88. Di Tengah Siksaan dan Penderitaan Aku Melihat ...

Oleh Saudari Li Hua, Tiongkok

Suatu hari pada September 2017, aku pergi ke rumah Saudari Fang Ming untuk menghadiri pertemuan. Tak lama setelah aku mengetuk pintu, pintu terbuka, dan sebuah tangan tiba-tiba menarikku ke dalam rumah. Aku ketakutan, dan ketika sadar, aku menyadari bahwa mereka polisi berpakaian preman, dan Fang Ming telah ditangkap. Setelah itu, mereka membawaku ke "Pangkalan Pelatihan Hukum", yang merupakan pusat pencucian otak untuk orang-orang Kristen. Di sana, aku melihat beberapa saudara-saudari yang telah ditangkap. Seorang saudari mengatakan kepadaku bahwa polisi telah menyita lebih dari 30.000 yuan uang gereja, 4 laptop, dan 210.000 yuan dari dia dan dua saudari lainnya. Aku sangat marah ketika mendengar ini, karena naga merah yang sangat besar itu dengan panik menangkap orang-orang Kristen dan merampas uang gereja. Sungguh jahat! Diam-diam aku bersumpah pada diri sendiri bahwa aku akan mengandalkan Tuhan untuk berdiri teguh dalam kesaksianku dan tidak akan pernah berkompromi dengan Iblis!

Di pusat pencucian otak, polisi menempatkan kami di ruangan terpisah, dan seorang penjaga ditugaskan untuk menjaga kami 24 jam sehari. Segala sesuatu yang kami makan, saat kami tidur, dan bahkan saat kami pergi ke toilet berada di bawah kendali mereka. Mereka juga menyewa beberapa orang untuk berjaga di luar ruangan. Setiap hari dari pukul tujuh pagi, mereka memainkan drama dengan volume yang sangat keras sampai pukul sebelas atau dua belas malam, dan kemudian mereka menyalakan radio untuk memutar drama audio dan sejenisnya sampai pukul tiga atau empat pagi. Selama periode ini, polisi datang untuk menginterogasiku dari waktu ke waktu tentang kepercayaanku kepada Tuhan. Mereka akan mengancam dan mengintimidasiku ketika melihat bahwa aku tidak mengatakan apa-apa. Mereka bahkan mengumpulkan kami dan mengkhotbahkan ide-ide ateis. Tujuannya adalah untuk membuat kami menyangkal dan mengkhianati Tuhan. Mendengar kata-kata itu membuatku mual.

Mereka secara paksa mencuci otak kami selama lebih dari 20 hari. Aku tidak bisa makan atau tidur nyenyak setiap hari dan selalu gelisah. Kemudian, polisi menemukan informasi identitasku, mengambil catatan panggilan di ponselku, dan mulai menginterogasiku. Suatu pagi, polisi mengambil foto beberapa saudari dan bertanya kepadaku, "Apa kau kenal mereka?" Aku melihat bahwa para saudari ini semuanya bertugas mengurus uang gereja. Aku tidak akan pernah mengkhianati mereka, jadi aku berkata, "Aku tidak kenal mereka." Seorang petugas polisi bergegas mendekat dan dengan kasar menamparku dua kali, dan kemudian meninjuku lebih dari selusin kali di tempat yang sama di lengan kananku. Rasa sakit di lenganku terasa sepertinya lenganku patah. Dia menggertakkan giginya saat memukulku, bertanya: "Apa kau tidak kenal mereka? Kau berhubungan dengan mereka setengah tahun yang lalu. Apa kau pikir kami tidak tahu? Jika kau tidak beri tahu kami apa yang kau ketahui, aku akan patahkan lenganmu." Lalu, dia menyuruhku jongkok dan menarik lurus kedua lenganku. Lengan kananku sangat sakit sehingga aku tak bisa mengangkatnya sama sekali. Dia memukul lengan dan kakiku dengan raket bulutangkis, serta mulut dan daguku, hingga bibir dan daguku mati rasa. Setelah berjongkok selama lebih dari sepuluh menit, mereka bertanya apakah aku kenal seorang saudara. Aku terkejut. Mereka pasti menemukan namanya dalam catatan panggilanku. Jika aku tidak memberi tahu mereka, aku tidak dapat membayangkan siksaan apa yang akan datang selanjutnya, tetapi apa pun yang terjadi, aku tidak boleh menjadi seorang Yudas dan mengkhianati saudaraku. Aku berkata dengan tenang, "Aku tidak kenal." Kemudian tiga petugas polisi mengepungku dan meraih kerahku, dan mendorongku bolak-balik di antara mereka sampai aku pusing dan terhuyung-huyung. Aku sedikit takut, berpikir, "Dengan tubuh kecilku, jika siksaan ini terus berlanjut, apa aku bisa menanggungnya?" Aku berdoa berulang-ulang dalam hati, meminta Tuhan untuk melindungiku. Aku memikirkan Daniel. Ketika dilemparkan ke dalam gua singa, dia berdoa kepada Tuhan, dan Tuhan menutup mulut singa itu, sehingga singa itu tidak menggigitnya. Aku melihat bahwa semuanya ada di tangan Tuhan, jadi tanpa izin Tuhan, polisi tidak bisa berbuat apa-apa terhadapku. Memikirkan hal ini, aku merasa kegugupan dan ketakutanku berkurang. Mereka mendorong dan menyeretku selama lebih dari 20 menit, setelah itu kapten polisi tiba-tiba berkata, "Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan. Aku akan urus kau besok!" Setelah itu, dia bergegas pergi. Aku memikirkan bagaimana polisi akan menyiksaku besok jika aku tidak memberi tahu mereka. Apakah aku bisa menanggungnya? Memikirkan hal ini, aku sangat gugup dan takut, jadi aku terus berdoa kepada Tuhan. Aku menderita dengan pikiran-pikiran ini sampai subuh. Aku merasa pusing, dadaku sesak, dan sulit bernapas. Orang yang menjagaku sangat ketakutan sehingga dia menelepon kepala instruktur dan dokter di pusat pencucian otak. Ketika mereka memeriksa tekanan darahku, tekanan terendahku adalah 110mmHg, dan tertinggi adalah 180mmHg. Kepala instruktur takut aku akan mati di pusat dan tanggung jawab akan jatuh di kepalanya, jadi dia membawaku ke rumah sakit. Dokter mengatakan aku menderita penyakit jantung koroner dan perlu memulihkan diri, kemudian memberiku infus dan oksigen. Setelah mendengar apa yang dokter katakan, polisi melihat bahwa aku tidak akan langsung mati, jadi mereka segera meminta perawat untuk melepaskan oksigen dan mencabut infus dariku, dan kemudian mereka membawaku kembali ke pusat pencucian otak.

Setelah kembali ke pusat pencucian otak, tekanan darahku tetap sangat tinggi, dan tidak turun. Aku juga sangat pusing dan bahkan tidak bisa berjalan tanpa harus menopang diriku di dinding. Namun, polisi sama sekali tidak peduli dengan hidupku. Pada siang hari, mereka memaksaku menonton TV. Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-19 disiarkan sepanjang waktu, dan pada malam hari mereka menyalakan radio sampai pukul tiga atau empat pagi. Aku sangat tersiksa sehingga tubuhku makin memburuk. Aku sering mengalami sesak dada dan sulit bernapas. Setiap kali aku kambuh, mereka menyuruhku minum tujuh atau delapan pil jantung darurat, hanya untuk menghentikanku dari kematian di tempat. Polisi juga sering datang untuk mengancamku, memintaku untuk mengkhianati saudara-saudariku, dan memaksaku untuk memberi tahu mereka tentang keberadaan uang gereja. Interogasi dan penyiksaan terus-menerus semacam ini membuatku sangat gugup, dan kesehatanku makin menurun. Seluruh tubuh bagian atasku bengkak dan nyeri, dan rasanya seperti organ dalamku akan terlepas dari tempatnya bahkan dengan gerakan sekecil apa pun. Setiap hari aku harus mengepalkan tangan di tubuhku dan harus mengambil setiap langkah dengan hati-hati. Ketika aku tidur, baik berbaring maupun duduk tidak ada gunanya untukku. Aku akan mencoba satu posisi, lalu yang lain berulang-ulang sampai tidak punya energi lagi dan hanya pingsan sebentar. Seiring berjalannya waktu, hatiku menjadi sangat lemah, dan aku merasa bahwa aku mungkin benar-benar tidak dapat bertahan. Aku terus berdoa, meminta Tuhan untuk memberiku iman.

Suatu hari, aku ingat sebuah lagu pujian "Mengikut Kristus Ditentukan oleh Tuhan": "Tuhan telah menetapkan bahwa kita mengikut Kristus dan mengalami ujian dan kesengsaraan. Jika kita benar-benar mengasihi Tuhan, kita harus tunduk pada kedaulatan dan pengaturan-Nya. Mengalami ujian dan kesengsaraan berarti diberkati oleh Tuhan, dan Tuhan berkata bahwa semakin berat jalan yang kita lalui, semakin itu dapat menunjukkan kasih kita. Jalan yang kita tempuh saat ini telah ditentukan dari semula oleh Tuhan. Mengikut Kristus akhir zaman adalah berkat terbesar dari semuanya" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru). Saat menyanyikan lagu ini berulang-ulang di kepalaku, aku mengerti bahwa lingkungan seperti apa yang dihadapi setiap orang dalam kehidupan mereka untuk percaya kepada Tuhan, penempaan seperti apa yang mereka alami, dan seberapa banyak penderitaan yang mereka alami sudah sejak dahulu ditakdirkan oleh Tuhan. Aku harus tunduk dan mengandalkan Tuhan untuk mengalaminya. Saat bernyanyi, aku mendapatkan sedikit keyakinan.

Kemudian, kepala instruktur menyuruhku membaca buku dan menonton video yang menghujat Tuhan dan memfitnah Gereja Tuhan Yang Mahakuasa, dan membawa orang-orang untuk memberiku kelas cuci otak. Pada hari-hari itu, aku dicuci otak pada siang hari, lalu TV dan radio menggedor telingaku dengan suara bising pada malam hari. Selain itu, aku khawatir polisi bisa datang untuk menginterogasiku kapan saja, jadi aku sangat gugup. Episode sesak dan nyeri dadaku menjadi makin sering. Beberapa hari kemudian, kepala instruktur memintaku untuk menulis surat perjanjian bahwa aku tidak akan percaya lagi kepada Tuhan. Aku menolak untuk menulis apa pun, dan dia berkata, "Walau sakit, kau tetap melawan. Mengapa repot-repot? Aku akan tulis draf untukmu, dan kau bisa menyalinnya. Kata-kata di dalamnya tidak akan seperti yang kau katakan atau apa yang sebenarnya kau pikirkan. Lalu, aku akan tulis yang baik-baik tentangmu dan membebaskanmu. Ini menipu sistem, apa kau mengerti? Aku akan membantumu karena kau sepertinya orang yang baik. Sekarang, salin saja, lalu pulanglah dan temui dokter." Aku pikir apa yang dia katakan masuk akal. Aku akan ikuti saja, tidak mengkhianati Tuhan di dalam hatiku, jadi aku berkata kepadanya, "Biarkan aku kembali dan memikirkannya." Kembali ke kamar, aku terus memikirkannya, "Aku pernah mendengar sebelumnya bahwa polisi memberikan suntikan dan obat-obatan pemicu skizofrenia kepada saudara-saudari. Ini sejenis metode tercela yang mereka gunakan untuk membuat kita mengkhianati saudara-saudari kita dan menyerahkan uang gereja. Sebagian besar orang yang berhubungan denganku adalah para pemimpin dan pekerja, serta beberapa saudara-saudari yang menyimpan uang gereja. Jika suatu hari polisi menyuntikku dengan obat-obatan pemicu skizofrenia atau membiusku, dan aku kehilangan kesadaran dan mengkhianati mereka, aku bisa merusak kepentingan gereja. Itu akan seperti melakukan kejahatan besar, dan aku pasti akan dihukum pada masa depan. Jika menulis surat itu, aku akan dapat pergi lebih cepat, dan aku tidak akan mengkhianati saudara-saudariku. Namun, aku akan mengkhianati Tuhan dan menyangkal Tuhan, jadi apa gunanya hidup setelah itu? Tidak, aku tidak bisa membiarkan diriku menulis surat ini." Keesokan harinya, kepala instruktur marah ketika dia melihat aku tidak menulis surat itu. Dia berteriak, "Pemerintah telah perintahkan agar orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa sepertimu harus tulis dan tanda tangani surat itu sebelum kau bisa dibebaskan. Tak peduli separah apa sakitmu, kau harus ikuti peraturan pemerintah, jadi cepat tulis!" Dia memanggil tiga penjaga untuk membantu membujukku, dan berkata, "Kau tidak akan bisa bebas kecuali kau tanda tangani surat itu. Pemerintah habiskan banyak uang untuk mendidik kembali kalian, dan bahkan merancang kelas khusus. Kami ambil uang pemerintah, dan kami harus lakukan apa yang pemerintah bayarkan kepada kami, jadi jika kau tidak tanda tangan, kami akan menyiksamu setiap hari sampai kau melakukannya." Intimidasi dan pengepungan mereka membuatku sangat cemas dan aku tak tahan dengan rasa sakit yang sesak di dadaku. Meskipun berdoa dalam hati, aku hanya asal-asalan, tidak tulus. Pada kenyataannya, aku tidak ingin menderita lagi, dan aku tidak punya iman kepada Tuhan. Aku terus-menerus khawatir polisi akan memasukkan obat-obatan ke dalam makananku. Apa yang akan terjadi jika aku kehilangan kendali atas pikiranku dan mengkhianati saudara-saudariku? Hukumanku akan lebih berat pada masa depan, jadi sebaiknya aku menulis dan menandatangani surat saja. Segera setelah memikirkan hal ini, aku berkompromi dan menandatangani surat itu. Tiba-tiba aku merasa seperti hatiku telah dilubangi, dan kegelapan menyelimuti pikiranku. Aku merasa sangat tidak nyaman dan ketakutan. Aku menyadari bahwa dengan menandatangani "Tiga Surat", aku dicap dengan tanda binatang. Aku adalah seorang Yudas yang telah mengkhianati Tuhan, dan aku telah menyinggung watak Tuhan. Aku merasakan penyesalan mendalam dan membenci diriku sendiri, merasa bahwa aku tidak pantas untuk hidup. Sementara penjagaku tertidur, aku menelan lima belas atau enam belas pil antihipertensiku yang tersisa. Beberapa jam kemudian, aku merasa pusing, jadi sambil berbaring di tempat tidur, aku berdoa kepada Tuhan dengan air mata berlinang, "Tuhan! Aku menandatangani 'Tiga Surat.' Aku mengkhianati-Mu dan mempermalukan nama-Mu. Aku tidak layak untuk hidup. Tuhan! Jika aku memiliki kehidupan berikutnya, aku tetap ingin percaya kepada-Mu dan mengikuti-Mu ...." Sebelum menyadarinya, aku tertidur. Keesokan paginya, aku tiba-tiba mendengar peluit untuk bangun. Aku membuka mata dan mencubit diriku beberapa kali. Ternyata aku belum mati. Aku membenci diriku sendiri. Mengapa aku belum mati? Saat itulah aku teringat lagu pujian firman Tuhan yang berjudul, "Yang Tuhan Sempurnakan adalah Iman": "Iman dan kasih yang terbesar dituntut dari kita dalam pekerjaan akhir zaman. Kita mungkin tersandung akibat kecerobohan yang paling kecil, karena tahap pekerjaan ini berbeda dari semua pekerjaan sebelumnya: yang sedang Tuhan sempurnakan adalah iman manusia, yang tidak dapat dilihat dan diraba. Yang Tuhan lakukan adalah mengubah firman menjadi iman, menjadi kasih, dan menjadi hidup. Orang-orang harus mencapai titik di mana mereka telah menanggung ratusan pemurnian dan memiliki iman yang lebih besar dari iman Ayub. Mereka harus menanggung penderitaan luar biasa dan segala macam siksaan tanpa pernah meninggalkan Tuhan. Ketika mereka tunduk sampai mati, dan memiliki iman yang besar kepada Tuhan, maka tahap pekerjaan Tuhan ini selesai" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Jalan ... (8)"). Firman Tuhan memberiku gelombang perasaan yang rumit, dan air mataku mulai mengalir. Aku menangis dan berdoa kepada Tuhan, "Tuhan! Engkau telah melindungiku. Aku tahu ini rahmat-Mu untukku, selama aku masih bisa melakukan pelayanan untuk-Mu, aku siap untuk hidup. Meskipun aku mati setelah melayani, aku tidak akan mengeluh."

Meskipun tidak ingin mati lagi, aku masih dalam kondisi yang sangat tertekan. Selama beberapa hari itu, aku bersandar lemah di kepala tempat tidur, memejamkan mata, dan duduk dalam keadaan linglung. Rasanya seluruh dunia tidak ada hubungannya denganku. Suatu hari, ketika aku pergi ke kamar mandi, Fang Ming, yang juga telah ditangkap, melemparkan kepadaku sebuah gumpalan kertas toilet. Aku membukanya saat penjagaku tidak ada di sana. Catatan yang tertulis di dalamnya berbunyi, "Saudari, jangan berkecil hati, dan jangan salah paham terhadap Tuhan. Aku tuliskan lagu pujian firman Tuhan untuk kau baca." Aku menangis saat membacanya:

Tuhan Suka Mereka yang Punya Tekad

1  Untuk mengikuti Tuhan yang nyata, kita harus memiliki tekad ini: sehebat apa pun lingkungan di mana kita berada, atau kesulitan seperti apa pun yang kita hadapi, dan betapa pun lemahnya atau negatifnya kita, kita tidak boleh kehilangan kepercayaan pada perubahan watak kita atau pada firman yang telah Tuhan ucapkan. Tuhan telah berjanji kepada manusia, dan hal ini mengharuskan manusia untuk memiliki tekad, iman, dan ketekunan untuk menanggungnya. Tuhan tidak menyukai pengecut; Dia menyukai orang yang memiliki tekad. Meskipun engkau telah memperlihatkan banyak kerusakan dalam dirimu, meskipun engkau telah berkali-kali menempuh jalan yang salah, atau telah melakukan banyak pelanggaran, mengeluh kepada Tuhan, atau dari dalam agama engkau telah menentang Tuhan atau memendam hujatan terhadap-Nya di dalam hatimu, dan sebagainya—Tuhan tidak melihat semua itu. Dia hanya melihat apakah manusia mengejar kebenaran atau tidak, dan apakah suatu hari mereka bisa berubah atau tidak.

2  Tuhan memahami setiap orang seperti seorang ibu memahami anaknya. Tuhan memahami kesulitan, kelemahan, dan kebutuhan setiap orang. Bahkan lebih dari itu, Tuhan memahami kesulitan, kelemahan, dan kegagalan yang akan orang hadapi dalam proses memasuki perubahan watak mereka. Inilah hal-hal yang Tuhan pahami dengan paling baik. Ini berarti Tuhan memeriksa lubuk hati manusia. Betapa pun lemahnya dirimu, selama engkau tidak menolak nama Tuhan, atau meninggalkan Dia dan meninggalkan jalan ini, maka engkau akan selalu memiliki kesempatan untuk mencapai perubahan watak. Jika engkau memiliki kesempatan ini, engkau akan memiliki harapan untuk bertahan, dan karena itu engkau memiliki harapan untuk diselamatkan oleh Tuhan.

—Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Jalan Penerapan Menuju Perubahan Watak Orang"

Firman Tuhan begitu menenangkan—menghangatkan dan menghibur hatiku. Aku menangis tersedu-sedu dan menyanyikan lagu pujian itu di kepalaku beberapa kali. Aku telah melakukan sesuatu yang menyakiti Tuhan, tetapi tidak saja Tuhan tidak menghukumku, Dia telah menggerakkan saudariku untuk menyalin firman Tuhan untuk mendukungku ketika aku berada pada saat-saat paling sedih dan putus asa. Aku berjalan ke sudut balkon dan merosot ke lantai sambil menangis dan berdoa kepada Tuhan, "Tuhan! Aku menandatangani 'Tiga Surat' dan mengkhianati-Mu. Aku tidak layak untuk belas kasihan-Mu. Aku tak punya kata-kata untuk mengungkapkan kasih dan keselamatan-Mu bagiku. Tuhan! Aku ingin bertobat kepada-Mu. Mohon bimbing aku."

Kemudian, polisi membebaskanku karena mereka tidak mendapatkan apa-apa dari menginterogasiku. Ketika aku dibebaskan, mereka memperingatkan aku untuk tidak percaya pada Tuhan lagi, dan memerintahkan suamiku untuk mengawasiku 24 jam sehari. Setelah kembali ke rumah, pemerintah kota meminta komite desa untuk memberi tahu seluruh desa bahwa aku telah menjadi tahanan politik karena percaya kepada Tuhan, dan meminta seluruh desa untuk mengawasiku. Ke mana pun aku pergi, orang-orang menatapku, dan aku harus menanggung tudingan, tatapan aneh, sarkasme, ejekan, pelecehan, dan segala macam ketidaknyamanan. Suamiku dahulu mendukung kepercayaanku kepada Tuhan, tetapi setelah aku dibebaskan, dia menganiayaku dan sering memarahiku tanpa alasan. Anakku tidak tahan dengan ejekan dan hinaan dari penduduk desa, jadi dia memperlakukanku sebagai musuh dan mengabaikanku. Ini semua membuatku sangat sedih. Terutama ketika aku ingat bahwa aku telah menandatangani "Tiga Surat" di bawah penganiayaan naga merah yang sangat besar, dan dengan demikian telah melakukan dosa serius di hadapan Tuhan, aku merasa bahwa Tuhan pasti tidak akan menyelamatkanku, dan saudara-saudariku akan merendahkanku. Aku merasa seperti telah jatuh ke dalam jurang maut, dan aku melewati setiap hari seperti mayat berjalan. Aku hidup dalam keadaan kesakitan dan penderitaan yang luar biasa, dan rasanya seperti mataku dibanjiri air mata setiap hari. Selama waktu itu, aku tidak bisa membaca firman Tuhan, dan aku tidak berani menghubungi saudara-saudariku, jadi aku sering datang ke hadapan Tuhan untuk berdoa, meminta Tuhan untuk membimbingku dalam memahami kehendak-Nya.

Setelah itu, aku menemukan kesempatan untuk pergi ke rumah ibuku. Dia bersekutu denganku, memberitahuku untuk tidak salah paham pada Tuhan, mengatakan bahwa aku harus memetik pelajaran dalam situasi seperti ini. Dia juga menyelipkan untukku salinan firman Tuhan untuk aku bawa kembali ke rumahku. Suatu hari, aku membaca firman Tuhan: "Kebanyakan orang pernah melanggar dan menodai diri mereka sendiri dengan cara-cara tertentu. Misalnya, ada orang-orang yang pernah menentang Tuhan dan mengatakan hal-hal yang menghujat; ada orang-orang yang pernah menolak amanat Tuhan dan tidak melaksanakan tugas mereka, dan akibatnya ditolak oleh Tuhan; ada orang-orang yang pernah mengkhianati Tuhan ketika mereka dihadapkan pada pencobaan; ada yang pernah mengkhianati Tuhan dengan menandatangani 'Tiga Surat' ketika mereka ditahan; ada yang pernah mencuri uang persembahan; ada yang pernah menghambur-hamburkan uang persembahan; ada yang sering mengganggu kehidupan bergereja dan menyebabkan kerugian terhadap umat pilihan Tuhan; ada yang pernah membentuk geng dan menangani orang lain dengan kasar, mengacaukan gereja; ada yang sering menyebarkan gagasan dan kata-kata mematikan, menyakiti saudara-saudari; dan ada yang pernah terlibat dalam percabulan dan pergaulan bebas, dan menjadi pengaruh yang sangat buruk. Bisa dikatakan setiap orang memiliki pelanggaran dan noda mereka sendiri. Namun, ada orang-orang yang mampu menerima kebenaran dan bertobat, sementara yang lain tidak mampu melakukannya dan akan mati tanpa pernah bertobat. Jadi, orang harus diperlakukan sesuai dengan esensi natur mereka dan perilaku konsisten mereka. Orang yang mampu bertobat adalah orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan; sedangkan orang yang benar-benar tidak bertobat, orang yang sudah seharusnya diusir dan dikeluarkan, akan diusir dan dikeluarkan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). "Setiap orang yang telah menerima penaklukan firman Tuhan akan memiliki banyak kesempatan untuk menerima keselamatan; keselamatan Tuhan atas setiap orang ini merupakan kemurahan hati-Nya yang terbesar. Dengan kata lain, mereka akan diberi toleransi yang terbesar. Selama manusia berpaling dari jalan yang salah, selama mereka mau bertobat, maka Tuhan akan memberi mereka kesempatan untuk memperoleh keselamatan-Nya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Engkau Harus Mengesampingkan Berkat Status dan Memahami Maksud Tuhan untuk Memberikan Keselamatan kepada Manusia"). Setelah membaca firman Tuhan, aku sangat tersentuh. Aku berlutut di lantai dan berdoa kepada Tuhan dengan air mata pedih di mataku. Aku melihat bahwa watak benar Tuhan tidak hanya mengandung keagungan dan kemurkaan, tetapi juga belas kasihan dan toleransi bagi manusia. Tuhan itu adil, dan Dia tidak menentukan hasil akhir manusia berdasarkan pelanggaran sementara mereka, tetapi lebih pada motif dan latar belakang tindakan mereka, konsekuensi dari tindakan mereka, apakah mereka benar-benar bertobat, dan sikap mereka terhadap kebenaran. Tuhan tidak suka dan membenci pengkhianatan manusia, tetapi Tuhan juga menyelamatkan manusia semaksimal mungkin. Jika seseorang hanya mengkhianati Tuhan di saat-saat lemah, tidak menyangkal dan mengkhianati-Nya dari hati, dan mau bertobat, maka Tuhan berbelas kasih dan memberi mereka kesempatan lagi. Menyadari hal ini, aku merasa makin berutang budi kepada Tuhan, dan bahkan makin menyesal. Aku bersumpah kepada Tuhan bahwa entah Dia menginginkanku atau tidak, aku akan mengikuti-Nya, dengan teguh mengejar kebenaran, dan mengejar perubahan watak. Meskipun tidak ada akhir yang baik untukku pada masa depan, aku tidak akan menyesal.

Setelah itu, aku terus bertanya-tanya mengapa aku menandatangani "Tiga Surat" itu dan mengkhianati Tuhan saat aku ditangkap dan dianiaya oleh PKT. Aku berpikir tentang bagaimana aku ingin berdiri teguh dalam kesaksianku ketika pertama kali ditangkap, tetapi ketika polisi mengintimidasi dan mengancamku dengan lebih keras, dan ketika penyakitku menjadi makin serius, aku kehilangan kepercayaan dan sepenuhnya tunduk pada kepengecutan dan ketakutan. Aku takut, jika polisi menyuntikku dengan obat pemicu skizofrenia atau memberiku obat psikoaktif, dan kemudian aku secara tidak sadar mengkhianati saudara-saudariku, hukumanku akan makin berat nanti, jadi aku pikir lebih baik menandatangani "Tiga Surat". Aku percaya bahwa selama kepentingan gereja tidak dirugikan, hukuman yang aku terima pada masa depan akan lebih ringan. Jadi, untuk melindungi kepentinganku sendiri, aku menandatangani surat dan mengkhianati Tuhan. Kenyataannya, Tuhan telah mengizinkan naga merah yang sangat besar unutk menganiayaku demi menyempurnakan imanku, agar aku bisa hidup dengan firman Tuhan dan mengalahkan Iblis. Namun, aku tidak mencari kehendak Tuhan sama sekali, aku juga tidak mempertimbangkan apa yang harus kulakukan untuk berdiri teguh dan memuaskan Tuhan. Yang aku pikirkan hanyalah akhir dan tempat tujuanku sendiri. Aku melihat bahwa aku sangat egois dan tercela! Aku juga selalu berpikir bahwa apa pun keadaannya, jika seseorang mengkhianati Tuhan, akhir mereka akan sama dengan Yudas, bahwa mereka pasti akan dihukum. Namun, ini sepenuhnya gagasan dan imajinasiku sendiri. Tuhan itu adil, dan Dia meneliti kedalaman hati orang-orang. Dia memperhatikan setiap kata dan perbuatanku. Jika aku telah mengkhianati saudara-saudariku untuk melindungi kepentinganku sendiri, dan dengan demikian menjadi antek dan kaki tangan si naga merah yang sangat besar, maka aku pasti akan berakhir seperti Yudas dan dihukum, tetapi jika aku dibius secara paksa oleh polisi dan mengkhianati Tuhan ketika aku tak mampu mengendalikan diriku sendiri, maka Tuhan akan memperlakukanku dengan cara berbeda sesuai dengan situasi dan konteksnya. Namun, aku tidak tahu watak benar Tuhan, dan aku tidak tahu kriteria Tuhan untuk menentukan akhir hidup manusia. Aku hidup terperangkap dalam gagasan dan imajinasiku sendiri, jatuh ke dalam tipu daya Iblis, dan melakukan pelanggaran serius. Namun, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bertobat. Ini adalah belas kasihan Tuhan terhadapku.

Kemudian, aku membaca bagian lain dari firman Tuhan: "'Sekuat' apa pun Iblis, seberani dan seambisius apa pun dirinya, sehebat apa pun kemampuannya untuk menimbulkan kerusakan, seluas apa pun teknik yang digunakannya untuk merusak dan memikat manusia, selihai apa pun trik dan rencana jahat yang digunakannya untuk mengintimidasi manusia, sehebat apa pun kemampuannya mengubah bentuk keberadaan dirinya, ia tidak pernah mampu menciptakan satu makhluk hidup pun, tidak pernah mampu menetapkan hukum atau aturan untuk keberadaan segala sesuatu, dan tidak pernah mampu mengatur dan mengendalikan objek apa pun, baik yang hidup atau mati. Di alam semesta dan cakrawala, tidak ada orang atau objek apa pun yang lahir dari dirinya, atau ada karena dirinya; tidak ada orang atau objek apa pun yang diatur olehnya, atau dikendalikan olehnya. Sebaliknya, ia bukan saja harus hidup di bawah kekuasaan Tuhan, tetapi, lebih dari itu, ia harus menaati semua perintah dan titah Tuhan. Tanpa izin Tuhan, sulit bagi Iblis untuk menyentuh bahkan setetes air pun atau butiran pasir di atas tanah; tanpa izin Tuhan, Iblis bahkan tidak bebas untuk memindahkan semut di atas tanah, apalagi umat manusia, yang diciptakan oleh Tuhan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik I"). Dari firman Tuhan, aku menyadari bahwa Tuhan memiliki keputusan akhir dalam segala hal di alam semesta. Tak peduli seberapa berbahaya atau merajalelanya PKT, mereka adalah pion di tangan Tuhan. Tuhan menggunakan mereka sebagai alat untuk menyempurnakan umat pilihan-Nya. Namun, aku tidak tahu otoritas Tuhan dan selalu khawatir bahwa polisi akan memberiku suntikan dan obat-obatan yang memicu skizofrenia, dan bahwa jika aku mengkhianati saudara-saudariku saat aku tidak sepenuhnya sadar, kepentingan gereja bisa sangat dirugikan. Namun, entah aku diberi obat-obatan semacam itu oleh polisi dan entah aku akan kehilangan kendali atas diriku atau tidak, semua itu ada di tangan Tuhan. Tanpa seizin Tuhan, polisi tidak bisa berbuat apa-apa kepadaku. Aku melihat bahwa ketika hal-hal terjadi padaku, aku benar-benar tidak memiliki iman kepada Tuhan, aku tidak dapat melihat tipuan Iblis, dan tingkat pertumbuhanku sangat kecil. Ketika menyadari hal ini, penyesalanku makin dalam. Aku percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun dan menikmati penyiraman dan perbekalan begitu banyak firman Tuhan, tetapi aku sebenarnya tidak tahu banyak tentang Tuhan. Aku bahkan menandatangani "Tiga Surat" dan mengkhianati Tuhan. Memikirkan ini, aku merasa makin berutang budi kepada Tuhan, jadi aku berdoa, "Tuhan! Jika masih ada kesempatan, aku bersedia menjalani penangkapan lain, aku ingin meninggalkan tubuhku, mempermalukan naga merah yang sangat besar, dan menebus dosa-dosaku."

Suatu hari pada Oktober 2018, tujuh petugas polisi berpakaian preman tiba-tiba masuk ke rumahku dan menangkapku. Aku tahu bahwa Tuhan sedang memberiku kesempatan untuk bertobat. Tidak peduli apakah polisi memukuliku sampai mati atau mengirimku ke penjara, kali ini, aku harus mengandalkan Tuhan untuk berdiri teguh. Polisi membawaku ke ruang interogasi, memborgolku ke bangku harimau, menjambak rambutku, dan menampar wajahku belasan kali. Rasa sakit yang membakar akibat pukulan itu sangat menyengat, dan wajahku langsung membengkak. Seorang petugas polisi bertanya apakah aku kenal orang tertentu. Aku bilang tidak. Dia menjadi marah, menghampiriku, dan mulai menamparku dengan keras. Selanjutnya, petugas polisi lain memintaku untuk mengonfirmasi nama pemimpinnya, tetapi aku tidak menjawab. Dia mencengkeram telingaku dengan marah, mencubit tepi telingaku dengan kukunya sedikit demi sedikit, dan menekanku untuk meminta jawaban sambil terus mencubit. Aku terus menggelengkan kepala dan tidak mengatakan apa-apa. Dia sangat marah sehingga dia menemukan segenggam jepitan logam, dan kemudian berkata dengan senyum sinis, "Jika kau tidak mau bicara, kau akan menderita!" Dia memasang jepitan logam di tepi telingaku. Setiap kali jepitan itu menjepit, rasa sakitnya seperti menusuk jantung, wajahku terus mengejang, dan sekujur kepalaku terasa seperti dipanggang di atas kompor. Aku memejamkan mata dan menggertakkan gigi, dan ketika tubuhku gemetar tanpa sadar, aku berdoa berulang-ulang dalam hati, meminta Tuhan memberiku tekad untuk menderita. Aku ingat firman Tuhan: "Iman itu seperti jembatan dari satu gelondong kayu: mereka yang sangat ingin mempertahankan hidup akan mengalami kesulitan menyeberanginya, tetapi mereka yang siap untuk mengorbankan diri dapat menyeberanginya dengan pasti, tanpa rasa khawatir. Jika manusia memiliki pikiran yang pengecut dan penakut, itu karena mereka telah dibodohi oleh Iblis, yang takut bahwa kita akan menyeberangi jembatan iman untuk masuk ke dalam Tuhan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 6"). Aku menyadari bahwa polisi menyiksaku dengan cara ini karena mereka ingin aku mengkhianati Tuhan dan menjual saudara-saudariku. Aku tidak boleh mengecewakan Tuhan. Aku harus mengandalkan Tuhan untuk berdiri teguh. Setelah beberapa menit, polisi melepaskan jepitan itu dan mengeluarkan foto seorang saudari lainnya untuk aku identifikasi. Aku berkata, "Aku tidak mengenalnya." Polisi dengan marah menarik tanganku ke depan dan dengan paksa menarik jariku. Aku menjerit kesakitan dan secara naluriah mengepalkan tanganku, tetapi dia menarik masing-masing jariku lurus dan menariknya ke atas. Aku merasa seolah-olah dia mematahkan jari-jariku, dan rasa sakitnya begitu hebat sampai aku akan menyerah. Ketika mereka melihat bahwa aku masih tidak berbicara, kedua polisi itu membuka borgolku, memutar tanganku ke belakang, memasukkannya melalui lubang di bagian bawah belakang bangku harimau, dan memborgolku lagi, lalu menekannya dengan paksa pada borgol. Rasanya seperti tangan dan lenganku robek, dan aku menjerit kesakitan. Hatiku merasa sangat lemah, jadi aku berdoa kepada Tuhan sambil bercucuran air mata, meminta Tuhan untuk memberiku iman dan tekad untuk menderita. Pada saat ini, aku teringat sebuah lagu pujian firman Tuhan: "Tuhan Yang Mahakuasa, Kepala segala sesuatu, menjalankan kuasa kerajaan-Nya dari takhta-Nya. Dia memerintah atas alam semesta dan segala sesuatu, dan Dia sedang menuntun kita di seluruh muka bumi. Kita harus mendekat kepada-Nya setiap saat dan datang ke hadapan-Nya dalam ketenangan, tanpa pernah melewatkan satu saat pun, dan ada pelajaran yang kita petik setiap waktu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 6"). Firman Tuhan memberiku pencerahan yang kubutuhkan, dan tiba-tiba hatiku terasa lebih cerah. Tuhan Yang Mahakuasa adalah Raja besar alam semesta, dan Dia memiliki keputusan akhir dalam segala hal di alam semesta. Hidup dan matiku juga ada di tangan Tuhan. Jika Tuhan tidak mengizinkannya, polisi tidak bisa berbuat apa-apa kepadaku. Setan-setan ini mendapat izin Tuhan untuk menyiksaku seperti ini, karena Tuhan ingin menyempurnakan imanku. Aku juga ingat aku sebelumnya telah menandatangani "Tiga Surat" dan mengkhianati Tuhan di bawah penganiayaan si naga merah yang sangat besar, tetapi Tuhan tidak menyingkirkanku karena pelanggaranku, dan Dia menggunakan firman-Nya untuk membekali dan menghiburku. Kali ini aku tidak boleh mengecewakan Tuhan lagi. Aku harus berdiri teguh, mempermalukan Iblis, dan menghibur Tuhan. Mereka menekan borgol empat kali berturut-turut, setelah itu aku merasa pusing, gemetar dan berkedut di mana-mana, dan aku merasa seperti akan mati. Kemudian polisi menyiramkan air mineral ke wajahku, membuka kerahku, lalu menuangkan air dingin ke bajuku. Aku berkeringat, dan sangat terkejut oleh air dingin sehingga seluruh tubuhku gemetar dan menggigil. Setelah beberapa saat, polisi mematikan lampu, menyalakan dua senter, mengarahkan pancaran cahaya yang kuat ke wajahku, dan memerintahkanku untuk tetap membuka mata dan tidak bergerak. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hatiku, meminta Dia untuk menjagaku agar tidak menjual saudara-saudariku atau mengkhianati-Nya.

Pada saat ini, aku teringat sebuah lagu pujian "Aku Bertekad Mengasihi Tuhan":

1  Oh Tuhan! Aku telah melihat bahwa kebenaran dan kekudusan-Mu begitu indah. Aku bertekad untuk mengejar kebenaran, dan aku bertekad untuk mengasihi-Mu. Kiranya Engkau membuka mata rohaniku dan kiranya Roh-Mu menjamah hatiku. Biarlah saat aku datang ke hadapan-Mu, aku melepaskan semua kenegatifan, tidak lagi dikekang oleh siapa pun, oleh peristiwa, atau hal apa pun, serta membuka hatiku sepenuhnya di hadapan-Mu, dan melakukannya sedemikian rupa hingga seluruh keberadaanku dapat kuserahkan di hadapan-Mu. Bagaimanapun Engkau ingin mengujiku, aku siap. Sekarang, aku tidak memikirkan prospek masa depanku, dan aku juga tidak terbeban oleh kematian. Dengan hati yang mengasihi-Mu, aku ingin mencari jalan kehidupan.

2  Segala hal, segala sesuatu—semua ada di tangan-Mu; nasibku berada di tangan-Mu, dan Engkau memegang hidupku di tangan-Mu. Sekarang, aku berusaha mengasihi-Mu, dan baik Engkau mengizinkanku untuk mengasihi-Mu atau tidak, bagaimanapun cara Iblis menggangguku, aku bertekad untuk mengasihi-Mu. Aku sendiri bersedia mengejar Tuhan dan mengikuti Dia. Sekarang bahkan jika Tuhan ingin meninggalkan aku, aku tetap akan mengikuti Dia. Entah Dia menginginkan aku atau tidak, aku akan tetap mengasihi Dia, dan pada akhirnya aku harus mendapatkan Dia. Aku menyerahkan hatiku kepada Tuhan, dan apa pun yang Dia lakukan, aku akan mengikuti Dia seumur hidupku. Bagaimanapun juga, aku harus mengasihi Tuhan dan aku harus mendapatkan Dia; aku tidak akan beristirahat sampai aku mendapatkan-Nya.

—Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tentang Penerapan Doa"

Saat menyenandungkan lagu pujian ini berulang-ulang dalam pikiranku, aku teringat kemartiran orang-orang kudus di semua zaman yang telah berlalu. Stefanus dirajam sampai mati, Yakub dipenggal, Petrus disalibkan terbalik demi Tuhan .... Mereka semua mengorbankan hidup mereka untuk bersaksi kepada Tuhan, tetapi aku merasa aku tidak tahan lagi setelah hanya menderita sedikit. Aku melihat bahwa aku memiliki iman yang terlalu sedikit, dan bersumpah dalam hati pada diri sendiri: Tidak peduli bagaimana polisi menyiksaku, aku tidak akan pernah mengkhianati Tuhan atau menjual saudara-saudariku. Ajaibnya, berkas cahaya yang kuat dari kedua senter itu menghadap ke arahku, tapi aku tidak merasa silau sama sekali. Seolah-olah aku sedang melihat cahaya dari dua lilin. Aku sangat gembira, dan bersyukur kepada Tuhan dalam hatiku. Aku tahu bahwa ini semua adalah pemeliharaan dan perlindungan Tuhan. Kemudian, seorang petugas polisi berkata, "Bagi orang-orang sepertimu yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, putra dan putrimu tidak boleh bergabung dengan tentara atau bekerja dalam pelayanan publik." Dia juga mengatakan dia akan memposting fotoku di Internet dan menyebarkan desas-desus bahwa aku telah mengkhianati gereja agar semua saudara-saudari akan menolakku. Aku tahu ini hanya salah satu trik mereka, dan aku tidak menyerah.

Sekitar pukul dua siang keesokan harinya, seorang petugas polisi datang. Dia mencoba menipuku dengan mengatakan, "Jika kau tak mau beri tahu kami apa pun sekarang, tidak apa-apa. Jika kau tulis surat menyangkal imanmu kepada Tuhan, kami akan biarkan kau pulang, dan kami tidak akan mengganggumu lagi. Aku punya wewenang untuk menjanjikan itu kepadamu." Dia terus mendesakku untuk menulisnya, tetapi aku menolak. Dia menyerang dan menamparku tujuh atau delapan kali sambil marah, dan kemudian petugas polisi lain juga datang dan dengan kejam menendang tulang betisku, mengirimkan rasa sakit yang menusuk ke seluruh tubuhku. Aku diborgol di belakang punggungku, dan dia menekan punggungku dengan satu tangan begitu kuat sehingga kepalaku menyentuh pelat logam yang menempel di bagian depan bangku harimau, sementara dia mengangkat borgolku sekuat yang dia bisa dengan tangannya yang lain. Daging di pergelangan tanganku terasa seperti dikupas dari tulangku. Aku berteriak kesakitan. Pada saat ini, petugas polisi yang menginterogasiku juga datang, menendang tulang betisku, dan berteriak, "Apa kau ingin pulang, atau kau ingin Tuhanmu? Kau hanya boleh pilih satu. Sekarang jawab aku!" Aku tidak menanggapi. Mereka menekan punggungku ke depan sekeras mungkin dan mengangkat borgolku lagi empat kali, dan hanya berhenti ketika mereka melihatku mulai kejang. Aku merasa pusing, kedua tanganku mati rasa, dadaku mulai sesak, seluruh tubuhku kejang, dan aku mulai kehilangan kesadaran. Aku terus berdoa dalam hati, meminta Tuhan untuk menjagaku agar tidak mengkhianati saudara-saudariku dan Tuhan. Tidak peduli bagaimana polisi menyiksaku, aku akan berdiri teguh dan mempermalukan naga merah yang sangat besar itu. Polisi terus menekanku dengan pertanyaan, menanyakan apakah aku ingin pulang atau ingin Tuhan. Aku berkata, "Aku tidak akan pernah meninggalkan Tuhan!" Salah satu petugas sangat marah sehingga dia memelototiku dan berteriak, "Kau sangat keras kepala sampai kehilangan akal sehat! Kau benar-benar putus asa!" Pada akhirnya, mereka tidak bisa mendapatkan apa pun dariku, jadi aku dikirim ke pusat penahanan, dan kemudian dibebaskan setelah 15 hari ditahan. Aku tahu bahwa perlindungan dan bimbingan Tuhanlah yang memungkinkan aku untuk berdiri teguh kali ini.

Setelah aku kembali ke rumah, polisi mengawasiku lebih ketat. Direktur Federasi Perempuan desa sering datang ke rumahku untuk menanyakan keadaanku. Keluarga dan tetanggaku juga memantauku. Polisi datang ke rumahku hampir tiap bulan untuk melihat apakah aku masih percaya kepada Tuhan. Aku ingat, dalam satu bulan, polisi mengunjungiku empat kali. Pada Oktober 2020, tiga perwakilan dari pemerintah kota datang dan berkata, "Kami telah memantaumu selama tiga tahun. Hari ini, kami di sini untuk memintamu menulis surat perjanjian bahwa kau tidak percaya kepada Tuhan, surat kritik dan pengungkapan, dan surat p hubungan dari gereja. Lakukan itu, dan kami akan menghapus namamu dari daftar hitam. Kami tidak akan memantaumu lagi, kau dapat hidup bebas seperti orang normal, dan masa depan putramu tidak akan terpengaruh." Ketika mendengar ini, aku sangat marah. Aku berpikir, "Kalian benar-benar tercela! Kalian mencoba segala cara yang dapat kalian pikirkan untuk membuatku mengkhianati Tuhan, tetapi kalian tidak akan membodohiku!" Aku langsung menolak mereka. Sekretaris komite partai distrik kemudian berkata, "Kalau begitu, mengapa tidak kami menulisnya untukmu? Kau cukup berpura-pura menyalinnya, dan kami akan memotretmu untuk melaporkan penyelesaiannya kepada atasan kami. Kami tidak ingin terus datang ke sini untuk mengganggumu." Kata-kata munafiknya membuatku mual. Aku ingat bahwa aku pernah jatuh pada tipu daya Iblis sebelumnya untuk melindungi kepentinganku sendiri, menandatangani "Tiga Surat", dan mengkhianati Tuhan. Tanda penghinaan itu terukir dalam di hatiku. Aku berpikir dalam hati, "Meskipun kalian mengawasiku selama sisa hidupku, meskipun kalian menangkap dan menghukumku, aku tidak akan pernah mengkhianati Tuhan lagi." Akhirnya, mereka melihat bahwa aku tegas, dan pergi dengan kesal.

Setelah ditangkap dua kali, meskipun disiksa dan menderita banyak, aku mendapat banyak hal. Aku melihat bahwa aku sangat egois dan tercela, dan bahwa aku tidak punya iman yang tulus kepada Tuhan. Aku juga mendapatkan pemahaman tentang watak benar Tuhan. Watak benar Tuhan tidak hanya agung dan penuh kemurkaan, tetapi juga penuh dengan belas kasih dan keselamatan yang besar bagi manusia. Sepanjang perjalanan ini, aku mengalami kasih Tuhan yang tulus kepadaku. Untuk ini, aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku. Tidak peduli betapa sulit dan sukarnya jalan di depan, aku akan mengikuti Tuhan sampai akhir!

Sebelumnya: 87. Akhirnya Ketemukan Jalan menuju Penyucian

Selanjutnya: 89. Mengetahui yang Sebenarnya tentang Orang Tuaku

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

26. Cara Memandang Tugasmu

Oleh Saudara Zhong Cheng, TiongkokTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Hal paling mendasar yang dituntut dari manusia dalam kepercayaan mereka...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini