Hal ini mengharuskanmu untuk memeriksa dirimu sendiri, merenungkan, dan mencari solusi.

Ada sejenis orang yang hatinya antusias dalam kepercayaannya kepada Tuhan. Tugas apa pun tidak masalah baginya, begitu pun dengan sedikit kesukaran, tetapi temperamennya tidak stabil, dia emosional dan berubah-ubah, tidak konsisten. Dia bertindak berdasarkan suasana hatinya sendiri. Ketika dia senang, dia melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dengan baik, dan dia rukun dengan siapa pun yang bermitra dengannya dan dengan siapa pun dia bergaul. Dia juga bersedia memikul lebih banyak tugas, apa pun tugas yang dia laksanakan, dia memiliki rasa tanggung jawab terhadapnya. Begitulah cara dia bertindak saat keadaannya sedang baik. Mungkin ada alasan mengapa dia berada dalam keadaan yang baik: mungkin dia dipuji karena melaksanakan tugasnya dengan baik dan mendapatkan penghargaan serta persetujuan kelompok. Atau, mungkin banyak orang yang mengapresiasi karya yang dihasilkannya, sehingga dia mengembang seperti balon yang makin penuh setiap kali mendapat pujian. Jadi, dia terus melaksanakan tugas yang sama setiap hari, tetapi pada saat yang sama, dia tidak pernah memahami maksud Tuhan atau mencari prinsip-prinsip kebenaran. Dia selalu bertindak berdasarkan kekuatan pengalamannya. Apakah pengalaman adalah kebenaran? Apakah bertindak berdasarkan pengalaman dapat diandalkan? Apakah itu sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran? Bertindak berdasarkan pengalaman tidak sesuai dengan prinsip; pasti akan ada kalanya itu gagal. Jadi, akan tiba waktunya ketika dia tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Banyak hal yang salah dan dia dipangkas. Kelompok ini tidak puas dengannya. Dia kemudian menjadi negatif: "Aku tidak akan melaksanakan tugas ini lagi. Aku melaksanakannya dengan buruk. Kalian semua lebih baik daripadaku. Akulah yang tidak baik. Siapa pun yang ingin melaksanakannya, silakan saja!" Ada orang yang mempersekutukan kebenaran kepadanya, tetapi dia tidak memahaminya, dan dia tidak mengerti, lalu berkata: "Apa gunanya mempersekutukan hal ini? Aku tidak peduli apakah itu benar atau tidak; aku akan melaksanakan tugasku saat aku senang dan tidak melaksanakannya saat aku tidak senang. Mengapa membuatnya begitu rumit? Aku tidak akan melaksanakannya sekarang; aku akan menunggu hari saat aku senang." Dia memang selalu seperti ini, tidak konsisten. Entah sedang melaksanakan tugasnya; membaca firman Tuhan, atau mendengarkan khotbah dan menghadiri pertemuan; atau dalam interaksinya dengan orang lain, dalam segala aspek kehidupannya, yang dia perlihatkan adalah mendung pada satu saat dan cerah pada saat berikutnya, bersemangat pada satu saat dan tertekan pada saat berikutnya, dingin pada satu saat dan panas pada saat berikutnya, negatif pada satu saat dan positif pada saat berikutnya. Singkatnya, keadaannya, baik atau buruk, selalu jelas terlihat. Engkau dapat melihatnya dalam sekilas. Dia tidak konsisten dalam segala hal yang dia lakukan, hanya mengikuti temperamennya sendiri. Ketika dia senang, dia melakukan pekerjaan dengan lebih baik, dan ketika dia tidak senang, dia melakukan pekerjaan dengan buruk, dia bahkan mungkin berhenti melakukan pekerjaan tersebut dan menyerah. Apa pun yang dia lakukan, dia harus melakukannya berdasarkan suasana hatinya, berdasarkan lingkungan, berdasarkan tuntutannya. Dia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengalami kesukaran; dia dimanja, histeris, tidak bernalar, dan dia tidak melakukan apa pun untuk mengekangnya. Tak seorang pun boleh menyinggungnya; siapa pun yang melakukannya akan menjadi sasaran amarahnya, yang datang seperti badai dan segera setelah badai itu berlalu, dia menjadi negatif dan putus asa secara emosi. Selain itu, dia melakukan segalanya berdasarkan kesukaannya. "Jika aku menyukai pekerjaan ini, aku akan mengerjakannya; jika tidak, aku tidak akan mengerjakannya, dan tidak akan pernah. Siapa pun di antaramu yang bersedia mengerjakannya, silakan mengerjakannya. Itu tidak ada hubungannya denganku." Orang macam apa ini? Ketika dia senang dan keadaannya baik, dia sangat bersemangat dan berkata dia ingin mengasihi Tuhan. Dia begitu bersemangat hingga dia menangis, air mata berlinang di wajahnya, dan menangis tersedu-sedu. Apakah hatinya benar-benar mengasihi Tuhan? Keadaan mengasihi Tuhan di dalam hati adalah hal yang normal, tetapi jika melihat watak, perilaku, dan penyingkapannya, engkau akan mengira dia adalah seorang anak berusia kira-kira sepuluh tahun. Wataknya, cara hidupnya, adalah hidup seenaknya. Dia tidak konsisten, tidak setia, tidak bertanggung jawab, dan tidak berguna dalam segala hal yang dia lakukan. Dia tidak pernah mengalami kesukaran dan tidak ingin memikul tanggung jawab. Saat dia senang, dia dapat melakukan apa pun tanpa masalah; sedikit kesukaran tidak menjadi masalah, dan jika kepentingannya terganggu, itu juga tidak masalah. Namun, jika dia tidak senang, dia tidak ingin melakukan apa pun. Orang macam apa dia? Apakah keadaan seperti itu normal? (Tidak.) Masalah ini lebih dari sekadar keadaan tidak normal, ini adalah perwujudan dari sikap sangat seenaknya, sangat bodoh dan bebal, sangat kekanak-kanakan. Apa masalahnya dengan sikap seenaknya? Ada orang yang mungkin berkata, "Ini adalah ketidakstabilan temperamen. Dia masih terlalu muda dan baru melewati sedikit kesukaran, dan kepribadiannya belum terbentuk, jadi sering kali perilakunya seenaknya." Sebenarnya, sikap seenaknya itu tidak memandang usia: usia empat puluhan dan usia tujuh puluhan terkadang juga bersikap seenaknya. Bagaimana menjelaskan hal ini? Sikap seenaknya sebenarnya merupakan masalah dalam watak orang, dan masalah yang sangat serius! Jika dia sedang melaksanakan tugas penting, sikap seenaknya itu dapat menunda tugas tersebut dan kemajuan pekerjaan, sehingga menimbulkan kerugian bagi kepentingan rumah Tuhan; dan ketika mereka sedang melaksanakan tugas-tugas biasa, sikap seenaknya itu pun terkadang memengaruhi tugas-tugas tersebut, dan menghambat banyak hal. Sikap seenaknya sama sekali tidak bermanfaat bagi orang lain, dirinya sendiri, ataupun pekerjaan gereja. Tugas-tugas kecil yang dia lakukan dan harga yang dia bayar menimbulkan kerugian. Orang-orang yang sangat seenaknya tidak layak melaksanakan tugas-tugas di rumah Tuhan, dan ada banyak orang semacam itu. Sikap seenaknya adalah perwujudan paling lazim di antara watak-watak yang rusak. Hampir semua orang memiliki watak seperti itu. Dan apakah watak itu? Tentu saja, setiap watak yang rusak adalah salah satu jenis watak Iblis, dan sikap seenaknya adalah watak yang rusak. Bahasa halusnya, ini bukanlah mencintai atau menerima kebenaran; bahasa kasarnya, ini berarti menolak kebenaran dan membencinya. Dapatkah orang yang seenaknya tunduk kepada Tuhan? Tentu saja tidak. Dia mampu tunduk untuk sesaat, ketika dia senang dan memperoleh keuntungan, tetapi ketika dia tidak senang dan tidak memperoleh keuntungan, dia menjadi marah dan berani menentang dan mengkhianati-Nya. Dia akan berkata pada dirinya sendiri, "Aku tidak peduli apakah itu adalah kebenaran atau bukan, yang penting adalah aku senang, aku puas. Jika aku tidak senang, aku tidak peduli apa pun yang orang lain katakan! Apa pentingnya kebenaran? Apa yang tuhan anggap penting? Akulah bosnya!" Watak rusak macam apa ini? (Membenci kebenaran.) Itu adalah watak yang membenci kebenaran, watak yang menolak kebenaran. Apakah ada unsur kecongkakan dan kesombongan di dalamnya? Unsur keras kepala? (Ya.) Ada keadaan yang mengerikan lainnya di sini. Ketika suasana hatinya sedang baik, dia bersikap baik kepada semua orang dan bertanggung jawab ketika melaksanakan tugasnya; orang-orang mengira dia adalah orang yang baik, tunduk, bersedia membayar harga, yang sangat mencintai kebenaran. Namun, begitu dia menjadi negatif, dia akan meninggalkan tugasnya, mengeluh, dan bahkan tidak bernalar. Di sinilah sisi jahatnya muncul. Tak seorang pun boleh menegurnya. Dia bahkan akan berkata, "Aku memahami setiap kebenaran, aku hanya tidak menerapkannya. Cukup bagiku untuk merasa nyaman dengan diriku sendiri!" Watak apa ini? (Kejahatan.) Orang-orang jahat ini tidak hanya siap melawan siapa pun yang mungkin memangkasnya, dia bahkan akan melukai dan menyakiti mereka, seperti setan jahat. Tak seorang pun berani mencari masalah dengannya. Bukankah dia ini sangat seenaknya dan kejam? Apakah ini masalah yang berhubungan dengan usia muda? Bukankah dia tidak akan bersikap seenaknya jika usianya lebih tua? Akankah dia menjadi lebih bijaksana dan rasional jika usianya lebih tua? Tidak. Ini bukan masalah kepribadian atau usianya. Ada watak rusak yang telah berakar begitu dalam yang bersembunyi di sana. Dia dikendalikan oleh watak yang rusak dan dia hidup berdasarkan watak yang rusak. Apakah ada ketundukan dalam diri seseorang yang memiliki watak yang rusak? Mampukah dia mencari kebenaran? Adakah bagian dari dirinya yang mencintai kebenaran? (Tidak.) Tidak, tidak ada satu pun dari dirinya. Apakah engkau semua memiliki keadaan di mana engkau bersikap seenaknya? (Ya.) Akankah engkau semua merasa itu menjadi masalah jika kita tidak mempersekutukannya? (Tidak.) Sekarang, setelah mempersekutukannya, apakah engkau semua merasa ini adalah masalah yang cukup serius? (Ya.) Terkadang sikap seenaknya ini muncul karena sebab-sebab objektif. Itu bukanlah masalah watak. Semua masalah watak, dan semua penyingkapan watak yang rusak dalam tindakan seseorang, akan menghasilkan konsekuensi negatif. Berikut ini contoh penyebab objektif: katakanlah seseorang menderita sakit perut yang parah hari ini. Dia sangat kesakitan sehingga dia hampir tidak memiliki kekuatan untuk berbicara. Dia hanya ingin berbaring sebentar. Tepat pada saat itu, seseorang datang dan berbicara sebentar dengannya, dan nada bicaranya saat menanggapi agak kasar. Apakah ini masalah dengan wataknya? Tidak. Dia hanya bersikap seperti itu karena dia sedang sakit dan dalam kesakitan. Jika dia biasanya adalah orang seperti ini dan berbicara dengan cara seperti itu, maka itu adalah masalah wataknya. Dalam hal ini, nada bicaranya terdengar kasar karena rasa sakitnya telah melewati ambang batas tertentu. Itu adalah hal yang normal terjadi. Jika ada alasan objektif, dan semua orang mengakui bahwa berbicara atau bertindak seperti itu adalah hal yang dapat dimaklumi dan masuk akal, mengingat keadaannya, dan bahwa itu hanyalah natur manusia, maka itu adalah perilaku dan penyingkapan dari kemanusiaan yang normal. Ambillah contoh seseorang yang kehilangan kerabatnya dan mulai menangis dalam kesedihan. Itu sangat normal. Namun, ada orang yang menghakiminya dan berkata, "Orang ini sentimental. Dia sudah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun tetapi masih tidak mampu melepaskan kasih sayangnya terhadap keluarganya. Dia bahkan menangis ketika salah satu kerabatnya meninggal. Betapa Bodohnya!" Kemudian, ketika ibu dari orang yang menghakimi itu meninggal, dia menangis lebih keras daripada siapa pun. Bagaimana seharusnya orang memandang hal ini? Engkau tidak bisa menerapkan aturan dengan sembarangan atau menyeragamkan hal tersebut. Ada hal-hal yang memiliki alasan objektif, dan hal-hal tersebut merupakan perilaku serta penyingkapan dari kemanusiaan yang normal. Apa yang merupakan perilaku dan penyingkapan dari kemanusiaan yang normal, dan apa yang bukan, itu bervariasi sesuai keadaan. Ketika berbicara tentang berdasarkan apa orang hidup, yang dibicarakan, di satu sisi, menyentuh masalah watak manusia, dan di sisi lain, menyentuh masalah sudut pandang manusia, cara pengejarannya, dan jalan pengejarannya. Ini sama sekali bukan masalah temperamen atau kepribadiannya, atau caranya melakukan segala sesuatu.

Ada jenis keadaan lain, yaitu hidup berdasarkan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Kebanyakan orang suka mengejar ketenaran, keuntungan, dan status dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, tanpa berfokus pada mengejar kebenaran. Selama orang memiliki sedikit kualitas dan sedikit gagasan, mereka memiliki sekumpulan falsafah dan aturan Iblis untuk hidup. Mereka masing-masing memiliki "trik rahasia tersendiri" mengenai cara hidup bahagia, bagaimana hidup dengan cara yang menonjolkan diri mereka dan membawa kehormatan bagi nama keluarga mereka, dan mendapatkan pengakuan semua orang. Tipu daya apa itu? Itu adalah falsafah "tertinggi" tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Ada orang-orang yang mungkin merasa lucu mendengarnya karena mereka menganggap "tertinggi" dan "falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain" tidak bisa digabungkan. Keduanya adalah pasangan yang aneh. Jadi, mengapa kata "tertinggi" digunakan di sini? Secara umum, seseorang yang memiliki falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain meyakini bahwa agar dapat hidup, dia harus diperlengkapi dengan beberapa aturan untuk keberlangsungan hidup, yaitu beberapa rahasia untuk bertahan hidup. Dia menganggap bahwa itulah satu-satunya cara untuk mencapai tujuannya dalam hidup. Dia berpegang pada aturan-aturan keberlangsungan hidup ini, yang merupakan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain, sebagai prinsip tertingginya, sama seperti semboyan yang sering diucapkan orang-orang. Dia mematuhi dan berpaut pada falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain seolah-olah itu adalah kebenaran, tanpa mengecualikan bahkan umat pilihan Tuhan dari perlakuan ini. Dia berpikir, "Tidak ada manusia yang dapat melepaskan diri dari urusan duniawi. Kalian percaya kepada Tuhan, bukan? Kalian mengikuti prinsip-prinsipnya, bukan? Kalian memahami kebenaran, bukan? Kalau begitu, aku memiliki falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain untuk memperlakukanmu. Kalian teliti, bukan? Kalian mengikuti prinsip-prinsip kebenaran, bukan? Aku tidak memahami prinsip-prinsip kebenaran, dan aku tetap bisa membuat kalian bersikap baik kepadaku dan membuat kalian terus berada di sekitarku. Aku akan membuat kalian mengelilingiku; kalian akan berkata bahwa aku adalah orang yang baik dan tidak akan mengatakan apa pun yang buruk tentang diriku di belakangku. Aku bahkan akan menghakimi kalian ketika kalian tidak ada, dan melakukan hal-hal buruk kepada kalian, serta mengkhianati kalian, dan kalian tidak akan mengetahuinya." Itulah orang yang hidup berdasarkan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Apa sajakah yang ada di dalam falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain? Di dalamnya terdapat dalih, tipu muslihat, dan taktik, serta pendekatan dan metode. Sebagai contoh, saat dia melihat seseorang yang memiliki status, seseorang yang bisa berguna baginya, dia bersikap sangat sopan, membungkuk dan memuji orang tersebut. Terhadap orang-orang yang menurutnya tidak terlalu cakap, dan tidak sebaik dirinya, dia selalu meremehkan dan memandang rendah mereka, yang membuat orang-orang tersebut merasa bahwa dia lebih unggul dan harus selalu dihormati. Dalam batinnya, dia memiliki cara untuk mempermainkan dan memanipulasi orang-orang serta cara untuk memperlakukan setiap jenis orang. Ketika dia bertemu dengan seseorang, dengan melihat sekilas, dia tahu orang seperti apa orang tersebut, dan bagaimana dia harus memperlakukan dan bergaul dengannya. Pikirannya langsung menghasilkan ide yang tepat. Dia sangat mahir dan berpengalaman dalam hal tersebut. Dia tidak perlu berpikir tentang menerapkan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain ini, dia tidak perlu menyusun perkataan terlebih dahulu atau membutuhkan arahan siapa pun. Dia memiliki metodenya sendiri. Beberapa di antaranya adalah idenya sendiri; ada metode yang dia pelajari dari orang lain, atau dari mengamati orang lain, atau dari pengaruh orang lain. Mungkin tak ada seorang pun yang memberitahunya tentang metode-metode tersebut, tetapi dia mampu menyimpulkan seluk beluknya, sehingga dia mempelajari falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain, teknik, pendekatan dan metode, rencana licik, serta perhitungan. Apakah orang-orang yang hidup berdasarkan hal-hal ini memiliki kebenaran? Mampukah dia hidup berdasarkan kebenaran? (Tidak.) Dia tidak mampu. Jadi, apa dampaknya terhadap orang lain? Orang lain sering kali ditipu dan diperdaya olehnya, dimanfaatkan serta dipermainkan olehnya, dan lain-lain. Falsafah-falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain ini belum tentu hanya dimiliki oleh para intelektual atau sekelompok orang tertentu. Sebenarnya, semua orang memiliki falsafah ini dalam diri mereka.

Dengan cara apa lagi falsafah Iblis diwujudkan? Beberapa orang adalah pembicara yang hebat. Dia membuat orang-orang merasa bahagia dan puas, yang merasa ditenangkan setelah mendengarnya berbicara, tetapi dia sama sekali tidak melakukan pekerjaan nyata. Orang macam apa ini? Orang yang memanipulasi orang lain dengan kata-kata manis. Ada pemimpin dan pekerja yang bekerja selama beberapa waktu, lalu berpikir, "Apakah Yang di Atas memahamiku? Apakah Tuhan mengenalku? Aku harus melaporkan beberapa masalah agar Yang di Atas tahu bahwa aku sedang bekerja. Jika Yang di Atas melihat bahwa masalah yang kulaporkan cukup nyata dan berbobot, bahwa itu masalah-masalah penting, maka Yang di Atas mungkin akan menghargaiku, karena melihat bahwa aku mampu melakukan pekerjaan nyata." Jadi, dia mencari kesempatan untuk menyampaikan masalah-masalah. Dia dibenarkan ketika menyampaikan masalah, itu adalah hal yang wajar, dan memang tuntutan pekerjaan. Namun, tidak boleh tercemar oleh niat pribadi mereka. Dapatkah engkau semua melihat niat orang ini ketika dia melaporkan masalah-masalah ini? Apa sebenarnya masalah dengan memiliki niat seperti ini? Pertanyaan ini memerlukan pemikiran dan kecermatan. Jika dia menyampaikan masalah-masalah ini agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan menyenangkan Tuhan, hal itu dapat dibenarkan; ini berarti dia adalah orang yang bertanggung jawab, orang yang melakukan pekerjaan nyata. Namun, saat ini ada beberapa pemimpin dan pekerja yang tidak melakukan pekerjaan nyata, tetapi bersikap oportunis dan mengambil jalan pintas, yang berbohong kepada atasan mereka dan menyembunyikan hal-hal dari bawahan mereka. Tetap saja, mereka ingin menjadi licin dan licik, dan memuaskan semua orang. Dengan bertindak seperti ini, bukankah mereka hidup berdasarkan falsafah Iblis? Jika demikian, bagaimana seharusnya masalah tersebut diselesaikan? Kebenaran apa yang harus dicari, bagaimana cara mengetahui dan memahaminya, hal-hal ini harus dipahami dengan jelas sebelum masalah niat jahat mereka dapat diselesaikan. Berikut contoh lainnya. Dua orang dipasangkan untuk melaksanakan suatu tugas. Mereka akan pergi ke gereja di daerah lain untuk menangani masalah di sana. Kondisi kehidupan di sana relatif buruk, keamanan publik tidak baik, dan ini adalah tempat yang agak berbahaya. Salah seorang dari mereka berkata, "Orang-orang di gereja itu tidak menyukaiku. Sekalipun aku pergi ke sana, tidak ada jaminan bahwa aku mampu menyelesaikan masalah di sana. Namun, mereka semua menyukaimu. Jika kau yang pergi, akan lebih efektif untuk menyelesaikan masalah di sana." Yang lain menganggap perkataan rekannya ini benar lalu pergi ke gereja tersebut. Singkatnya, bukankah tidak ada masalah dengan orang yang menemukan alasan dan dalih untuk tidak pergi? Entah dalih dan alasannya benar atau tidak, apakah dia sedang menerapkan kebenaran dalam hal ini? Apakah dia memikirkan saudara-saudarinya? Tidak; dia sedang berbohong. Dia menggunakan kata-kata manis untuk mencapai tujuannya sendiri. Bukankah ini sebuah teknik? Jika engkau berpikir dan bertindak seperti ini, engkau belum memberontak terhadap daging. Engkau masih hidup berdasarkan falsafah Iblis. Namun, bagaimana jika engkau mampu memberontak terhadap dirimu sendiri dan tidak hidup berdasarkan falsafah Iblis? Awalnya, engkau tidak ingin pergi ke gereja tersebut untuk menangani masalahnya, tetapi setelah merenungkannya, engkau berpikir: "Perkataanku tidak benar. Fakta bahwa aku berpikir seperti itu menunjukkan bahwa aku adalah orang yang jahat, bahwa aku tidak bermoral. Aku harus segera menarik kembali perkataanku. Aku harus meminta maaf kepadanya dan membuka diri tentang kerusakan yang kuperlihatkan. Aku harus pergi ke tempat itu hari ini, sekalipun itu berarti aku akan mati di sana." Sebenarnya, belum tentu engkau akan mati di sana. Sejak kapan kematian datang dengan begitu mudahnya? Hidup dan mati sudah ditentukan dari sejak semula oleh Tuhan. Singkatnya, dalam kasus seperti ini, engkau harus memiliki tekad dan kemampuan untuk memberontak terhadap dirimu sendiri. Hanya dengan cara demikianlah engkau dapat hidup berdasarkan kebenaran. Aku akan memberimu contoh lain. Dua orang dipasangkan untuk melaksanakan suatu tugas. Mereka berdua takut memikul tanggung jawab terhadap tugas ini, jadi ini menjadi adu siasat. Yang satu berkata, "Kau saja yang melaksanakan tugas ini." Yang satu lagi berkata, "Lebih baik kau yang melaksanakannya. Kualitasku lebih buruk daripadamu." Yang sebenarnya mereka pikirkan adalah: "Tidak akan ada imbalan jika kulaksanakan dengan baik, dan jika kulaksanakan dengan buruk, aku akan dipangkas. Aku tidak akan pergi, aku tak sebodoh itu! Aku tahu apa yang sedang kaurencanakan. Berhentilah berusaha membuatku pergi." Apa akhir dari adu siasat mereka? Tak ada satu pun dari mereka yang pergi, dan akibatnya pekerjaan tertunda. Bukankah itu tidak bermoral? (Ya.) Jika pekerjaan tertunda, bukankah akibatnya serius? Hasilnya buruk. Jadi, berdasarkan apa mereka hidup? Mereka berdua hidup berdasarkan falsafah Iblis; mereka dikekang dan diikat oleh falsafah Iblis serta oleh tipu muslihat mereka sendiri. Mereka telah gagal menerapkan kebenaran, dan akibatnya, pelaksanaan tugas mereka tidak memenuhi standar. Mereka melaksanakan tugas dengan asal-asalan, dan tidak ada kesaksian sama sekali di dalamnya. Katakanlah dua orang dipasangkan untuk melaksanakan suatu tugas. Salah seorang dari mereka ingin memimpin dalam segala hal dan selalu ingin menjadi penentu keputusan, dan yang satunya lagi mungkin berpikir, "Dia orang yang tangguh; dia suka memimpin. Jadi, dia bisa memimpin dalam segala hal, dan jika terjadi kesalahan, dialah yang akan dipangkas. 'Burung yang menjulurkan lehernya adalah burung yang tertembak'! Kalau begitu, aku tidak ingin menonjol. Kebetulan kualitasku buruk, dan aku tidak suka diganggu dengan berbagai hal. Dia senang memimpin, bukan? Baiklah, jika ada yang harus dilakukan, akan kuserahkan kepadanya!" Orang yang mengatakan hal-hal seperti itu suka menjadi penyenang orang, suka menjadi pengikut. Apa pendapatmu tentang caranya melaksanakan tugas? Berdasarkan apa dia hidup? (Berdasarkan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain.) Dia juga memikirkan hal lain. "Tidakkah mereka akan marah padaku jika aku mencuri kesempatan mereka untuk menjadi pusat perhatian? Tidakkah nantinya akan ada perselisihan di antara kami berdua? Jika hal ini memengaruhi hubungan kami, kami akan kesulitan untuk akur. Akan lebih baik jika kubiarkan dia melakukan apa yang dia inginkan." Bukankah ini merupakan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain? Cara hidupnya menyelamatkannya dari masalah. Hal ini memungkinkannya untuk menghindari tanggung jawab. Dia akan mengikuti apa pun yang diperintahkan, tanpa harus memimpin atau menonjol, dan tanpa harus memikirkan masalah apa pun. Semuanya diurus oleh orang lain sehingga dia tidak akan kelelahan. Kesediaannya menjadi pengikut membuktikan bahwa dia tidak memiliki rasa tanggung jawab. Dia hidup berdasarkan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Dia tidak menerima kebenaran atau mematuhi prinsip-prinsip. Itu bukan kerja sama yang harmonis, melainkan menjadi pengikut, menjadi penyenang orang. Mengapa itu bukan kerja sama? Karena dia tidak memenuhi tanggung jawabnya dalam hal apa pun. Dia tidak bertindak dengan segenap hati atau segenap pikiran dan bisa jadi dia juga tidak bertindak dengan segenap kekuatannya. Itulah sebabnya Kukatakan dia hidup berdasarkan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain, bukan berdasarkan kebenaran. Contoh lainnya: seseorang melakukan hal yang buruk saat melaksanakan tugasnya, sesuatu yang merugikan kepentingan rumah Tuhan. Engkau melihatnya, tetapi engkau berpikir, "Itu bukan urusanku. Itu tidak merugikan kepentinganku. Lagi pula, bukan aku yang bertanggung jawab. Untuk apa aku mencampuri urusan orang lain? Siapa pun yang ingin mengurusnya, silakan saja. Yang harus kulakukan hanyalah terus memantau pekerjaanku sendiri. Tidak ada hubungannya denganku jika orang lain melakukan hal yang buruk. Aku tidak peduli jika aku melihatnya; aku tidak peduli jika dia tersesat; dan jika pekerjaan gereja mengalami kerugian, itu tidak ada hubungannya denganku." Bukankah ini merupakan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain? (Ya.) Apakah niat orang ini baik? (Tidak.) Dia hidup berdasarkan falsafah Iblis. Ada orang-orang yang melakukan ini sesekali dalam hal tertentu; orang lain sering melakukannya, tanpa pernah mencari kebenaran atau merenungkan diri mereka sendiri, dan tanpa membereskan watak rusak mereka. Kedua jenis orang ini berada dalam situasi yang berbeda. Namun, terlepas dari apakah itu dilakukan dalam beberapa kejadian yang berbeda atau dalam semua hal, ini menyentuh masalah watak yang rusak. Ini bukanlah masalah sederhana dengan metode seseorang, melainkan menjalani kehidupan berdasarkan falsafah Iblis. Falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain apa lagi yang biasanya dilihat dan ditemui orang-orang? (Menyuap orang lain dengan kebaikan kecil, memenuhi kesukaan orang lain, memuji orang, dan menjadi kaki tangan mereka.) Memenuhi kesukaan orang lain adalah salah satu tekniknya, semacam falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Apa lagi? (Tidak segera bersuara setelah melihat seseorang melakukan sesuatu yang melanggar prinsip, karena takut menyakiti perasaannya.) Tidak berbicara langsung ke tujuan, selalu bertele-tele, selalu memilih kata-kata manis yang tidak ada hubungannya dengan prinsip-prinsip atau masalah esensial. Ini pun semacam falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Ada yang lain? (Menyanjung dan mengambil hati siapa pun yang memiliki status.) Itu berarti menjilat, dan ini pun semacam falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Ada orang-orang yang pada dasarnya selalu ingin memanipulasi dan memanfaatkan orang lain. Dia sangat berbahaya. Ada orang-orang yang licin dan licik di mana pun dia berada. Apa yang dia katakan tergantung kepada siapa dia mengatakannya. Pikirannya bereaksi sangat cepat: dia tahu cara berurusan dengan seseorang sejak pertama kali dia melihatnya. Orang-orang semacam itu sangat licik; dia tidak mampu hidup berdasarkan kebenaran. Dengan cara apa lagi falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain terwujud? (Ketika melihat suatu masalah, mereka tidak berani angkat bicara karena takut disalahkan jika ternyata mengatakan sesuatu yang salah, jadi mereka mengamati perkataan dan tindakan orang lain dan tidak mengutarakan pendapat mereka sampai kebanyakan orang telah berbicara.) Orang-orang cenderung mengikuti mayoritas, menganggap bahwa hukum tidak dapat ditegakkan jika semua orang adalah pelakunya. Masalah macam apa itu? Watak macam apa? Bukankah ini watak yang licik dan suka menipu? Tidak berani mematuhi prinsip-prinsip kebenaran karena engkau selalu ingin menjadi penyenang orang dan takut menyinggung orang, tetapi juga takut bahwa engkau akan disingkapkan dan disingkirkan karena tidak menerapkan kebenaran. Itu benar-benar dilema! Itulah kenyataan yang menyedihkan dari para penyenang orang. Ketika orang-orang tidak menerapkan kebenaran, kondisi buruk seperti itulah yang mereka jalani; mereka semua memiliki keserupaan dengan Iblis si setan. Beberapa dari orang-orang ini berbahaya, ada yang licik, ada yang tercela, ada yang keji, ada yang hina, dan ada yang menyedihkan. Apakah engkau semua hidup berdasarkan falsafah Iblis? Menyanjung siapa pun yang menjadi pemimpin sembari mengabaikan para pemimpin yang digantikan dan disingkirkan; mengambil hati siapa pun yang dipilih sebagai pemimpin, siapa pun mereka; mengatakan segala macam hal yang memuakkan, seperti "Wah, kau sangat cantik, dan postur tubuhmu ideal, kau adalah gambaran kecantikan sejati. Kau memiliki suara seperti penyiar berita dan merdu seperti nyanyian burung," mencari cara untuk menjilat mereka; menyanjung mereka setiap ada kesempatan; menyuap mereka dengan kebaikan kecil; biasanya mengamati untuk melihat apa yang mereka lakukan dan katakan, serta memikirkan cara untuk memuaskan mereka saat engkau melihat mereka menyukai sesuatu. Apakah taktik ini yang engkau semua miliki? (Ya. terkadang aku melihat ada pemimpin atau pekerja yang memiliki masalah atau kekurangan, tetapi aku tak berani mengatakannya karena takut dia akan menyalahkanku dan bersikap buruk terhadapku.) Itu berarti engkau tidak memiliki prinsip. Lalu, tahukah engkau jika engkau telah mengidentifikasi masalah-masalah tersebut dengan benar dan apakah akan bermanfaat bagi pekerjaan gereja jika engkau berbicara tentang masalah-masalah tersebut? (Sedikit.) Engkau tahu sedikit, jadi apa yang harus kaulakukan agar sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran? Jika engkau yakin bahwa engkau telah menemukan masalah, dan engkau memahami di dalam hati bahwa masalah ini harus diselesaikan, jika tidak maka akan menunda pekerjaan, tetapi engkau tidak mampu mematuhi prinsip-prinsip tersebut dan engkau takut menyinggung orang lain, apa sebenarnya masalahnya? Mengapa engkau takut untuk mematuhi prinsip-prinsip tersebut? Ini adalah masalah yang sifatnya serius dan ini berkaitan dengan apakah engkau mencintai kebenaran dan apakah engkau memiliki rasa keadilan. Engkau harus menyuarakan pendapatmu, walaupun engkau tidak tahu apakah pendapatmu itu benar. Jika engkau memiliki pendapat atau ide, engkau harus mengatakannya, dan mengizinkan orang lain untuk menilainya. Akan bermanfaat bagimu jika engkau melakukannya, dan itu akan membantu dalam memecahkan masalahnya. Jika engkau berkata dalam hatimu, "Aku tidak terlibat. Jika apa yang kukatakan benar, aku tidak akan mendapat pujian, dan jika salah, aku akan dipangkas. Itu tidak sepadan," bukankah itu berarti engkau egois dan tercela? Manusia selalu mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri dan tak mampu menerapkan kebenaran. Itu adalah hal tersulit untuk manusia lakukan. Bukankah engkau semua memiliki begitu banyak falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain dan rencana licik di dalam dirimu? Ada cukup banyak falsafah Iblis di dalam diri setiap orang dan mereka telah lama dikuasai oleh semua itu. Maka, tidak mengherankan, setelah orang mendengar khotbah selama bertahun-tahun dia tetap tidak memahami kebenaran, dan bahwa jalan masuk mereka ke dalam kenyataan kebenaran berjalan lambat, serta tingkat pertumbuhan dia tetap sangat sedikit. Alasannya adalah karena hal-hal rusak seperti ini menghalangi dan mengganggu dia. Berdasarkan apa manusia hidup ketika mereka perlu menerapkan kebenaran? Mereka hidup berdasarkan watak-watak yang rusak ini, berdasarkan gagasan, imajinasi, dan falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain, serta berdasarkan karunia. Jika manusia hidup berdasarkan hal-hal ini, akan sangat sulit bagi manusia untuk datang ke hadapan Tuhan. Mengapa demikian? Karena beban mereka terlalu besar dan belenggu mereka terlalu berat. Manusia yang hidup berdasarkan hal-hal ini sangatlah jauh dari kebenaran. Hal-hal ini menghalangimu sehingga engkau tidak memahami dan menerapkan kebenaran. Jika engkau tidak memahami kebenaran, akankah imanmu kepada Tuhan meningkat? (Tidak.) Imanmu kepada Tuhan tentunya tidak akan meningkat, apalagi pengenalanmu akan Tuhan. Ini adalah hal yang sangat menyedihkan dan menakutkan.

Berdasarkan apa orang-orang hidup berkaitan dengan pandangannya terhadap hal-hal, serta wataknya. Ada orang-orang yang selalu berjuang untuk menggapai mimpi dan keinginannya. Dia adalah orang-orang yang memiliki mimpi. Ada orang-orang yang selalu hidup berdasarkan keinginannya. Apa sajakah yang termasuk dalam keinginannya? Ada keinginan untuk bekerja dan membuat dirinya terkenal dan ada keinginan untuk memamerkan dirinya sendiri. Sebagai contoh, ada orang-orang yang menyukai status. Tanpa status, dia tidak mau percaya kepada Tuhan; tanpa status, dia tidak memiliki keinginan untuk melakukan apa pun, dan percaya kepada Tuhan juga membosankan baginya. Dia hidup dengan keinginan untuk mengejar status, dan dia melewati hari-harinya, hari demi hari, dikuasai oleh keinginan ini. Status apa pun yang dia miliki sangatlah berharga baginya. Dia tidak melakukan apa pun selain demi status: mempertahankan status, memperkuat status, memperluas wilayah kekuasaannya. Yang dia lakukan, dalam segala hal, hanyalah tentang keinginannya. Dia hidup berdasarkan keinginan. Ada orang lain yang menjalani kehidupan yang menyedihkan di dunia. Dia adalah orang yang jujur dan selalu ditindas, berasal dari keluarga yang buruk, dari lingkungan sosial yang miskin, tanpa ada seorang pun yang dapat diandalkan. Dia seorang diri dan tidak dipedulikan, sampai akhirnya dia percaya kepada Tuhan, dan pada saat itulah dia merasa akhirnya dia menemukan dukungan. Dia memiliki cita-cita, dan dia didorong oleh cita-cita tersebut dalam kepercayaannya kepada Tuhan. Cita-citanya tidak pernah berubah, bahkan hingga sekarang ini. Dia berpikir, "Dengan kepercayaan kepada Tuhan, aku hidup dengan martabat dan karakter yang kuat; dengan kepercayaan kepada Tuhan, aku bisa lebih menonjol dibandingkan orang lain, dan menjalani kehidupan yang lebih unggul daripada orang lain. Ketika aku sudah pergi ke Surga, kalian semua harus menghargaiku. Tak seorang pun akan memandang rendah diriku lagi." Keinginan ini, harapannya ini, sangat kosong dan tidak jelas. Dia merasa bahwa dia sedang menjalani kehidupan yang menyedihkan di dunia ini, karena keadaan keluarganya atau alasan lainnya. Tinggal di rumah Tuhan, dia memiliki sesuatu untuk diandalkan. Saudara-saudari tidak menindasnya. Dia tidak lagi menjadi orang yang malang; dia memiliki pendukung. Selain itu, harapan terbesarnya adalah bahwa dia dapat memperoleh tempat tujuan yang indah bagi dirinya sendiri setelah dia mati, atau dalam kehidupan ini, di mana dia bisa bangga akan dirinya sendiri. Itulah tujuannya. Dia hidup berdasarkan cita-cita ini, dan di mana pun, dalam segala hal, dia menggunakan pemikiran ini, keinginan ini, sebagai motivasinya. Sangat sulit baginya untuk hidup berdasarkan kebenaran. Orang-orang semacam itu hidup dengan menyedihkan. Ada orang lain yang memiliki keinginan untuk pamer atau membuat dirinya terkenal. Oleh karena itu, dia sangat suka hidup dalam sebuah kelompok, melakukan ini dan itu agar orang lain dalam kelompoknya mengaguminya, yang memuaskan keangkuhannya. Dia percaya, "Aku mungkin bukan seorang pemimpin, tetapi selama aku dapat memperlihatkan bakatku di depan kelompok dan terlihat bersinar dengan glamor dan pancaran kemuliaan, sungguh layak bagiku untuk percaya kepada Tuhan. Untuk itulah aku hidup; itu tidak lebih buruk daripada berada di dunia." Jadi, untuk itulah dia hidup sejak saat itu. Dia menjalani hari-hari dan tahun-tahunnya seperti itu, tanpa ada perubahan pada niat awalnya. Apakah ini hidup berdasarkan kebenaran? Tentu saja bukan. Dia hidup berdasarkan mimpi dan keinginan, sama seperti orang-orang tidak percaya. Ini adalah masalah yang ada hubungannya dengan pandangan orang terhadap hal-hal, serta wataknya yang rusak. Jika masalah ini tidak dibereskan, tidaklah mungkin untuk memahami atau menerapkan kebenaran, dan akan sangat sulit untuk hidup berdasarkan kebenaran.

Ada juga beberapa wanita yang hidup berdasarkan penampilannya, selalu menganggap dirinya cantik, menganggap bahwa di mana pun dia berada, semua orang menyukai, menghormati, dan menyetujuinya. Di mana pun dia berada, dia mendengar kata-kata pujian dari orang-orang terhadap dirinya dan melihat wajah tersenyum orang-orang yang ditujukan kepada dirinya. Dia sangat bangga akan dirinya sendiri, dan sangat percaya diri, hidup seperti itu. Jadi, dia menganggap bahwa hidup dengan cara ini memberinya modal, bahwa ada banyak nilai dalam hidupnya, bahwa setidaknya, ada banyak orang yang menghargai dirinya. Bukankah ada juga pria yang hidup berdasarkan penampilannya? Katakanlah engkau tampan, dan ketika engkau berbicara dengan saudarimu di gereja, engkau cerdas, gagah, dan romantis. Engkau sangat bangga akan dirimu sendiri, dengan semua orang menganggap tinggi dirimu dan berada di sekelilingmu. "Aku tidak berusaha berkencan dengan siapa pun. Aku hanya hidup seperti ini, dan itu menyenangkan! Menerapkan kebenaran sungguh membosankan!" Ada orang lain yang hidup berdasarkan modal, dan untuk memiliki modal, tentu saja dia harus memiliki sesuatu yang nyata. Apakah hal-hal yang nyata tersebut? Sebagai contoh, ada orang yang merasa bahwa dia telah percaya kepada Tuhan sejak dari rahim ibunya. Dia telah percaya kepada Tuhan selama lima puluh tahun atau lebih, dan itulah modalnya. Ketika dia melihat saudara atau saudarinya, dia bertanya, "Sudah berapa tahun kau percaya kepada Tuhan?" "Lima tahun," jawabnya. Dia telah percaya kepada Tuhan sepuluh kali lebih lama daripada orang ini, dan melihat hal itu, dia berpikir, "Sudahkah kau percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun lamanya sepertiku? Kau masih sangat muda. Sebaiknya kau bersikap baik, perjalananmu masih panjang!" Ini artinya dia hidup berdasarkan modalnya. Modal apa lagi yang ada? Ada orang-orang yang telah melayani sebagai pemimpin dan pekerja di semua tingkatan. Dia telah lama bekerja di luar, melakukan pekerjaan dan menyibukkan dirinya serta pergi ke gereja-gereja, dan dia memiliki banyak pengalaman. Dia cukup terbiasa dengan pengaturan kerja Yang di Atas, serta berbagai macam orang dan bidang pekerjaan di gereja. Jadi, dia percaya, "Aku adalah pemimpin veteran dengan modal veteran. Aku sudah lama bekerja, dan aku memiliki pengalaman. Tahu apa kalian semua? Kalian masih muda. Sudah berapa hari kalian bekerja? Kalian belum berpengalaman. Kalian tidak tahu apa-apa. Jadi, kalian harus mendengarkanku!" Jadi, dia terus berkhotbah sepanjang hari, tanpa ada sesuatu pun yang nyata di dalamnya, semuanya hanya kata-kata dan doktrin. Namun, dia akan membuat alasan: "Suasana hatiku sedang buruk hari ini. Ada antikristus yang menyebabkan gangguan dan kekacauan, dan itu memengaruhiku. Aku akan berkhotbah dengan benar lain kali." Itu memperlihatkan dirinya yang sebenarnya, bukan? Dia hidup berdasarkan modal veterannya, dan sangat merasa puas diri. Sungguh, betapa menjijikkannya, betapa memuakkannya! Itu adalah semacam modal. Ada orang lain yang telah dipenjara karena percaya kepada Tuhan, atau memiliki pengalaman luar biasa lainnya, atau telah melakukan tugas yang istimewa. Dia telah menderita, dan hal itu juga menjadi semacam modal baginya. Mengapa orang-orang selalu hidup berdasarkan modal mereka? Ada masalah dalam hal ini: dia menganggap bahwa modal tersebut adalah kehidupannya. Selama dia hidup berdasarkan modal yang dia miliki, dia dapat sering mengagumi dan bangga akan dirinya sendiri, serta menggunakan modal tersebut untuk mengajar dan memengaruhi orang lain, yang berguna untuk mendapatkan pujian mereka. Dia meyakini bahwa dengan modal yang dia miliki sebagai landasan, selama dia mengejar sedikit kebenaran, atau melaksanakan tugasnya dengan baik dan melakukan beberapa perbuatan baik, maka dia, seperti Paulus, dapat memiliki mahkota kebenaran yang tersedia baginya. Tentu saja, dia akan bertahan hidup; tentu saja, dia akan sampai pada tempat tujuan yang baik. Hidup berdasarkan modalnya, dia seringkali hidup dalam keadaan bangga akan dirinya sendiri, sangat berpuas diri, dan dalam keadaan sikap berpuas diri. Dia merasa bahwa Tuhan senang dengan modalnya, bahwa Dia menyukainya, bahwa Dia akan membiarkan dia bertahan hidup sampai akhir. Bukankah ini hidup berdasarkan modal? Dia memperlihatkan pola pikir ini di setiap kesempatan. Dalam hal-hal yang dia perlihatkan, dalam hal-hal yang dia jalani, dan dalam hal-hal yang dia khotbahkan kepada orang lain setiap kali ada kesempatan, apa yang ada dalam pikirannya jelas terlihat. Ada orang lain yang mendapatkan kasih karunia atau perhatian khusus dari Tuhan, sesuatu yang tidak dimiliki siapa pun, hanya dia. Jadi, dia menganggap bahwa dirinya istimewa, bahwa dia berbeda dari orang lain. Dia berkata, "Kepercayaanmu kepada Tuhan berbeda dengan kepercayaanku. Tuhan memulai dengan memberi kalian banyak kasih karunia dan membimbing kalian. Kemudian, ketika kalian perlahan-lahan mulai memahami beberapa kebenaran, Tuhan memangkas, menghakimi, dan menghajar kalian. Seperti itulah rasanya bagi kalian semua. Berbeda denganku: Tuhan memberiku kasih karunia istimewa. Dia memperlakukanku dengan perlakuan khusus, dan perlakuan khusus itu adalah modalku, itu adalah voucer dan tiketku untuk masuk ke dalam Kerajaan." Perasaan apa yang kaurasakan ketika mendengar perkataannya? Apakah dia memiliki pengetahuan tentang pekerjaan Tuhan? Apakah dia mengenal dirinya sendiri? Sama sekali tidak. Dapat dikatakan bahwa dia tidak memahami kebenaran, dan dia menganggap bahwa dia dapat diselamatkan tanpa harus mengejar kebenaran, atau mencari kebenaran, atau menerima penghakiman dan hajaran. Orang-orang seperti apakah yang memiliki keadaan seperti ini? Mereka adalah sebagian kecil orang yang telah melihat beberapa penglihatan, yang telah menerima perlindungan khusus dan lolos dari bencana. Atau, mereka telah mati dan hidup kembali, serta memiliki kesaksian atau pengalaman khusus. Mereka menjadikan hal-hal ini sebagai kehidupan mereka, sebagai dasar untuk penghidupan mereka, dan menggunakannya sebagai pengganti penerapan kebenaran. Selain itu, dia menganggap hal-hal ini sebagai tanda dan standar keselamatan. Itulah modal. Apakah engkau semua memiliki hal-hal semacam itu? Engkau semua mungkin tidak memiliki pengalaman khusus seperti ini, tetapi jika engkau semua telah melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu yang lama dan memperoleh hasil, engkau akan menganggap bahwa engkau memiliki modal. Katakanlah engkau sudah lama melaksanakan tugas sebagai sutradara, dan menghasilkan beberapa karya yang bagus. Itu akan terbentuk menjadi modal bagimu. Engkau mungkin belum memilikinya karena engkau belum menghasilkan karya apa pun. Atau, engkau mungkin pernah menyutradarai dua film yang menurutmu lumayan, tetapi engkau belum berani menganggapnya sebagai modalmu. Engkau tidak percaya diri akan kedua film tersebut; engkau merasa belum memiliki pengalaman atau modal yang cukup, sehingga engkau berhati-hati, pendiam, dan rendah hati. Engkau tidak berani menyinggung siapa pun, apalagi bersikap sombong dan pamer. Meski demikian, engkau sangat bangga akan dirimu sendiri dan selalu mengagumi dirimu sendiri, dan itulah hal-hal yang kaujalani. Bukankah itu adalah keadaan menyedihkan dari manusia yang rusak?

Ada orang-orang yang memiliki penampilan yang sangat jahat. Dia bertubuh besar, kekar, dan kuat, dan dia selalu ingin menindas orang lain. Ketika berbicara, dia sangat mendominasi dan angkuh; dia bersikap keras terhadap semua orang, siapa pun mereka. Jadi, orang-orang menjadi sedikit takut ketika mereka melihat dirinya, dan memperlakukannya dengan hormat, berusaha untuk mengambil hatinya. Hal ini membuat dia sangat bangga. Dia merasa bahwa hidup ini mudah dan meyakini bahwa semua ini adalah bakatnya. Dia menganggap bahwa tak ada seorang pun yang berani menindasnya jika dia hidup seperti ini. Jika engkau ingin menonjol di tengah orang banyak, engkau harus mandiri, memberdayakan diri sendiri, dan kuat serta tangguh. Inilah prinsip hidupnya. Agar bisa menonjol di antara orang lain, tanpa ada yang berani menindas atau mempermainkannya, ataupun ada yang berani menipu dan memanfaatkannya, dia merangkum prinsip seperti ini: "Jika aku mau hidup dengan baik, aku harus kuat dan tangguh. Makin ganas aku, makin baik. Dengan demikian, di mana pun aku berada, tak seorang pun akan berpikir untuk menindasku." Jadi, dia hidup seperti ini selama beberapa tahun, dan memang, tak ada seorang pun yang berani menindasnya. Akhirnya dia mencapai tujuannya. Di kelompok mana pun dia berada, dia memasang ekspresi yang serius, wajah datar, memainkan keseriusannya, dan merengut dengan wajah yang dingin. Tak ada seorang pun yang berani berbicara ketika mereka berada di dekatnya; anak-anak menangis hanya karena melihatnya. Setan yang terlahir kembali—itulah dia! Hidup dengan tinjunya. Watak apakah itu? Itu adalah watak yang jahat. Di mana pun dia berada, hal pertama yang dia lakukan adalah belajar cara memanipulasi dan memanfaatkan orang. Dia juga ingin mengendalikan orang dan menundukkan mereka. Dia memikirkan cara untuk memberi pelajaran kepada siapa pun yang tidak menghormatinya, dan dia mencari kesempatan untuk menghukum siapa pun yang berbicara tidak sopan kepadanya dengan kata-kata kasar. Bukankah kejam jika hidup berdasarkan hal-hal seperti ini? Menangani segala sesuatu dengan tinjunya, seperti yang dilakukannya, memiliki beberapa dampak: banyak orang takut terhadapnya, sehingga membuka jalan baginya. Namun, mampukah orang-orang semacam itu menerima kebenaran, mengingat dia hidup berdasarkan sikap yang terburu nafsu dan watak yang jahat? Dapatkah dia sungguh-sungguh bertobat? Hal ini mustahil karena dia mendukung falsafah Iblis dan penggunaan kekerasan. Dia hidup hanya berdasarkan falsafah Iblis dan penggunaan kekerasan; dia membuat semua orang mematuhinya dan takut terhadapnya, sehingga dia bisa menjadi tak terkendali dengan sembrono, melakukan apa pun yang dia suka. Yang membuatnya khawatir bukanlah memiliki reputasi yang buruk, tetapi tidak memiliki reputasi yang jahat. Itulah prinsipnya. Begitu dia telah mencapai tujuannya seperti ini, dia berpikir, "Aku telah berhasil tetap teguh di rumah tuhan dan di antara kelompok-kelompok ini. Semua orang takut terhadapku; tak ada seorang pun yang berani macam-macam terhadapku. Mereka semua menghormatiku." Dia percaya bahwa dia telah menang. Benarkah tak ada seorang pun yang berani macam-macam terhadapnya? Tidak berani macam-macam terhadapnya adalah hal yang bersifat eksternal. Bagaimana setiap orang, di lubuk hati mereka, memandang orang semacam itu? Tidak diragukan lagi: mereka merasa muak terhadapnya, merasa jijik, penuh kebencian, menjauhi, dan menghindarinya. Apakah engkau semua bersedia berurusan dengan orang semacam itu? (Tidak.) Mengapa tidak? Dia selalu memikirkan cara untuk menyiksamu. Akankah engkau semua sanggup menanggungnya? Terkadang, bukannya mengancammu dengan kekerasan, dia akan menggunakan teknik-teknik tertentu untuk membingungkanmu dan kemudian mengancammu. Ada orang-orang yang tidak mampu menahan ancaman tersebut, jadi mereka memohon belas kasihan dan menyerah kepada Iblis. Orang-orang jahat berbicara dan bertindak dengan melakukan apa pun yang diperlukan. Orang yang segan dan penakut menyerah kepadanya, kemudian mengikutinya dalam ucapan dan tindakan. Dia adalah kaki tangan orang jahat tersebut, bukan? Apa yang akan engkau semua lakukan ketika melihat orang jahat seperti itu? Pertama, jangan takut. Engkau harus mencari cara untuk menghadapi dan menyingkapkannya. Engkau juga dapat bekerja sama dengan saudara-saudari yang benar-benar percaya kepada Tuhan untuk melaporkan dia. Rasa takut tidak ada gunanya. Makin engkau takut terhadapnya, makin dia akan menindas dan mengganggumu. Bekerja sama untuk melaporkan orang jahat adalah satu-satunya cara untuk membuatnya takut dan malu. Jika engkau terlalu penakut dan tidak berhikmat, engkau pasti akan diperlakukan dengan kejam oleh orang jahat tersebut. Betapa kecilnya iman orang-orang, betapa menyedihkannya! Kenyataannya, bahkan jika orang jahat mempertaruhkan semuanya, apa yang dapat dilakukan orang jahat kepada orang lain? Akankah dia berani mengayunkan tinjunya dengan seenaknya dan memukuli seseorang sampai mati? Sekarang kita hidup di tengah masyarakat yang diatur oleh hukum. Dia tidak berani untuk melakukan hal itu. Selain itu, orang yang sangat jahat adalah segelintir kecil orang yang diasingkan. Jika ada orang yang berani menindas orang lain dan bertindak kasar terhadap gereja, yang diperlukan hanyalah dua atau tiga orang yang bekerja sama untuk melaporkan dan menyingkapkannya. Itu akan membungkamnya. Bukankah demikian? Jika ada beberapa umat pilihan Tuhan saja yang sehati dan sepikir, mereka dapat dengan mudah membungkam orang jahat. Engkau harus percaya bahwa Tuhan adalah Tuhan yang benar dan mahakuasa, bahwa Dia membenci orang jahat, dan bahwa Dia akan mendukung umat pilihan-Nya. Selama seseorang memiliki iman, dia tidak boleh takut kepada orang jahat, dan dengan sedikit hikmat dan strategi, jika mereka dapat bekerja sama dengan orang lain, orang jahat itu dengan sendirinya akan mengalah. Jika engkau tidak benar-benar beriman kepada Tuhan, tetapi takut kepada orang-orang jahat dan meyakini bahwa dia dapat mengendalikanmu dan menentukan nasibmu, maka tamatlah riwayatmu. Engkau tidak akan memiliki kesaksian, tidak ada yang dapat kautawarkan, dan engkau akan menjalani kehidupan yang penakut dan kotor. Apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini? Ada orang-orang yang selalu hidup dengan kecerdikan kecilnya, dan berpikir, "Aku tidak tahu di mana Tuhan berada, dan aku tidak yakin apakah Yang di Atas mengetahui tentang hal ini. Jika aku membuat laporan dan orang jahat itu mengetahuinya, bukankah dia akan makin menyiksaku karenanya?" Makin dia memikirkannya, makin takut dirinya, dan dia ingin merunduk dan berlindung di bawah meja. Dapatkah seseorang yang melakukan hal itu tetap menerapkan kebenaran dan mematuhi prinsip? (Tidak.) Dia adalah orang-orang kecil yang penakut, bukan? Seperti inilah sebagian besar darimu. Beberapa waktu yang lalu, ada seorang antikristus yang menyiksa beberapa orang. Orang-orang itu sangat penakut sehingga membuat mereka disiksa. Apakah disiksa adalah hal yang baik atau buruk? Disiksa adalah hal yang buruk dari sudut pandang manusia: itu artinya diperlakukan tidak adil, disakiti. Namun, seseorang bisa memetik pelajaran darinya dan mengambil manfaat darinya, dan itu bukanlah hal yang buruk, itu adalah hal yang baik. Namun, ada orang-orang yang tidak berhikmat dan penakut. Ketika seseorang menyiksa dan menindasnya, dia tidak melawan, meskipun dia berada di pihak yang benar. Dia tahu bahwa orang itu adalah pemimpin palsu, antikristus, tetapi dia tidak melaporkannya, juga tidak berani menyanggah dan menyingkapkannya. Dasar sampah penakut! Jika seseorang dapat dikekang dalam hal-hal seperti itu, itu menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhannya sangat rendah dan imannya menyedihkan: dia tidak tahu bagaimana mengandalkan Tuhan, dan dia juga tidak berpikir untuk melindungi pekerjaan gereja. Dia tidak memahami maksud Tuhan. Umat pilihan Tuhan berhak untuk melawan orang-orang jahat dan antikristus, dan ini diperkenan dan diberkati oleh Tuhan. Bukankah menyedihkan jika engkau tidak berperang melawan Iblis dan mengalahkannya? Orang itu jelas-jelas adalah seorang pelaku kejahatan, suatu kekuatan negatif; dia adalah Iblis, setan, dia adalah roh jahat yang menjijikkan, tetapi engkau disiksa olehnya. Dan bukan hanya engkau, ada banyak orang lain yang juga disiksa. Bukankah itu pengecut? Mengapa engkau semua tidak bisa bersatu untuk berperang melawannya? Betapa bodoh dan tidak berhikmatnya dirimu. Carilah beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk mengenali yang memahami kebenaran untuk menelaah perilaku orang tersebut. Lakukan ini dan sebagian besar umat pilihan Tuhan akan mampu melihat segala sesuatu apa adanya dan bangkit. Bukankah masalahnya akan mudah diselesaikan? Ketika lain kali engkau semua menghadapi hal seperti itu, akankah engkau mampu bangkit dan berperang melawan antikristus? (Ya.) Aku ingin melihat berapa banyak antikristus yang mampu engkau semua tangani dan selesaikan. Itulah kesaksian para pemenang. Engkau semua berkata bahwa engkau mampu melakukannya sekarang, tetapi apakah engkau semua mampu mematuhi prinsip-prinsip tersebut ketika hal itu benar-benar terjadi? Engkau mungkin akan kembali merasa sangat takut sehingga engkau berlindung di bawah meja. Orang yang tidak memahami kebenaran, ketika sesuatu terjadi pada mereka, terlihat sangat menyedihkan! Sangat menyedihkan! Dia tidak berani mengatakan apa pun ketika disiksa, dan setelah siksaan itu berlalu, rasa takut tetap ada dalam dirinya. Dia sangat ketakutan. Betapa rendahnya tingkat pertumbuhan seseorang, yang bahkan tidak mampu mengenali orang jahat ketika dia melihatnya. Dia sama sekali tidak memahami kebenaran. Bukankah dia menyedihkan? Orang-orang yang jahat hidup dengan tinjunya; dia hidup dengan menindas orang lain, menindas orang baik, dan mengambil keuntungan dengan mengorbankan orang lain; dia hidup berdasarkan natur dan wataknya yang jahat, membuat orang lain takut, menjilat, serta menghormati dan memujinya. Dia menganggap hidup seperti itu adalah hal yang menyenangkan. Bukankah dia adalah pemimpin penjahat? Bukankah dia perampok dan penjahat? Engkau semua bukan orang jahat, tetapi apakah engkau semua memiliki keadaan seperti itu? Bukankah engkau juga hidup berdasarkan hal-hal seperti itu? Ketika beberapa di antara kalian dipasangkan dengan seseorang dan melihatnya masih muda, engkau berpikir, "Kau tidak memahami apa pun. Aku bisa menindasmu, dan kau tidak bisa berbuat apa-apa. Aku lebih kuat daripadamu dan posisiku lebih tinggi; tubuhku lebih besar daripadamu, dan tinjuku memukul lebih keras. Jadi, aku bisa menindasmu." Hidup dengan apakah itu? Dia hidup dengan tinjunya; itu berarti hidup dan bertindak berdasarkan watak yang jahat. Ketika dia melihat orang yang lugu, dia menindasnya, dan ketika dia melihat orang yang tangguh, dia bersembunyi. Dia memangsa yang lemah dan takut pada yang kuat. Ada orang-orang jahat yang takut dikucilkan ketika dia melihat orang-orang menjauhinya, jadi dia memilih orang-orang yang lugu dan penakut untuk diajak bergaul dan berteman. Lalu dia memperluas kekuasaannya, kemudian memanfaatkan orang-orang yang lugu dan penakut itu untuk menyiksa orang-orang baik, menyerang orang-orang yang mengejar kebenaran, dan menyiksa semua orang yang tidak puas atau tidak patuh kepadanya. Jelas sekali bahwa orang jahat memiliki niat dan tujuan ketika berteman dengan orang-orang yang lugu. Singkatnya, jika engkau tidak mampu menerima kebenaran atau merenungkan apakah engkau sedang melakukan kejahatan atau melakukan kebaikan dalam perilaku dan tindakanmu, maka entah engkau adalah orang yang baik atau orang yang jahat, dan sekalipun engkau telah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, engkau tidak akan mampu melakukan pertobatan sejati. Mungkin engkau bukan orang yang memiliki watak yang jahat, tetapi engkau hanya hidup berdasarkan falsafah Iblis. Engkau mungkin tidak melakukan kejahatan, atau engkau mungkin melakukan beberapa perbuatan baik, tetapi tetap saja, engkau tidak hidup berdasarkan kebenaran. Engkau hidup berdasarkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kebenaran. Singkatnya, selama engkau memiliki watak rusak Iblis, maka sekalipun engkau telah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, engkau mungkin hidup berdasarkan hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebenaran. Hal-hal ini mungkin berwujud, atau mungkin tidak berwujud; engkau mungkin menyadarinya, atau engkau mungkin sama sekali tidak menyadarinya; hal-hal tersebut mungkin berasal dari luar, atau hal-hal tersebut mungkin merupakan hal-hal yang telah berakar begitu dalam dan kuat dalam watakmu. Bagaimanapun juga, semua ini bukanlah kebenaran. Semua ini muncul dari manusia yang rusak itu sendiri, atau lebih tepatnya, semua itu berasal dari Iblis. Jadi, ketika orang-orang hidup berdasarkan hal-hal yang berasal dari Iblis, jalan seperti apa yang sebenarnya sedang dia tempuh? Apakah dia sedang mengikuti jalan Tuhan? Tentu saja tidak. Jika seseorang tidak menerapkan kebenaran dalam tindakan dan perilakunya, maka sebenarnya, dia tidak sedang melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Dia mungkin kelihatannya melaksanakan tugas, tetapi itu masih jauh dari standar untuk pelaksanaan suatu tugas, terutama karena pelaksanaan tugas tersebut dicemari dengan niat dan transaksi. Dia mungkin melaksanakan tugas, tetapi dia tidak setia atau tidak memiliki prinsip, dan tindakannya tentu saja tidak membuahkan hasil yang nyata. Ini membuktikan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, dia sebenarnya telah melakukan banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan kebenaran. Tak satu pun dari hal-hal tersebut ada hubungannya dengan prinsip-prinsip kebenaran; semuanya dilakukan berdasarkan imajinasi dan kesukaannya sendiri. Bagaimana mungkin melaksanakan tugas dengan cara seperti itu mendapat perkenanan Tuhan?

Kita telah mempersekutukan keadaan-keadaan ini dalam segala aspeknya. Dapatkah engkau semua sekarang mengukur berdasarkan apa engkau hidup? Baik dalam pelaksanaan tugasmu maupun dalam kehidupanmu sehari-hari, apakah engkau semua sering hidup berdasarkan kebenaran? (Tidak.) Aku selalu menyingkapkan dirimu sampai ke lubuk hatimu dalam persekutuan kita, dan engkau semua merasa telah menjalani kehidupan yang memalukan. Engkau kehilangan kepercayaan dirimu; engkau tidak lagi begitu glamor. Dan ada banyak hal yang membuatmu malu untuk mengungkapkannya, engkau tidak lagi merasa dibenarkan untuk diberkati atau memiliki tempat tujuan yang baik di masa depan. Apa yang harus dilakukan mengenai hal itu? Apakah menyingkapkanmu apa adanya merupakan hal yang baik? (Ya.) Lalu, apa tujuan menyingkapkan dirimu sampai ke lubuk hatimu? Orang-orang harus memiliki pemahaman yang jelas tentang keadaan seperti apa yang mereka jalani, di keadaan mana mereka hidup; mereka harus memiliki pemahaman yang jelas tentang jalan apa yang sedang mereka tempuh, tentang cara hidup mereka, tentang perilaku abnormal apa yang mereka miliki, tentang hal-hal yang tidak pantas yang mereka lakukan, tentang apakah mereka dapat memperoleh kebenaran dan datang ke hadapan Tuhan atau tidak, menjalani hidup seperti yang mereka lakukan. Semua ini adalah hal-hal yang terpenting. Engkau mungkin berkata, "Aku memiliki hati nurani yang bersih tentang bagaimana aku hidup. Aku tidak pernah merasa gelisah atau sedih tentang hal ini, dan aku tidak pernah merasa kosong." Namun, apa hasilnya? Ketidaksenangan Tuhan. Engkau tidak mengikuti jalan-Nya. Jalan yang kautempuh bukanlah jalan sesungguhnya dari kehidupan manusia, jalan yang Tuhan tunjukkan kepadamu. Sebaliknya, dalam angan-anganmu, engkau sedang berada di jalan yang telah kautemukan dengan imajinasimu. Meskipun engkau semua telah sibuk dengan gembira dan banyak menyibukkan diri, pada akhirnya, apa yang akan menjadi kesudahanmu? Niat dan keinginanmu serta jalan yang engkau tempuhlah yang akan merugikanmu dan membawamu menuju kehancuran. Kepercayaanmu kepada Tuhan pasti akan gagal. Apa yang dimaksud dengan kepercayaan seseorang kepada Tuhan gagal? (Bahwa mereka tidak akan memiliki kesudahan.) Jika dilihat sekarang, itu akan menjadi konsekuensi karena engkau tidak memperoleh kebenaran. Engkau sudah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, tetapi tanpa berfokus untuk memperoleh kebenaran, jadi akan tiba saatnya, karena satu dan lain hal, engkau akan disingkapkan dan disingkirkan. Dan kemudian, sudah terlambat untuk menyesal. Engkau berkata, "Ini adalah cara hidup yang masuk akal bagiku! Aku merasa percaya diri hidup seperti ini, dan hatiku sangat penuh dan kaya." Lalu, akankah itu membantu? Entah caramu menempuh jalan percaya kepada Tuhan, caramu hidup, dan hal-hal apa yang berdasarkannya engkau hidup itu benar atau tidak tergantung pada hasilnya. Dengan kata lain, hal ini tergantung pada apakah engkau pada akhirnya memperoleh kebenaran atau tidak, dan apakah engkau memiliki kesaksian yang sejati atau tidak, dan apakah watak hidupmu berubah atau tidak, dan apakah engkau telah menjalani kehidupan yang bernilai atau tidak. Jika engkau telah memperoleh semua hasil ini, engkau akan mendapat perkenanan Tuhan dan pujian dari umat pilihan Tuhan, yang membuktikan bahwa engkau sedang berada di jalan yang benar. Jika engkau belum memperoleh hasil-hasil positif ini, dan tidak memiliki kesaksian pengalaman yang sejati ataupun perubahan sejati dalam watak hidupmu, itu membuktikan bahwa engkau tidak sedang berada di jalan yang benar. Apakah dijelaskan dengan cara seperti itu membuatnya mudah dimengerti? Singkatnya, seperti apa pun engkau hidup, betapapun nyamannya engkau dalam hidup, dan apa pun persetujuan yang mungkin kauperoleh dari orang lain, itu bukanlah inti masalahnya. Engkau berkata, "Ada banyak hal yang dapat dinikmati dalam caraku hidup dan bertindak. Aku merasa sangat bahagia, sangat tersanjung, dan juga mendapatkan penegasan." Bukankah engkau sedang mengelabui dirimu sendiri? Misalkan seseorang bertanya kepadamu, "Sudahkah engkau menerapkan menjadi orang yang jujur? Apa yang menjadi tantangan bagimu dalam penerapan tersebut? Keadaan apa yang menyulitkanmu menjadi orang yang jujur? Jika engkau memiliki pengalaman mengenai hal itu, ceritakanlah sedikit. Apakah engkau memiliki kesaksian tentang mengasihi Tuhan? Apakah engkau memiliki pengalaman mengasihi Tuhan dan tunduk kepada-Nya? Apakah engkau memiliki pengalaman tentang watakmu yang berubah setelah engkau menerima penghakiman, hajaran, dan pemangkasan? Hal-hal istimewa apa yang telah kaualami di sepanjang jalan pertumbuhanmu dalam hidup yang telah membuat hidupmu terus berubah, dan terus bertumbuh makin dekat dengan tujuan yang telah Tuhan tetapkan bagimu, yang Dia tuntut darimu untuk dipenuhi?" Jika engkau tidak memiliki jawaban yang jelas terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, jika engkau tidak mengetahui jawabannya, itu membuktikan bahwa engkau tidak sedang berada di jalan yang benar. Itu jelas sekali.

Kata-kata persekutuan di atas hanyalah pernyataan sederhana. Ada beberapa detail kecil yang tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. Sebagai contoh, orang-orang melakukan segala sesuatu dengan ketekunan mereka, atau dengan kebaikan hati mereka, atau dengan kesediaan mereka untuk menderita, atau dengan gagasan dan imajinasi mereka, dan sebagainya—tak ada satu pun dari hal-hal ini adalah hidup berdasarkan kebenaran. Mereka semua adalah contoh dari orang-orang yang hidup berdasarkan angan-angan mereka, watak rusak mereka, kebaikan manusiawi mereka, dan falsafah Iblis. Semua hal ini berasal dari otak manusia, dan secara lebih spesifik, berasal dari Iblis. Hidup berdasarkan hal-hal ini tidak mungkin memuaskan Tuhan. Dia tidak menginginkannya, betapapun bagusnya hal-hal tersebut, karena itu bukanlah penerapan kebenaran. Hidup berdasarkan hal-hal ini berarti hidup berdasarkan falsafah Iblis dan watak yang rusak. Itu merupakan penghinaan terhadap Tuhan. Itu bukan kesaksian yang sejati. Jika engkau berkata, "Aku tahu tindakan ini hanyalah kebaikan hati, yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran; bukan begitu seharusnya caraku melakukan penerapan," dengan pemahaman yang benar dalam hati, perasaan bahwa bertindak seperti itu adalah salah, itu berarti engkau telah memiliki pemahaman. Perspektifmu akan berubah. Itulah hasil yang Tuhan inginkan. Engkau harus tahu di mana letak penyimpanganmu. Ubahlah perspektifmu dan lepaskan gagasanmu, dan pahamilah kebenaran dan maksud Tuhan. Setelah engkau melakukannya, lakukanlah penerapan secara bertahap ke arah itu, dan masuklah ke jalan yang benar. Itulah satu-satunya harapanmu untuk mencapai tujuan yang Tuhan berikan kepadamu. Jika engkau tidak melakukan penerapan dan memasuki jalan yang Tuhan tuntut, tetapi berkata, "Inilah yang sedang kulakukan. Bukannya aku bermalas-malasan: aku telah melaksanakan tugasku. Aku yakin bahwa aku adalah makhluk ciptaan, dan aku telah mengakui Penciptaku," akankah itu membantu? Tidak. Engkau sedang menentang Tuhan, keras kepala! Sekaranglah waktunya memilih jalan dalam hidup. Yang terpenting adalah apa yang harus kaulakukan untuk mengikuti jalan yang Tuhan tuntut untuk kautempuh. Pertama, jangan bertindak berdasarkan gagasan dan imajinasi manusia; kedua, jangan bertindak berdasarkan keinginan manusia; ketiga, jangan bertindak berdasarkan kesukaan manusia; dan keempat, jangan bertindak berdasarkan emosi manusia. Yang jauh lebih penting, jangan bertindak berdasarkan watak yang rusak. Engkau tidak boleh membuang waktu untuk menyingkirkan hal-hal ini. Modal apa pun yang kaumiliki, bagi Tuhan, semua itu hanyalah hal-hal yang tidak berharga, rongsokan, yang sama sekali tidak mendekati kenyataan. Engkau harus membuang hal-hal itu, satu demi satu, dan melepaskan semuanya, dan engkau akan makin memahami bahwa hanya apa yang diperoleh dengan mengandalkan penerapan kebenaranlah yang bernilai dan sesuai dengan standar tuntutan Tuhan bagi manusia. Semua yang berasal dari manusia tidak ada gunanya, yang pada akhirnya tidak berguna, sebanyak apa pun yang kaupelajari. Semua itu adalah rongsokan, sampah; hanya kebenaran yang Tuhan anugerahkan kepada manusialah yang merupakan harta dan kehidupan. Itu memiliki nilai abadi. Engkau selalu berpaut pada kemampuanmu sendiri, berpikir, "Aku mempelajari keterampilan ini setelah belajar dengan keras selama bertahun-tahun. Orang tuaku mengerahkan upaya yang sangat besar untukku, dan menghabiskan begitu banyak uang, dan membayar harga yang sangat mahal, dengan darah, keringat, dan air mata—bagaimana aku bisa begitu saja menelaah dan mengutuk hal itu? Ini adalah masalah besar, masalah hidup dan mati! Tanpa hal-hal ini, bagaimana aku bisa hidup?" Betapa bodohnya dirimu. Jika engkau hidup berdasarkan hal-hal itu, engkau pasti masuk neraka. Engkau harus hidup berdasarkan firman Tuhan. Ubahlah cara hidupmu; izinkan firman Tuhan masuk, dan singkirkan hal-hal lama itu dari dalam dirimu. Engkau harus menelaah dan memahaminya, membuka diri dan memperlihatkannya agar semua orang dapat melihatnya, sehingga kelompok tersebut dapat memperoleh pemahaman. Tanpa sadar, engkau akan mulai membenci hal-hal tersebut, membenci hal-hal yang dahulu kausukai, membenci hal-hal yang dahulu kauandalkan untuk bertahan hidup, membenci hal-hal yang dahulu kauyakini sebagai hidupmu dan menjadi hal-hal yang paling kauhargai. Itulah cara untuk sepenuhnya memisahkan dan menyingkirkan hal-hal tersebut dari dalam dirimu sepenuhnya, jalan untuk benar-benar memahami kebenaran, dan memulai jalan penerapan kebenaran. Tentu saja, ini adalah proses yang rumit dan sulit, serta menyakitkan. Namun, ini adalah proses yang harus dijalani manusia. Proses ini perlu dijalani. Mengalami pekerjaan Tuhan adalah seperti dirawat karena suatu penyakit: jika engkau mengidap tumor, satu-satunya jalan untuk menanganinya adalah di meja operasi. Jika engkau tidak berada di meja operasi dan tunduk pada pisau bedah yang membedah tumor tersebut dan mengangkatnya dari tubuhmu, penyakitmu tidak akan terobati, dan engkau tidak akan sembuh.

Banyak orang menganggap orang jujur sebagai orang bodoh, dan berpikir, "Mereka mengikuti apa pun yang Tuhan katakan. Dia berkata untuk menjadi orang yang jujur, dan mereka benar-benar melakukannya; mereka mengatakan yang sebenarnya, tanpa kebohongan sedikit pun. Mereka orang bodoh, bukan? Engkau dapat menjadi orang yang jujur, tetapi hanya sejauh hal itu tidak menimbulkan kerugian apa pun bagimu. Engkau tidak dapat mengatakan semuanya begitu saja! Membocorkan semua rahasiamu adalah suatu kebodohan, bukan?" Mereka menganggap bahwa menjadi orang yang jujur adalah suatu kebodohan. Benarkah? Orang semacam ini adalah orang yang paling cerdas, karena mereka percaya, "Semua firman Tuhan adalah kebenaran, dan menjadi orang yang jujur adalah kebenaran, jadi untuk mendapatkan perkenanan Tuhan, manusia harus bersikap jujur. Jadi, apa pun yang Tuhan katakan, aku lakukan; sejauh mana Dia ingin aku pergi, sejauh itulah aku akan pergi. Tuhan menuntutku untuk tunduk, jadi aku tunduk, dan aku akan terus tunduk selamanya. Aku tidak peduli jika orang mengatakanku bodoh, perkenanan Tuhan sudah cukup bagiku." Bukankah orang semacam itu adalah orang yang paling cerdas? Mereka telah melihat secara akurat apa yang penting dan apa yang tidak. Ada orang-orang yang memiliki agenda tersembunyi, yang berpikir, "Tunduk dalam segala hal adalah hal yang bodoh, bukan? Melakukannya berarti tidak memiliki kebebasan, bukan? Apakah seseorang memiliki martabat jika dia sendiri pun tidak memilikinya? Tentu saja, kita dapat mempertahankan sedikit martabat kita sendiri, bukan? Kita tidak dapat tunduk sepenuhnya, bukan?" Jadi, dia menerapkan ketundukan yang makin dikurangi secara drastis. Dapatkah itu memenuhi standar penerapan kebenaran? Tidak, itu sangat jauh dari standar! Jika engkau tidak menerapkan kebenaran berdasarkan prinsip-prinsip, dan malah selalu memilih cara-cara kompromi yang tidak mengarah pada kebenaran ataupun Iblis, tetapi tetap berada di tengah-tengah, apakah itu berarti engkau sedang menerapkan kebenaran? Ini adalah falsafah Iblis, hal yang paling Tuhan benci. Tuhan membenci sikap manusia terhadap kebenaran ini; Dia membenci orang yang selalu meragukan kebenaran dan firman-Nya, selalu curiga terhadap firman-Nya, atau selalu memiliki sikap yang diskriminatif, menghina, dan kurang ajar. Begitu orang bersikap seperti ini terhadap Tuhan, meragukan-Nya, mencurigai, mempertanyakan, menganalisis, dan salah paham terhadap-Nya, selalu menyelidiki-Nya dan berusaha menilai-Nya dengan pikiranmu, maka Tuhan akan bersembunyi darimu. Dan mampukah engkau memperoleh kebenaran jika Tuhan bersembunyi darimu? "Aku mampu!" katamu. "Aku membaca firman Tuhan setiap hari, aku selalu menghadiri pertemuan, dan aku mendengarkan khotbah setiap minggu, dan merenungkannya serta mencatatnya setiap hari setelahnya. Aku juga menyanyikan lagu pujian dan berdoa. Aku merasa Roh Kudus sedang bekerja di dalam diriku." Apakah itu akan berhasil? Meskipun cara-cara percaya kepada Tuhan ini baik, tetapi bukan itu yang terpenting; yang terpenting adalah bahwa engkau adalah orang yang benar, dan bahwa hatimu benar. Hanya dengan begitu Tuhan tidak akan menyembunyikan wajah-Nya darimu. Jika Tuhan tidak menyembunyikan wajah-Nya darimu, tetapi selalu mencerahkan dan membimbingmu, serta membuatmu memahami maksud-Nya dan kebenaran dalam segala hal, sedemikian rupa sehingga pada akhirnya engkau memperoleh kebenaran, engkau akan sangat diberkati. Namun, jika hatimu tidak benar, dan engkau selalu meragukan Tuhan, bersikap waspada terhadap-Nya, menguji-Nya, dan salah paham terhadap-Nya dengan kecerdasan dan pendapatmu yang picik, atau dengan pengetahuanmu dan falsafah Iblis, maka engkau berada dalam masalah. Ada orang-orang yang selain bersikap waspada, menguji, meragukan, dan salah paham terhadap Tuhan, mereka juga bersikap menentang terhadap-Nya dan bersaing dengan-Nya. Mereka telah menjadi Iblis; mereka berada dalam masalah yang lebih buruk. Engkau tidak akan memahami kebenaran hanya dengan memahami arti harfiah dari kata-kata dan doktrin sederhana. Memahami kebenaran bukanlah perkara sederhana. Kebanyakan orang memiliki kesalahpahaman ini, dan mereka tidak sadar bahkan setelah hal itu ditekankan berulang kali kepada mereka. Mereka berpikir, "Setiap hari, aku membaca firman Tuhan dan mendengarkan khotbah dan persekutuan, dan aku melaksanakan tugasku tahun demi tahun. Aku ibarat benih di ladang, sekalipun engkau tidak menyirami atau memupuknya, perlahan-lahan benih tersebut akan tumbuh dengan sendirinya dengan hujan, dan menghasilkan buah di musim gugur." Bukan begitu cara kerjanya. Yang terpenting adalah unsur kerja sama dari manusia, cara mereka bekerja sama, hati mereka, dan sikap mereka terhadap kebenaran dan Tuhan. Semua ini adalah hal yang sangat penting. Bukankah hal-hal ini juga berkaitan dengan berdasarkan apa orang hidup? (Ya.) Jika engkau selalu hidup berdasarkan kesukaan manusia dan falsafah Iblis, selalu waspada terhadap Tuhan, dan tidak menganggap firman-Nya sebagai kebenaran, maka Tuhan akan mengabaikanmu. Dan apa yang akan dapat kauperoleh jika Tuhan mengabaikanmu? Jika Sang Pencipta mengabaikanmu, maka engkau bukan lagi makhluk ciptaan-Nya. Jika Dia menganggapmu sebagai setan, sebagai Iblis, akankah engkau masih dapat datang ke hadapan Tuhan? Akankah engkau tetap menjadi objek penyelamatan-Nya? Akankah engkau masih memiliki harapan untuk diselamatkan? Itu tidak mungkin. Oleh karena itu, seperti apa pun kehidupan rumah tanggamu, atau kualitas seperti apa pun yang kaumiliki, atau sehebat apa pun karuniamu, atau pekerjaan apa pun yang kaulakukan di gereja, tugas apa pun yang kaulaksanakan, atau apa pun peranmu. Entah pelanggaran seperti apa pun yang pernah kaulakukan di masa lalu, atau keadaan seperti apa pun yang kaumiliki saat ini, atau sejauh mana pun engkau telah bertumbuh dalam hidup, atau sehebat apa pun tingkat pertumbuhanmu, semua ini bukanlah yang terpenting. Yang terpenting adalah bagaimana hubunganmu dengan Tuhan, apakah engkau selalu meragukan dan salah memahami Dia atau selalu menyelidiki-Nya, apakah hatimu sudah benar atau tidak. Hal-hal ini sangat penting. Bagaimana orang bisa mengetahui hal-hal penting ini? Untuk mengetahuinya, mereka harus selalu memeriksa diri mereka sendiri, tidak menjadi bingung seperti yang orang-orang tidak percaya, menonton video sekuler, bermain, dan bercanda ketika sedang tidak ada yang bisa dilakukan. Bagaimana seseorang akan melaksanakan tugas jika hatinya tidak bisa datang ke hadapan Tuhan? Jika engkau tidak berusaha untuk datang ke hadapan Tuhan, Dia tidak akan memaksamu, karena Tuhan tidak memaksa manusia untuk melakukan sesuatu. Tuhan mengungkapkan kebenaran agar manusia dapat memahami dan menerimanya. Jika manusia tidak kembali ke hadapan Tuhan, bagaimana mereka mampu menerima kebenaran? Jika manusia selalu pasif, jika mereka tidak mencari Tuhan atau membutuhkan-Nya di dalam hati mereka, lalu bagaimana Roh Kudus akan bekerja di dalam diri mereka? Jadi, karena engkau percaya kepada Tuhan, bukankah sangat penting bagimu untuk secara proaktif mencari Dia dan bekerja sama dengan-Nya? Itu adalah tugasmu! Jika percaya kepada Tuhan hanya sekadar pekerjaan sampingan, hobi ekstrakurikuler, engkau berada dalam masalah! Ada orang-orang yang sampai sekarang tetap percaya kepada Tuhan dan sudah banyak mendengarkan khotbah, tetapi masih menganggap percaya kepada Tuhan berarti percaya pada agama, dan bahwa itu hanya sekadar hobi untuk mengisi waktu luang mereka. Betapa sembrononya mereka memandang iman kepada Tuhan! Bahkan sekarang, pada tahap ini, mereka masih menganut pandangan ini. Dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, mereka bukan saja telah gagal membangun hubungan yang normal dengan-Nya, mereka sama sekali tidak memiliki hubungan dengan-Nya. Jika Tuhan tidak mengakuimu sebagai pengikut-Nya, apakah engkau masih memiliki harapan untuk diselamatkan? Tidak. Itulah sebabnya sangat penting untuk membangun hubungan yang normal dengan Tuhan! Lalu, atas dasar apa hubungan yang normal itu dibangun? Dari kerja sama manusia. Jadi, sikap atau sudut pandang seperti apa yang harus dimiliki oleh orang-orang? Bagaimana seharusnya keadaan mereka? Kehendak macam apa yang harus mereka miliki? Bagaimana hatimu memperlakukan kebenaran? Dengan keraguan? Dengan penyelidikan? Dengan ketidakpercayaan? Dengan penolakan? Apakah hatimu benar jika memiliki hal-hal ini? (Tidak.) Jika engkau ingin memiliki hati yang benar, sikap seperti apa yang harus kaumiliki? Engkau harus memiliki hati yang tunduk. Apa pun yang Tuhan firmankan, apa pun yang dituntut-Nya, engkau harus bersungguh-sungguh untuk tunduk padanya, tanpa keraguan dan tanpa pembenaran. Itulah sikap yang benar. Engkau harus percaya, menerima, dan tunduk, tanpa kompromi apa pun. Dapatkah engkau mencapai hal ini tanpa segera berkompromi? Tidak, tetapi engkau harus berusaha untuk masuk. Bayangkan seandainya Tuhan berkata kepadamu, "Kau sakit," dan engkau berkata, "Tidak, aku tidak sakit." Itu tidak akan menjadi masalah; mungkin engkau tidak memercayainya. Namun kemudian, Tuhan berkata, "Kau sakit parah. Minumlah obat," dan engkau berkata, "Aku tidak sakit, tetapi sebaiknya aku minum obat, seperti yang Engkau katakan. Bagaimanapun juga, tidak ada salahnya minum obat, dan jika aku sakit, mungkin itu yang terbaik. Aku akan minum obat." Engkau minum obat, dan secara fisik engkau merasa berbeda dari sebelumnya; engkau terus meminum obat, sesuai dosis yang ditentukan, dan setelah beberapa waktu, engkau merasa dirimu makin sehat, secara fisik. Kemudian, engkau percaya bahwa penyakit yang Tuhan katakan itu memang nyata. Apa hasil dari penerapan seperti ini? Engkau sembuh dari penyakitmu, karena engkau percaya dan tunduk pada firman Tuhan. Meskipun awalnya, engkau tidak meminum obat sebanyak yang Tuhan perintahkan, tetapi malah sedikit berkompromi untuk dirimu sendiri, dan memiliki sedikit ketidakpercayaan, serta agak enggan melakukannya, akhirnya engkau meminum obat sesuai perintah Tuhan, dan merasakan manfaatnya setelah itu. Jadi, engkau terus meminum obat, dan makin engkau meminumnya, makin imanmu bertambah, dan engkau makin merasa bahwa firman Tuhan itu benar dan engkau salah, dan bahwa engkau tidak boleh meragukan firman-Nya. Dan pada akhirnya, ketika engkau telah meminum semua obat yang Tuhan perintahkan untuk kauminum, kesehatanmu pulih. Pada saat itu, bukankah imanmu kepada Tuhan akan bertumbuh makin sejati? Engkau telah mengetahui bahwa firman Tuhan itu benar, bahwa engkau harus tunduk kepada-Nya tanpa kompromi dan menerapkan firman-Nya tanpa kompromi. Apa pesan dari contoh ini? Penyakitmu mengacu pada watak rusak manusia, dan minum obat berarti menerima penghakiman dan hajaran Tuhan. Pesan utamanya adalah jika orang-orang dapat menerima penghakiman dan hajaran Tuhan, kerusakan mereka dapat ditahirkan, dan mereka dapat memperoleh keselamatan. Inilah yang dicapai dengan mengalami pekerjaan Tuhan. Apakah engkau semua takut gagal? Engkau mungkin berkata, "Aku harus mengejar kesempurnaan. Tuhan berkata bahwa aku harus tunduk secara mutlak, tanpa kompromi. Jadi, aku harus mencapai ketundukan mutlak terhadap firman-Nya saat pertama kali aku menerapkannya. Jika aku tidak dapat mencapainya kali ini, aku akan menunggu kesempatan berikutnya, dan kali ini aku tidak akan tunduk." Apakah itu cara yang baik? (Tidak.) Dari sudut pandang Tuhan, ada proses dalam penerapan kebenaran oleh manusia. Dia memberi kesempatan kepada orang-orang. Ketika seseorang memiliki keadaan yang rusak, Tuhan akan menyingkapkannya dan berkata, "Kau telah berkompromi, kau tidak tunduk, kau memberontak." Jadi, apa tujuan Tuhan menyingkapkannya? Itu bertujuan agar engkau makin sedikit berkompromi, dan makin menerapkan ketundukan, serta membuat pemahamanmu makin murni dan makin dekat dengan kebenaran, sehingga engkau dapat benar-benar tunduk kepada Tuhan. Apakah Tuhan menghukummu saat Dia menyingkapkanmu? Saat Dia memangkas dan mengujimu melalui ujian-ujian, Dia hanya mendisiplinkan dan menghajarmu. Engkau sedikit disingkapkan, sedikit ditegur, dan dibuat merasakan sedikit penderitaan, tetapi apakah Tuhan mengambil nyawamu? (Tidak.) Dia tidak mengambil nyawamu dan Dia tidak menyerahkanmu kepada Iblis. Dalam hal ini, maksud-Nya dapat dilihat. Dan apakah maksud-Nya? Dia ingin menyelamatkanmu. Terkadang, setelah mengalami sedikit kesukaran, orang makin enggan dan berpikir, "Tuhan tidak menyukaiku. Tidak ada harapan bagiku." Engkau berada dalam masalah jika engkau selalu salah paham terhadap Tuhan seperti itu. Ini adalah penundaan terhadap pertumbuhanmu dalam hidup. Jadi, kapan pun waktunya, entah engkau sedang lemah atau kuat, entah keadaanmu baik atau buruk, sampai sejauh mana pun tingkat pertumbuhanmu dalam hidup, engkau tidak perlu memikirkan hal-hal tersebut sekarang. Fokuskanlah dirimu hanya dengan menerapkan firman yang Tuhan telah firmankan, meskipun engkau hanya berusaha untuk menerapkannya. Itu pun tidak masalah. Berusahalah semaksimal mungkin untuk bekerja sama, dan lakukan apa yang mampu kaulakukan; masuklah ke dalam keadaan yang dibicarakan dalam firman Tuhan; lihatlah bagaimana rasanya menerapkan kebenaran yang telah Tuhan ungkapkan, dan apakah engkau mendapat manfaat darinya atau tidak, dan apakah engkau memiliki jalan masuk kehidupan atau tidak. Engkau harus belajar untuk berjuang mengejar kebenaran. Orang-orang tidak memahami proses pertumbuhan dalam hidup. Mereka selalu berharap untuk membangun Roma dalam sehari, dengan berpikir, "Jika aku tidak mampu mencapai ketundukan penuh, aku tidak akan tunduk. Aku hanya akan tunduk ketika aku mampu tunduk sepenuhnya. Aku tidak akan malu tentang hal itu. Ini memperlihatkan betapa besarnya ketabahanku, betapa kuatnya karakter dan martabat yang kumiliki!" "Ketabahan" macam apa itu? Itu adalah pemberontakan dan sikap keras kepala!

Renungkan baik-baik tentang apa yang baru saja kita persekutukan. Kita telah menyelesaikan persekutuan kita dengan empat sub-judul dari pertanyaan, "Berdasarkan apakah orang-orang hidup selama bertahun-tahun percaya kepada Tuhan?" Mereka hidup berdasarkan karunia mereka; berdasarkan pengetahuan mereka; berdasarkan hati mereka yang murni dan polos; dan berdasarkan falsafah Iblis. Apakah engkau semua memahami apa yang telah kaudengar tentang keempat keadaan ini? Dapatkah Engkau melihat keempat keadaan tersebut di dalam dirimu? Apakah engkau mampu memahami hal ini? Pernahkah kita mempersekutukan hal-hal ini sebelumnya? Mungkin engkau telah menguasai beberapa keadaan dan memahami sedikit tentangnya, tetapi semuanya tidak berkaitan dengan penerapan kebenaran atau topik persekutuan kita hari ini. Hari ini, kita telah bersekutu tentang keadaan-keadaan ini dengan topik dan sudut pandang "Berdasarkan apakah orang-orang hidup selama bertahun-tahun percaya kepada Tuhan"? Ini makin mendekati penerapan kebenaran dan hidup berdasarkan kebenaran. Aku ada pertanyaan lain. Catatlah pertanyaan itu. Yaitu: hal-hal apa yang paling kausukai? Bagaimana sikap Tuhan terhadap hal-hal yang paling kausukai? Kita akan meluangkan waktu untuk mempersekutukan pertanyaan ini di lain waktu. Hari ini, kita terutama telah menyingkapkan beberapa keadaan negatif yang diakibatkan oleh hal-hal yang berdasarkannya orang hidup; kita tidak bersekutu tentang bagaimana menerapkan kebenaran yang secara spesifik mengacu pada keadaan-keadaan negatif tersebut. Meskipun kita belum bersekutu tentang hal itu, tahukah engkau semua di mana letak kesalahan dalam keadaan-keadaan ini? Dari mana sumber masalah-masalah itu berasal? Termasuk watak apa keadaan-keadaan ini? Bagaimana kebenaran harus diterapkan? Jika hal-hal seperti itu muncul, ketika engkau memiliki keadaan dan metode seperti itu, tahukah engkau bagaimana engkau harus menggunakan kebenaran untuk menggantikannya? Kebenaran manakah yang harus kauterapkan? Hal penting pertama yang harus kaulakukan sekarang adalah engkau harus terlebih dahulu memahami keadaan-keadaan ini dan menelaah dirimu sendiri. Saat engkau hidup dalam keadaan-keadaan ini, engkau setidaknya harus tahu di dalam hatimu bahwa keadaan-keadaan tersebut salah. Setelah mengetahui bahwa semua itu salah, langkah selanjutnya adalah membalikkan keadaan-keadaan tersebut. Jika engkau tidak tahu apakah keadaan-keadaan tersebut benar atau salah, atau di mana letak kesalahannya, bagaimana engkau bisa membalikkannya? Jadi, langkah pertama yang harus kaulakukan adalah mampu mengenali apakah keadaan-keadaan ini benar atau salah. Setelah itu, barulah engkau dapat mengetahui bagaimana langkah selanjutnya harus diterapkan. Hari ini, kita baru mempersekutukan masalah dari sebagian kecil berbagai keadaan rusak dalam diri manusia dan ada banyak hal yang ingin disampaikan. Jadi, mengenai hal-hal spesifik tentang bagaimana tepatnya engkau semua dapat hidup berdasarkan kebenaran, renungkanlah sendiri masalah ini lebih lanjut. Engkau harus dapat membuahkan hasil.

5 September 2017

Sebelumnya: Apa yang Dimaksud dengan Kenyataan Kebenaran?

Selanjutnya: Hanya dengan Menerapkan Kebenaran dan Tunduk Kepada Tuhan Orang Bisa Mencapai Perubahan Watak

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini