Tentang Ayub (Bagian 2)

12 Mei 2019

Rasionalitas Ayub

Pengalaman nyata Ayub dan kemanusiaannya yang jujur dan tulus memungkinkan dia membuat penilaian dan pilihan yang paling rasional ketika dia kehilangan harta benda dan anak-anaknya. Pilihan rasional seperti ini tidak dapat dipisahkan dari pengejarannya sehari-hari dan perbuatan Tuhan yang telah dia ketahui selama kehidupannya sehari-hari. Kejujuran Ayub membuatnya mampu untuk percaya bahwa tangan Yahweh berkuasa atas segalanya; keyakinannya membuatnya dapat mengetahui fakta kedaulatan Tuhan Yahweh atas segala sesuatu; pengetahuannya membuatnya mau dan mampu untuk menaati kedaulatan dan pengaturan Tuhan Yahweh; ketaatan Ayub memampukannya menjadi semakin setia dalam takutnya akan Tuhan Yahweh; sikap takutnya membuatnya semakin nyata dalam menjauhi kejahatan, akhirnya, Ayub menjadi tak bercela karena dia takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan; dan hidupnya yang tak bercela membuatnya bijaksana dan memberinya rasionalitas tertinggi.

Bagaimana seharusnya kita memahami kata "rasional" ini? Penafsiran harfiahnya adalah bahwa dalam pemikirannya, seseorang itu masuk akal, logis, dan berakal sehat, memiliki perkataan, tindakan, dan penilaian yang sehat, serta memiliki standar moral yang kuat dan teratur. Namun, rasionalitas Ayub tidak semudah itu untuk dijelaskan. Ketika dikatakan di sini bahwa Ayub memiliki rasionalitas tertinggi, ini dikatakan dalam hubungan dengan kemanusiaannya dan perilakunya di hadapan Tuhan. Karena Ayub jujur, dia mampu memercayai dan menaati kedaulatan Tuhan, yang memberinya pengetahuan yang tidak dapat diperoleh orang lain, dan pengetahuan ini membuatnya mampu secara lebih akurat membedakan, menilai, dan mendefinisikan apa yang menimpa dirinya, yang memungkinkan dia untuk lebih akurat dan cermat memutuskan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dipegang teguh. Dengan kata lain, perkataan, perilaku, prinsip-prinsip di balik tindakannya, dan pedoman yang dengannya dia bertindak, teratur, jelas, dan spesifik, serta tidak sembarangan, impulsif, ataupun emosional. Dia tahu bagaimana memperlakukan apa pun yang menimpa dirinya, dia tahu bagaimana menyeimbangkan dan menangani hubungan antara peristiwa-peristiwa rumit, dia tahu bagaimana berpegang teguh pada jalan yang harus dipegang teguh, dan selain itu, dia tahu bagaimana memperlakukan pemberian dan pengambilan oleh Tuhan Yahweh. Inilah rasionalitas Ayub. Justru karena Ayub diperlengkapi dengan rasionalitas seperti itulah dia berkata: "Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh", ketika dia kehilangan harta benda dan putra-putrinya.

Ketika Ayub diperhadapkan dengan rasa sakit yang luar biasa pada tubuhnya, dan dengan protes dari para kerabat dan sahabatnya, dan ketika diperhadapkan dengan kematian, perilaku Ayub yang sebenarnya kembali menunjukkan wajah aslinya kepada semua orang.

Watak Ayub Sesungguhnya: Benar, Murni, dan Tanpa Kepalsuan

Mari kita membaca Ayub 2:7–8: "Lalu Iblis pergi dari hadapan Yahweh dan menimpakan Ayub dengan bisul yang busuk dari telapak kaki sampai ubun-ubun kepalanya. Lalu Ayub mengambil sepotong beling untuk menggaruk-garuk dirinya; dan duduk di tengah-tengah abu." Ini adalah penjelasan tentang perilaku Ayub ketika bisul yang busuk muncul di sekujur tubuhnya. Pada saat ini, Ayub duduk di tengah-tengah abu saat dia menahan rasa sakit. Tak seorang pun yang merawatnya, dan tak seorang pun yang membantunya mengurangi rasa sakit di tubuhnya; sebaliknya, dia menggunakan sepotong beling untuk menggaruk-garuk permukaan bisulnya yang busuk. Sepintas, ini hanyalah sebuah tahap dalam siksaan Ayub, dan tidak ada hubungannya dengan kemanusiaan Ayub dan sikapnya yang takut akan Tuhan, karena Ayub tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk mengungkapkan suasana hati dan pandangannya pada saat ini. Namun, tindakan Ayub dan perilakunya masih merupakan ungkapan sejati dari kemanusiaannya. Dalam catatan di pasal sebelumnya, kita membaca bahwa Ayub adalah orang terkaya di antara semua orang di Timur. Sementara itu, ayat dari pasal kedua menunjukkan kepada kita bahwa orang terkaya di Timur ini betul-betul memungut sepotong beling untuk menggaruk-garuk tubuhnya sambil duduk di tengah abu. Bukankah terdapat perbedaan yang jelas antara kedua uraian ini? Ini adalah perbedaan yang menunjukkan kepada kita jati diri Ayub yang sesungguhnya: meskipun status dan kedudukannya yang bergengsi, dia tidak pernah mencintai atau memperhatikan hal-hal ini; dia tidak peduli bagaimana orang lain memandang kedudukannya, dan dia juga tidak peduli apakah tindakan atau perilakunya akan menimbulkan dampak negatif pada kedudukannya; dia tidak memanjakan dirinya dengan berkat status, dan dia juga tidak menikmati kemuliaan yang menyertai status dan kedudukannya. Dia hanya peduli tentang nilai dirinya dan makna penting kehidupannya di mata Tuhan Yahweh. Jati diri Ayub yang sesungguhnya adalah hakikatnya sendiri: dia tidak mencintai ketenaran dan kekayaan, dan tidak hidup demi ketenaran dan kekayaan; dia benar dan murni, serta tanpa kepalsuan.

Pemisahan Cinta dan Kebencian Ayub

Sisi lain dari kemanusiaan Ayub ditunjukkan dalam percakapan antara dia dan istrinya: "Lalu kata istrinya kepadanya: 'Apakah engkau masih mempertahankan kesalehanmu? Kutuklah Tuhan dan matilah!' Tetapi dia menjawab istrinya: 'Engkau berbicara seperti perempuan bodoh. Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?'" (Ayub 2:9–10). Melihat siksaan yang dideritanya, istri Ayub mencoba memberi saran kepada Ayub untuk membantunya melepaskan diri dari kesengsaraannya, tetapi "niat baik"-nya tidak mendapatkan persetujuan Ayub; sebaliknya, itu membangkitkan amarahnya, karena istrinya mengingkari iman dan ketaatan Ayub kepada Tuhan Yahweh, dan juga menyangkal keberadaan Tuhan Yahweh. Hal ini tidak dapat ditoleransi oleh Ayub karena dia tidak pernah membiarkan dirinya sendiri melakukan apa pun yang menentang atau menyakiti Tuhan, apalagi orang lain. Bagaimana dia bisa tetap tidak peduli ketika dia melihat orang lain mengucapkan perkataan yang menghujat dan menghina Tuhan? Karena itu, dia menyebut istrinya "wanita bodoh". Sikap Ayub terhadap istrinya adalah kemarahan dan kebencian, serta teguran dan celaan. Ini adalah ungkapan alami kemanusiaan Ayub—membedakan antara cinta dan benci—dan merupakan representasi sejati dari kemanusiaannya yang jujur. Ayub memiliki rasa keadilan—yang membuatnya membenci angin dan gelombang kejahatan, dan membenci, mengutuk, serta menolak pembangkangan yang tidak masuk akal, perdebatan konyol, dan pernyataan yang menggelikan, dan membuat dia berpegang teguh pada prinsip dan pendiriannya sendiri yang benar ketika dia ditolak oleh orang banyak dan ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat dengannya.

Kebaikan Hati and Ketulusan Ayub

Karena, dari perilaku Ayub, kita dapat melihat ungkapan berbagai aspek kemanusiaannya, kemanusiaan Ayub macam apa yang kita lihat ketika dia membuka mulutnya untuk mengutuk hari kelahirannya? Inilah topik yang akan kita bahas di bawah ini.

Di atas, Aku telah membahas tentang asal mula kutukan Ayub mengenai hari kelahirannya. Apa yang dapat engkau semua pahami tentang hal ini? Jika Ayub keras hati dan tanpa kasih, jika dia dingin dan tanpa emosi, dan kehilangan kemanusiaannya, mungkinkah dia memedulikan keinginan hati Tuhan? Mungkinkah dia membenci hari kelahirannya sendiri karena dia memedulikan hati Tuhan? Dengan kata lain, jika Ayub keras hati dan kehilangan kemanusiaannya, mungkinkah dia merasa sedih karena kepedihan Tuhan? Mungkinkah dia mengutuk hari kelahirannya karena Tuhan telah dirugikan karena dirinya? Jawabannya sama sekali tidak! Karena dia baik hati, Ayub memedulikan hati Tuhan; karena dia memedulikan hati Tuhan, Ayub merasakan kepedihan Tuhan; karena dia baik hati, dia menderita siksaan yang lebih besar sebagai akibat dari merasakan kepedihan Tuhan; karena dia merasakan kepedihan Tuhan, dia mulai membenci hari kelahirannya, dan dengan demikian mengutuk hari kelahirannya. Bagi orang luar, seluruh perilaku Ayub selama ujiannya patut dicontoh. Hanya kutukannya mengenai hari kelahirannya yang menimbulkan tanda tanya mengenai hidupnya yang tak bercela dan kejujurannya, atau memberikan penilaian yang berbeda terhadapnya. Sebenarnya, ini adalah ungkapan paling sejati dari hakikat kemanusiaan Ayub. Hakikat kemanusiaannya tidak disembunyikan atau ditutupi atau diperbaiki oleh orang lain. Ketika dia mengutuk hari kelahirannya, dia menunjukkan kebaikan hati dan ketulusan yang tertanam jauh di lubuk hatinya; dia seperti mata air yang airnya sangat jernih dan bening sehingga memperlihatkan dasarnya.

Setelah mengetahui semua ini tentang Ayub, kebanyakan orang pasti akan membuat penilaian yang cukup akurat dan objektif tentang hakikat kemanusiaan Ayub. Mereka seharusnya juga memiliki pemahaman yang mendalam, praktis, dan lebih maju serta penghargaan terhadap hidupnya yang tak bercela dan kejujuran Ayub seperti yang dibicarakan oleh Tuhan. Semoga, pemahaman dan penghargaan ini akan membantu orang-orang memulai jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan.

—Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait